Sabtu, 22 September 2007

KURIKULUM MENTORING
A. Pemaknaan istilah.
Sebagai bagian dari manajemen mentoring adalah perlunya adanya pembakuan kurikulum tarbiyah seperti standardisasi, gugus kendali mutu dan pelatihan tenaga Pembina.
B. Tujuan kurikulum mentoring.
Secara global tujuan tarbiyah Islamiyah adalah “menciptakan keadaaan yang kondusif bagi manusia untuk hidup didunia secara lurus dan baik, serta hidup diakhirat dengan naungan ridho dan pahala Allah SWT”
Secara garis besar sasaran mentoring memiliki dua sasaran yaitu :
1. Siswa diharapkan dapat memahami dengan menyeluruh pemahaman mereka terhadap Islam (syamil mutakamil).
Pemahaman yang benar dan menyeluruh ini sangat diperlukan sebagai pondasi atau dasar pemikirnan seseorang. Tidak saja dalam bidang amal ibadah tetapi juga dalam hal aqidah diantara hal-hal yang harus dipahami adalah :
§ Islam sebagai agama yang syamil (sempurna) meliputi segala sisi kehidupan.
§ Al-Qur’an dan as-sunnah sebagai satu-satunya sumber hokum.
§ Beribadah dengan bersungguh-sungguh.
§ Menghindarkan diri dari perbuatan syirik seperti : jimat, mantera da perdukunan.
§ Menerima pesan-pesan rasulullah para sahabat, tabi’in, tabiit tabi’ina dan para ulama salaf maupun khalaf dan tidak mencaci mereka.
§ Meminta pendapat para ulama tentang sesuatu yang belum diketahuinya.
§ Lebih mengutamkaan amal daripada hanya bicara
§ Menyucikan dan mengtauhidkan Allah
§ Menjauhi setiap prilaku bid’ah
§ Berjiarah dengan cara yang disyariatkan oleh rasulullah SAW
§ Tidak mengakafirkan seorang Muslim yang telah bersahadat dan telah menunaikan kewajibannya.
2. Siswa diharapkan dapat memiliki kedisiplinan yang sempurna (al-Iltizamul al-kamil) dengan ciri-ciri sebagai berikut :
§ Paham : meyakini dan memahami Islam sebagai fiqrah yang bersih.
§ Ikhlas : keikhlasan yang tercermin dari ucapan dan perbuatan yang semata-mata mencari ridho Allah.
§ Amal : mala yang dilakukan hendaknya bukan atas kejahilan tetapi atas dasa ilmu yang telah dipelajarinya.
§ Jihad :tahapan jihad yang harus dilakukan yang pertama dengan hati dengan lisan, tulisan dan kekuasaan. Puncaknya adalah bererang dijalan Allah.
§ Pengorbanan : untuk mencpai tujuan perlu adanya pengorbanan baik dengan harta, jiwa, waktu, kehidupan dan segala yang dimilikinya.
§ Taat : melaksanakan perintah dala segala kondidisi.
§ Tsabat : bersungguh-sungguh pada jalan yang mengantarkan pada tujuan.
§ Tajarud : membersihkan pola pikir dari berbagai prinsip dan pengaruh individu.
§ Ukhuwah : hari dan ruh yang terikat dengan akidah adalah wujud persaudaraan yang hakiki.
§ Tsiqoh : kepercayaan yang memberikan rasa puas dari yang dipimpin terhadap yang memimpin dalam hal kepemimpinan dan keihlasan selanjutnya melahirkan rasa cinta, penghargaan dan penghormatan.
C. Metode mentoring.
Aktifitas kegiatan mentoring yang berhasil membutuhkan sebuah metode dan didunia ini tidak metode yang sempurna, tetapi dibutuhkan adanya penyempurnaan. Metode secara sederhana bisa diartikan sebagai strategi untuk mewujudkan suatu tujuan yang sudah ditargetkan sebelumnya. Strategi itu sendiri bisa merupkaan sebuah langkah sistematis yang teruji dilapangan bisa merubah atau mencapai suatu aktifitas inteltual, ruhiyah maupun jiwa manusia.
Bila kita mengamati metode mentoring saat ini ternyata tidak jauh berbeda dengan metode klasikal yang diterapkan dipendidikan formal tetapi perbedaannya terletak pada penekanan aplikasi antara materi dengan perubahan objek pendidikan. begitu sederhana sekali dimana peran mentor (murobbi) begitu kuat pada siswa didik (mutarobbi) sehingga sebelum memegang sebuah kegiatan mentoring diharapkan para mentor harus terlibat secara emosi dengan siswa didiknya (mutarobbi), sehingga mereka bisa menerima transfer nilai-nilai tanpa disadarinya berasal dari nuansa maknawiyah para mentornya seperti penampilan diri (pakaiannya atau jilbabnya), kedisipilinan (komitmen dengan waktu atau komitmen dengan janji), Aktifitas ruhiyah (ikut terlibat dalam aktifitas jama’i atau tidak) atau aktifitas harokah (aktif dalam organisasi atau tidak) dan nilai keihlasan dan ketawadhuannya. Contoh prilaku ini jauh lebih efektif untuk menata dan merubah pola prilaku sesuai dengan muwashofat dalam tarbiyah.
Secara garis besar materi disampaikan bisa melalui presentasi secara classical dimana mentor menyampaiakan materi dasar sesuai dengan tingkatannya. Sedangkan lokasi penyampaian materi bisa dilaksanakan secara pleksibel seperti di mesjid, dihalaman sekolah yang dinaungi pohon ataupun juga bisa dilaksanakan ditempat rekreasi sekalian jalan-jalan (rihlah). Ketika materi disampaiakan bisa diselingi dengan Tanya jawab dan bentuk-bentu permainan (games) yang sesuai dengan tema yang dismapaikan.
Supaya penyampaian materi tidak monoton, sesekali bisa menggunakan metode diskusi atau seminar seperti bedah buku, kajian tematik (taskif) yang melibatkan jamaah. Termasuk penguatan hubungan diluar halaqoh mereka dengan melibatkan pada kegiatan social atau kegiatan keagamaan sebagai bentuk pelatihan bagi kematangan materi dalam aplikasi sehari-hari. Artinya Pembinaan intelektual mereka (bermacam kajian keagamaan) diseimbangkan dengan pembiasaan aktifitas fisik (kegitan olah raga, outbound, jalan-jalan/rihlah, bakti social) dan diasah dengan penguatan ruhiyah ma’nawiyah (pembiasaan muwashofat pekanan seperti tahajud bersama, hapalan al-Qur’an, latihan kultum, tadabur alam, daurah).
Dengan susunan acara mentoring : a). Pembukaan, b). Tadarus Al-Qur’an/hapalan al-Qur’an/hadits, c). Impak majlis d). Kultum/Tausyiah, e). Materi inti, f). Informasi penting, g). Problem solving (Qodhoyah) dan h). Penutup.
D. Materi mentoring :
Bagi para mentor pemula tentu saja masalah materi yang disampaian banyak mengalami hambatan. Kalau tahun 80-an tentu saja materi hanya diadopsi dari murobbinya, tapi kurun waktu sekarang materi-materi tarbiyah sudah dibukukan secara komprehensif lengkap dengan kurikulum untuk memudahkan penyampaian secara sistematis.
Secara garis besar materi tarbiyah harus berkisar antara a) Aqidah b). ibadah c). muamalah dan d). tsaqofah.
Bahkan ada beberapa sekolah yang sudah membuat materi yang disesuaikan dengan kebutuhan pelajar dengan tujuan untuk memudahkan dalam penyesuaian dengan tingkat pemahaman pelajar yang penting esensi kurikulum tetap mengikuti pedoman baku yang sudah ada. Untuk materi mentoring bisa dijadikan referensi antara lain :
a). Materi tarbiyah : Panduan kurikulum bagi da’i dan murobbi yang disusun oleh Ummu Yasmin Media insani, Solo, 2003.
b). Bundelan dari beberapa modul terpisah yang disusun oleh penulis Cahyadi Takariawan seorang aktifis tarbiyah yang terdiri dari dua bundle :
1. Kepribadian Muslim
2. Kepribadian da’i
c). Super mentoring bagi remaja dari ILNA learning.
E. Perangkat kurikulum mentoring.
Secara adminstratif perangkat kurikulum mentoring hampir sama dengan kurikulum formal disekolah dimana didalamnya ada unsur kurikulum yang secara teratur.
a) Mentor (Murabbi)
b) Siswa didik (Mutarobbi).
c) Lembaga (Yayasan, sekolah, , organisasi siswa)
d) Proses (muwashofat, tahapan pembinaan)
e) Model mentoring (presentasi, outbound, simulasi)
f) Bentuk mentoring (halaqoh, Daurah, rihlah, tadabur, muqoyam,)
g) Indikasi keberhasilan
E. Evaluasi mentoring :
a) Mua’ahadah.
b) Tahfidz
c) Muwashofat
F. Strategi Belajar Mengajar.
1. Memulai presentasi mengajar.
Tahapan utama dalam proses mentoring adalah mempersiapkan diri memasuki dunia belajar mengajar dengan berbagai karakteristik siswa didik dengan tantangan dakwah yang bisa mengasah seorang Pembina/mentor untuk menjadi seorang guru (murobbi), psikolog, sekaligus sebagai seorang pemimpin (qiyadah) sehingga menuntut kekuatan belajar dan meningkatkan tsaqofahnya.
Untuk memasuki dunia tarbiyah ini harus ada keterikatan secara emosi dengan siswa didik (mutarobbi) yang bisa mempengaruhi fitrah hatinya dengan berbagai transfer psikologis yang merubah persepsi, keyakinan dan komitmen sehingga bisa menanamkan pola pikir (Fikrah) mereka terhadap sebuah permasalahan hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri binaannya. Satu hal yang membedakan dengan kegiatan pendidikan lainnya, kegiatan mentoring ini akan berpengaruh manakala Pembina (murobbi) memiliki ri’ayah ma’nawiyah yang bisa berpengaruh untuk merubah kepribadian, pola fikir dan masuknya pemahaman ketika disampaikan pada binaannya.
Sangat berbeda dengan materi umum hanya bermodalkan teks seorang guru sejarah bisa menjelaskan peristiwa revolusi perancis tanpa perlu guru tersebut pergi ke Perancis, tetapi seorang mentor harus menyampaikan materi yang sebelumnya sudah dipraktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Akan terasa hambar membahas tentang Fiqh pernikahan ternyata mentor (murobbi/murobbiyah) itu sendiri ternyata belum menikah dan akan berpengaruh terhadap persepsi para binaan terhadap dalamnya makna materi yang disampaikan. Akan terasa kaku bila seorang mentor menganjurkan berorganisasi kalau hanya sekedar anjuran tanpa Pembina itu sendiri aktif dalam kegiatan organisasi. ataupun akan terasa lain manakala seorang mentor menganjurkan komitmen terhadap waktu saat dia sendiri sering terlambat.
Bisa dikatakan dalam tahap awal menjadi seorang mentor atau pembina harus lebih menguatkan niat bahwa yang dia pilih sebuah tugas dakwah yang sangat mulia sehingga butuh pengorbanan besar dan terlepas dari motif mencari materi, prestise ataupun karier dalam organisasi diperkokoh dengan kekuatan ruhiyah dan kecerdasan inteletual dalam mematangkan materi.
Bukan suatu yang dengan mudah membutuhkan proses yang cukup lama dan tidak juga bisa ditunda menunggu siap, oleh karena menjadi mentor adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditunda yang disesuaikan dengan kemampuan dan proses pentarbiyahan dalam wujud Saling menolong dalam berbuat baik dan takwa (Ta’awanu ‘alal birri wa taqwa), amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban untuk menjaga diri sendiri dan keluarga kita dari dahsyatnya api neraka (Quu anfusakum wa ahlikum narro) ataupun sabda rasul “Baligho anni walauayat” sampaikan sesuatu walaupun satu ayat.
2. Proses panjang pembinaan.
Hasil yang akan dicapai dalam sebuah pembinaan tidak bisa secara matematis terukur, karena proses ini panjang sehingga membutuhkan kesabaran keuletan dan keistiqomahan berbagai pihak antara mentor dan siswa binaan. Biasanya dapat terlihat dari penampilan, kepribadian dan sikap mereka. Ataupun sebaliknya siswa binaan mundur dan berbalik, bisa dikatakan kegiatan mentoring itu seleksi alam untuk memilih pribadi pilihan yang unggul dalam intelektual dan unggul dalam kepribadian. Kelemahan dari system mentoring di sekolah adalah tindak lanjut mereka setelah menyelesaikan sekolah sedikit terputus apabila tidak dilanjutkan kegiatan ini dikampus tempat kuliahnya ataupun mengalihkan kegiatan ini di luar sekolah dengan mentor yang lama.
3. Tunas baru pembinaan.
Ibarat pohon yang ditanam, disiram dan dipupuk sehingga bisa tumbuh, bertunas dan berbunga yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Begitu hasil yang ingin dicapai dari kegiatan mentoring ini bisa menghasilkan seorang pelajar yang paripurna dari segi intelektual, emosi dan spiritualnya yang bisa tentap eksis dalam perkembangan islam dimasa yang akan datang dengan inteletual muda yang agamis yang mampu menciptakan iptek dan sekaligus mendallami islam sebagai sarana berdakswah dan sarana bersosialisasi dimasyarakat.
Dokter yang spesialis dalam profesinya dan agamis dalam kesehariaanya, sehingga etika kedokteran bukan sebagai sebuah beban tapi telah tersibghoh dalam sukmanya sebagai sebauh fikroh yang kokoh yang bisa melawan arus westernisasi. Sehingga pola prilakunya bisa mewarnai sebuah perubahan dan sebuah control yang dahsyat dilingkungan kerjanya dari prilaku penyimpangan yang sulit dihentikan selama arus sekulerisme dan materialisme berkembang di masyarakat.

STIGMA SOSIO-KULTURAL MASYARAKAT Di DAERAH URBAN

 Pendahuluan
Muhammadiyah salah satu organisasi pelopor dalam pendidikan modern di Indonesia, akan tetapi dalam perjalanannya mengalami stagnasi dan ada kesan merasa puas dengan citranya sebagai organisasi besar dalam pendidikan dan organisasi sosial dengan beratus-ratus sekolah dan lembaga sosial di seluruh Indonesia. Namun secara realitas masih banyak juga sekolah Muhammadiyah yang masih tertinggal jauh dengan sekolah lain dari segi kualitas maupun kuantitasnya, terutama sekolah-sekolah yang berada didaerah yang bukan merupakan basis Muhammadiyah.
Stangnasi pendidikan di muhammadiyah bisa diakibatkan beberapa indicator seperti adanya a). Dis-asosiasi organisasi, dimana Muhmamadiyah selalu dipersepsikan dengan salah seolah bertabrakan dengan kultur masyarakat tradisional yang melekat dengan berbagai stigma sosio-ideologis yang secara positif dianggap sebagai salah satu tantangan dakwah organisasi yang perlu mendapatkan perhatian serius dan secara negative bisa menghambat perkembangan Muhammadiyah dimasa yang akan datang. b). Adanya fenomena perkembangan tarbiyah yang terlihat sejalan dengan Muhammadiyah dan bisa diterima dikalangan muda persyarikatan atau mengambil istilah Farid setiawan menyebut serangan tarbiyah ini dengan “Virus tarbiyah” (lihat Suara Muhammadiyah, No 5/2006) yang mulai masuk keberbagai segi kehidupan inteletual muda yang diawali dikampus dan disekolah bahkan ke sekolah non-Muhammadiyah sekalipun. Kesadaran agamis dikalangan intelektual muda kampus diawali sekitar tahun 80-an dibeberapa kampus umum seperti ITB, UGM, UI ini tidak bisa dibendung apalagi fenomena ini bahkan merebak ke berbagai masyarakat. Hal ini jelas menghasilkan stigma baru dalam pengakaderan di persyarikatan yang ternyata manhaj ini justru berkembang pesat pula didaerah urban yang secara didominasi kaum pendatang yang mungkin kader-kader kita dipersyarikatan.
Dikhotomi pendatang dan pribumi
Stigma sosial bisa berarti prasangka social yang secara negative bisa berpengaruh terhadap tertutupnya jalur komunikasi [1] Beberapa stigma social dimasyarakat terhadap pendidikan di Muhammadiyah antara lain : a). Istilah ideology baru atau lebih radikal dianggap sebagai agama baru terasa melekat dimasyarakat, b). Stigma beorientasi sosial dan bengkel ahlak bisa berpengaruh imbas terhadap citra pendidikan Muhammadiyah yang murah dan tidak berkualitas sehingga melupakan fungsi “humanitas” dalam pendidikan secara realitas sekolah membutuhkan dana operasional untuk peningkatan kualitas pendidikannya dan oleh anggota persyarikatan dimanfaatkan untuk menitipkan putranya yang bermasalah atau tetangganya yang tidak mampu untuk dimasukan kesekolah Muhammadiyah. c). Stigma pengembangan pendidikan di daerah non-Yogya dan sekitarnya belum mendapatkan perhatian sehingga dihembuskan adanya kultur Jawa dan non-Jawa, tapi ditepiskan dengan terpilihnya, ketua umum Muhammadiyah yang berasal dari luar jawa seperti almarhumah Prof. Dr. Hamka dan terakhir terpilihnya Prof. Dr. Din Syamsuddin (2005-2010).
Itulah sebuah stigma yang kebenarannya relative tapi perlu mendapat perhatian dan dianggap sebagai jamu yang terasa pahit tapi bisa menyembuhkan keterdiaman dakwah Muhammadiyah sebagai suatu pergerakan Islam (harokatul islamiyah) dalam mensosialisasikan dakwah cultural dan meningkatkan pencitraan Muhammadiyah di daerah-daerah yang potensial berbaurnya berbagai kultur seperti daerah penyangga ibu kota.
Stigma versus citra
Stigma ini juga bisa merupakan sebuah pencitraan betapa Lemahnya kultur organisasi kita dan hal ini ternyata bisa berpengaruh terhadap perkembangan manhaj lain dan janganlah ditanggapi dengan “jumud” seperti mengambil pendapat Farid Setiawan diatas dengan istilah “virus tarbiyah” sebagai sebuah fenomena dakwah dan banyaknya kader dakwah kita yang berafiliasi kepartai lain, bisa dikatakan merupakan sebuah muhasabah betapa lemahnya manhaj kita, sehingga kita tidak bisa menyalahkan manhaj lain, tapi dijadikan sebagai kajian perlu adanya pembenahan dan bisa juga secara legowo dijadikan wacana. Kenapa tidak bisa menerima system tarbiyah yang diibaratkan “virus baik” yang kalau kita kaji kembali pernah dilakukan Rasulullah ketika mengadakan menghalaqoh para sahabatnya dirumah Al-arqom bin Al-Arqom RA.
Dan kemudian istilah ini dijadikan sebagai istilah pengkaderan dipersyarikatan seperti Baetul Arqom. Insya Allah citra Muhammadiyah sebagai harokatul islam besar di Indonesia tidak akan hilang, bahkan jauh lebih baik untuk membenahi system pengkaderan kita yang lebih menonjolkan organisasinya sementara militansi dan girah keagamaan dirasa belum maksimal. Kehausan inilah yang akhirnya ditemukan para kader muda persyarikatan didunia luar. Sebuah sunatullah dan sebuah keniscayaan sebuah system yang beristiqomah dan berpatokan teguh pada sunnah Rasulullah (sebagaimana yang diperjuangkan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan furifikasi dan gerakan tajdidnya) ternyata bisa berkembang dengan pencitraan yang baik dimasyarakat. Kalau kita amati kegiatan halaqoh, daurah, sebenarnya sudah ada dalam pengakderan kita tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kesibukan para ustad dan tokoh Muhammadiyah di oragnisasi dan politik sehingga kegiatan kajian-kajian seperti kajian tarjih dan pemahaman harokah di Muhammadiyah serasa masih kurang. Begitu juga betapa sulitnya mengumpulkan para kader untuk sebauh pengajian dan mereka bisa berkumpul saat kegiatan acara, musyda sehingga pengkaderan seperti taruna melati, Baetul Arqam tidak ada follow up-nya dan belum bisa membentuk fikrah Muhammadiyah. Apalagi fikrah ini bisa menyusupi sela-sela kehidupan masyarakat yang sudah ada bukan merekrut orang baru untuk di Muhammadiyahkan, tapi masih terpaku pada upaya Memuhammadiyahkan orang Muhammadiyah.
Pencitraan ini juga terjadi di dunia pendidikan, Betapa sulitnya untuk menjaring siswa berkualitas ke sekolah Muhammadiyah yang dirasakan penulis dengan bangunan yang cukup megah dan dengan fasilitas yang cukup memadai, tapi sekolah Muhammadiyah didaerah penyangga ibu kota seperti Bekasi dirasa sulit. Penults beranggapan, pencitraan promosi masih bisa dikalahkan dengan pencitraan ideology. Dugaan sementara penulis adalah pencitraan Muhammadiyah yang kurang, oleh karena dakwah ekternal muhammadiyah juga dirasakan masih belum maksimal mempengaruhi masyarakat, akan terasa lain pencitraan sekolah Muhammadiyah seperti di Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama ini kita amati, konsentrasi peningkatan kualitas pendidikan lebih terkonsentrasi dipusat (Yogya, Jawa tengah dan Jawa Timur dan sekitarnya) dan belum merambah daerah-daerah yang komunitas Muhammadiyah yang akan terus berkembang atau sebaliknya stagnan, Sehingga Kenapa perkembangan sekolah Muhammadiyah didaerah Jawa Barat tidak seunggul perkembangan sekolah di Jawa timur dan sekitarnya dengan kultur Jawa-nya yang melekat? Dapat ditandai belum adanya universitas Muhammadiyah sebaik di Yogyakarta ataupun universitas yang membanggakan warga muhammadiyah di Malang yang ada di daerah Pasundan. Sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap perkembangan dakwah Muhammadiyah didaerah ini terasa lambat, padahal dari segi lokasi jauh posisi Jawa barat lebih dekat ke ibukota dengan fasilitas dan akses yang jauh lebih cepat. Pencitraan lain terasa jauh lebih hebat adalah masuknya pengaruh liberal islam dikalangan intelektual mudanya sehingga terasa hambar citra muhammadiyah sebagai organisasi gerakan islam, dengan opini-opini kontroversialnya yang terkadang bertentangan dengan sikap dan kaidah organisasi. Sungguh ironis mencoba menahan gerakan kegamaan yang ditakuti sebgai virus tarbiyah, tapi sisi lain membiarkan liberalissi, sekulerisme dan pluralisme masuk kedalam pola pikir anak mudanya. Sehingga terjadilah pergeseran pola berfikir orang muhammadiyah.
Inilah salah satu Stigma social-cultural yang sebenarnya tidak bisa dihindari dan hal ini kembali kepada sikap dari persyarikatan yang menjadikan wacana, wacana ini belum dihembuskan. Kenyataannya persepsi ini bisa berpengaruh terhadap penerapan dakwah cultural yang sedang kita galakan selama ini terutama konsentrasi dakwah daerah pasundan dan daerah penyangga ibu kota yang banyak didominasi kader pendatang yang berhadapan dengan konsentrasi masyarakat asli. Sehingga tak bisa dihindarkan melahirkan dikhotomi kader pribumi dengan kader pendatang, sehingga terjadilah class action yang terkadang menggoyahkan profesionalisme dan keutuhan persyarikatan ataupun malah lebih meningkatkan dinamika organisasi terutama dapat dilihat saat pelaksanan Musyawarah daerah. Ada sebagian menganggap sebagai dinamika berorganisasi, Bahkan persinggungan cultural secara positif bisa berpengaruh terhadap peningkatan komunikasi dan pembenahan organisasi kelembagaan terutama dalam mengelola persyarikatan.
Adanya persinggungan kader pendatang dengan pribumi digambarkan seperti persinggungan kaum Anshor dan muhajirin ketika hijrah rasulullah ke Medinah. Begitu juga adanya dikhotomi pribumi-pendatang bisa mewarnai masuknya budaya persyarikatan sehingga bisa melemahkan sukuisme, promodialisme yang kaku serta menganggap kader pribumi tidak professional dalam pengelolaan organisasi amaliah dan lembaga-lembaga pendidikan dan sikap keras para pendatang yang menganggap kultur yang dibawa daerahnya lebih mencerminkan jati diri kemuhammadiyahan.sesuai dengan kultur persyarikatan yang dia bawa daerahnya masing-masing.
Citra social sekolah Muhammadiyah
Kelemahan lain, Belum memaksimalkan ciri khas keunggulan yang bisa dijadikan sebagai bentuk pencitraan sekolah Muhammadiyah dengan mengikuti kultur masyarakat transisi industri sehingga citra sekolah Muhammadiyah lebih dikenal sebagai sekolah termurah, keuangannya bisa dicicil dan sesuai dengan mitos pencitraan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial ditambah citra lain yang tak kalah menariknya mencitrakan sekolah Muhammadiyah sebagai bengkel ahlak sehingga bisa menampung siswa yang bermasalah, terkecuali sekolah unggulan Muhammadiyah didaerah lain.
Dengan pencitraan tersebut, Sangat wajar sekali kalau masih banyak para tokoh Muhammadiyah yang tidak mau menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah Muhammadiyah dengan alasan tersebut.
Ada Fenomena yang baik sekaligus mengkhawatirkan banyak putra Muhammadiyah yang sukses mengelola sebuah lembaga pendidikan sendiri tanpa mau berafiliasi dengan persyarikatan sehingga bisa eksis meningkatkan kualitas yang melebihi sekolah Muhammadiyah yang sudah ada, selain itu sangat memprihatinkan masih ada sebagian kader persyarikatan yang tidak mau mendirikan sekolah dengan mengatas namakan persyarikatan karena anggapannya akan sulit menerima siswa yang multicultural dan masih banyak yang tidak memahami Muhammadiyah. Sebagai organisasi dan ideology yang berbeda di masyarakat. Anehnya mereka tidak mau memakai label Muhammadiyah tapi masih memakai system pendidikan Muhammadiyah baik dalam kurikulum maupun dalam system pembinaan.
Penutup
Inti dari kelemahan diatas adalah perlu peningktan profesionalisme organisasi kelembagaan antara lain Ketidak profesionalan amaliyah lembaga di Muhammadiyah adalah imbas dari pengelolaan organisasi yang tidak total dijadikan para kader sebagai aktifitas harokah sebagai sandingan kegiatan dakwah dan tarbiyah di Muhamamdiyah. Bahkan revitalsasi secara teori sangat ideal sekali bagi pertumbuhan organisasi tapi dilapangan ternyata tidak bisa menyentuh cabang dan ranting, ada kesan bingung bagaimana mengaplikasikan revitalisasi tersebut.
Sehingga kegiatan harokah di Muhammadiyah tidak bisa hanya dijadikan kegiatan paroh waktu atau sekedar prestise tanpa amal nyata atau sebagai pengisi masa pensiunan atau sebagai jenjang karier politik untuk mencari loncatan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Sebenarnya motif apapun di Muhammadiyah sah-sah saja, asalkan masih bisa memberikan kontribusi positif bagi persyarikatan dan melakukan dengan prosedur yang syar’I dan tidak lupa dengan untuk menghidupkan kembali dakwah muhammadiyah dan riak-riak kecil dari kader-kader muda kita selama masih ada control insya Allah kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Wallahu alam bishowab.

REFLEKSI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH

Muhamadiyah sejak dahulu dianggap sebagai icon pembaharu dan organisasi modern yang menonjol dalam dakwah sosial dan dakwah pendidikan. Terbukti dengan berdirinya lembaga sosial, lembaga pendidikan dan amal usaha lainnya diseluruh Indonesia, bahkan bisa menembus wilayah regional Asia Tenggara. Tentu saja prestasi ini sangat luar biasa sekali dan bahkan diakui didunia internasional menjadi pembaharu pergerakan Islam dengan gerakan tajdid-nya.
Namun aktifitas dakwah dan gerakan tajdid Muhammadiyah ini akhir-akhir terasa kurang geregetnya dalam menjaring kader baru persyarikatan yang bukan hanya sekedar seorang organisatoris, tapi juga seorang yang kader yang kafa’ah keagamaannya sangat baik, sehingga mengembalikan Muhammadiyah sebagai lumbung kader dakwah yang menghasilkan ulama yang berilyan seperti pendirinya KH Ahmad Dahlan yang melegendaris kemudian sempat terputus pada masa kepemimpinan KH Azhar Bashir, MA, yang kemudian diteruskan dengan terpilihnya Prof Dr Amin Rais, MA yang lebih menonjol kecendikiawannya dan aktifitas politiknya atau diteruskan Prof Dr. Syafii Ma’arif seorang pakar sejarah yang terkadang beliau sering membuat wacana pribadi yang orang Muhammadiyah itu sendiri saja kebingungan.
Kesadaran akan kepemimpinan ulama di Muhammadiyah baru terbuka saat terpilihnya Prof Dr. Din Syamsuddin (2005-2010) dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang yang tidak diragukan lagi keulamaannya, dan uniknya beliau alumni Gontor (Jawa Timur) dan saat ini beliau sekretaris MUI pusat.
Selain butuhnya kepemimpinan ulama perlua adanya pengembangan dakwah jauh lebih kreatif dan mampu merangkul berbagai golongan untuk mengenal Muhammadiyah dengan pendekatan cultural, sehingga wacana baru tentang perlunya wacana dakwah kutural semakin menguat dikalangan Muhammadiyah untuk mengembalikan citra muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan dakwah. Untuk menjawab kekhawatiran bahwa Muhammadiyah terasa lamban berhadapan dengan permasalahan realitas umat seperti solidaritas palestina, pemberlakuan UU Anti pornografi fornoaksi (AFF) dan anggapan keterlenaan dalam kemapanannya jelas bisa dijadikan sebagai masukan positif bagi perkembangan Muhammadiyah dimasa yang akan datang dengan lebih membenahi pengakaderan internal dan menggiatkan dakwah keluar yang sementara ini tidak begitu bergema bahkan sekarang justru dilakukan organisasi pergerakan dakwah lain seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), pondok pesantren Hidayatullah yang bisa masuk kekalangan suku terasing di Indonesia dan bersaing dengan para missionaries dan kaum zending.
Bila kita amati, para aktifis dakwah Muhammadiyah lebih dikenal masyarakat sebagai inteletual dan pengamat politik yang senang dengan kajian organisasi atau kajian ilmiah yang bersifat wacana daripada mengkritisi permasalahan umat. Sehingga saat berhadapan dengan masyarakat tradisional terkesan tidak bisa masuk bahkan untuk merubah adat istiadat yang masih berbau bid’ah, khurofat dan tahayul serasa mentok, sehingga dakwah kita masih terpaku dengan dakwah internal dengan tujuan “Me-Muhammadiyahkan orang Muhammadiyah bukan me-Muhammadiyahkan masyarakat di luar Muhammadiyah”. Ditandai dengan adanya Pengajian Muhammadiyah baik dicabang maupun tingkat daerah hanya diikuti oleh orang dan simpatisan Muhammadiyah dan belum bisa mengajak orang lain diluar Muhammadiyah untuk mengikuti pengajian tersebut. Sisi lain untuk level menengah dihadapkan dengan virus Sipilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang mengjangkiti kaum intelektual mudanya.
Dakwah cultural.
Alasan kenapa kita harus kembali kedakwah kutural, antara lain a) Betapa kuatnya cultural masyarakat kita sehingga sampai sekarang belum terlihat dakwah kita dimasyarakat b) semakin berubahnya tatanan strategi dakwah tradisonal, c) semakin merebaknya permasalahan social-kultural dimasyarakat d) semakin mencuatnya dan leluasanya penyimpangan dakwah e) Ketidak tegasan pemerintah terhadap lahirnya aliran-aliran sesat di Indonesia.f) semakin kuatnya kristenisasi dengan kedok budaya g) semakin kurang kristolog-kristolog muda Muhammadiyah
Kesulitan Dakwah
Beberapa Alasan kenapa dakwah kita sedikit terhambat antara lain :
Kesulitan pertama, Persyarikatan kita kurang sekali memiliki kader dakwah bila dibandingkan dengan jumlah kader organisasi semakin melimpah apalagi semasa kepartaian tahun 1999. Kesulitan menemukan kader dakwah sebagaimana yang dicita-citakan KH Ahmad Dahlan sebenarnya telah disadari persyarikatan yang salah satunya dengan mendirikan pesantren unggulan Muhammadiyah salah satunya dengan masih adanya sekolah Mualimin Mualimat (Yogyakarta), Pesantren Modern Darul Arqom (Garut) yang bisa menghasilkan calon da’I ataupun beasiswa bagi putra-putri Muhammadiyah untuk jurusan tarjih di UMM (Malang). Tapi belum begitu maksimal memasok kebutuhan kader berkualitas sebagaimana kita bandingkan dengan organisasi Nakhdatu Ulama dengan pondok Gontor Darussalam yang bisa mengahasilkan da’i-da’i berkualitas ataupun pengakderan praktis dan informal, tapi bisa mengisi terbentuknya da’i-da’i muda, padahal kajian dakwah lingkup kecil dulu pernah dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah dalam mengakder para sahabatnya di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam RA dalam bentuk perkumpulan kecil yang justru dipraktikan oleh saudara kita (sejenis Halaqoh, ussar/ usroh) dan kita (orang Muhammadiyah) harus legowo mengakui keberhasilan system yang dipraktikan oleo saudara kita ini dalam bentuk pembinaan dakwah (takwin) sehingga membentuk kader dakwah yang loyal dan mencerahkan umat, bahkan malahan kita mencurigainya sebagi virus tarbiyah karena merubah fikrah kemuhammadiyahan anak-anak muda Muhammadiyah. Dengan mengurangi kejumudan kita dan bisa juga ini bagian dari gerakan tajdid, apa salahnya kita kembali dengan apa yang dicontohkan rasulullah.
Kesulitan kedua, Dakwah kita masih tertuju pada orang Muhammadiyah, belum bisa merambah keluar sehingga ideologi Muhammadiyah belum bisa merasuk ke masyarakat dengan gerakan tajdid-nya. Karena ketidak universal-nya dakwah kita, sehingga dakwah kutural inilah yang perlu kita lakukan sehingga kevakuman dakwah kita bisa menyentuh berbagai ragam masyarakat.
Kesulitan ketiga, Adanya ketidakpuasan para kader persyarikatan menyebabkan adanya perubahan medan dakwah, dimana dakwah kita masih saja mengandalkan kaderisasi disekolah-sekolah, sementara saudara kita sudah mencari market lain yang ternyata dimasyarakat masih terbuka, seperti startegi dakwah cultural dengan disertai revitalisasi dakwah mulai barisan terbawah yaitu dicabang-ranting dan ortom AMM perlu menjadi prioritas pertama dengan syarat harus mempersiapkan kader muda yang militan dan loyal terhadap persyarikatan, perbaikan lain perlu adanya revisi materi Kemuhammadiyahan yang lebih menyentuh terciptanya loyalitas/komitmen dan ketertarikan pada pengembangan Muhammadiyah dimasa yang akan datang. Sehingga ketidakpuasan banyak kader kita yang beralih ke organisasi lain yang bisa mengisi kehausan spiritual yang belum ditemukan di Muhammadiyah bisa dikurangi dengan sikap bijak dengan tidak menyalahkan manhaj lain, Artinya kita perlu mengadakan re-inventing dan benchmarking dakwah Muhammadiyah dengan melihat perkembangan dan keberhasilan dakwah organisasi Islam lainnya. Artinya kita harus berguru dan siap menerima kekurang-kekurangan ini sebagai sebuah refleksi dakwah, bukan melahirkan penghujatan yang sebenarnya bukan karakteristik orang Muhammadiyah yang modernis dan tidak jumud serta siap menerima perubahan medan dakwah yang dari hari ke hari semakin bergeser, sehingga kelemahan-kelemahan kita bisa kita terima dengan bijak dan dengan hati yang legowo sebagai sebuah dinamika dakwah. Selama masih ada control dan perhatian yang baik, layaknya seorang bapak terhadap anaknya dan kita bersama benahi system pengkaderan kita dimasa yang akan datang.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...