Teh  Botol Sosro harus bersaing dengan Coca Cola yang berskala global. Ayam  goreng Ny. Suharti, Mbok Berek, Ayam Bakar Wong Solo, harus bersaing  dengan McDonald dan Kentucky Fried Chicken. Tukang parkir pinggir jalan  harus ‘bersaing’ dengan Secure Parking. Tukang cuci mobil dan  tukang  sayur  pun juga harus bersaing dengan merek global. Intinya persaingan  global telah ada di halaman kita, yang tidak terbayangkan sebelumnya.
 Situasi global yang kompetitif ini, mengharuskan perusahaan  mempunyai  kemampuan bertahan dan menang. Namun, strategi yang bagus  belaka tidaklah memadai. Seorang pemimpin yang handal dibutuhkan oleh  perusahaan. Karena seorang pemimpin yang handal bukan saja harus piawai  dalam menyusun strategi, tetapi juga dapat menjalankan strategi dengan  efektif. Dalam tulisan kali ini penulis mengangkat masalah kepemimpinan,  yang merupakan sisi terpenting dalam strategi bisnis. Karena  pemimpinlah yang akan melahirkan strategi dan sekaligus berupaya keras  agar dapat mewujudkan strategi itu.  
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk merealisasikan potensi yang ada  pada “pengikutnya” dan mengarahkan keterampilan, pengetahuan, dan  kemampuan dari kelompoknya untuk menghasilkan “sesuatu”. Padahal pada  saat ini anggota organisasi semakin kritis, sehingga diperlukan  pendekatan kepemimpinan baru, yang tidak dapat mengandalkan pola-pola  kepemimpinan yang lama. Organisasi bisnis membutuhkan suatu pola  kepemimpinan yang mampu menggerakkan anggotanya untuk bersama-sama  berjuang mencapai cita-cita yang telah disepakati bersama. Pola  kepemimpinan inilah yang  dituangkan dalam konsep Quantum  Leadership.  
Makna quantum  dalam konteks kepemimpinan lebih menekankan kepada “sedikit tetapi  memberi dampak yang sangat besar”. Artinya seorang pemimpin - dengan  pendekatan Quantum Leadership - akan memberi  dampak dan energi yang sangat besar kepada organisasi dan seluruh anggotanya.  Konsep Quantum Leadership adalah konsep kepemimpinan yang  berorientasi pada masa depan dengan komitmen untuk dapat “melihat dan  bermimpi”, “mengubah”, serta “menggerakkan” anak buah ke arah  tujuan yang direncanakan.    
Pemimpin harus dapat ‘melihat’ masa depan dan ‘bermimpi’ apa yang harus  dicapai di masa depan. Ia mempunyai angan-angan tentang bagaimana dan  ke mana organisasinya dan para pengikutnya akan ‘dibawa’ di masa  mendatang. Dia harus membuka jendela masa depan dan menuangkannya dalam  sebuah visi. Namun angan-angan saja tentu tidak cukup. Seorang pemimpin  mesti  merealisasikan angan-angan dan mimpi-mimpinya agar menjadi  kenyataan di masa depan. Artinya dia harus ‘merubah’ dari  situasi  sekarang menjadi situasi seperti yang diangankan pada masa depan.   
Langkah berikutnya adalah menjadi pedagang harapan (merchant  of hope)  kepada para pengikutnya. Pemimpin akan mengkomunikasikan angan-angan  dan mimpinya, yang dapat membangkitkan harapan, menyulut semangat, dan  beranjak dari situasi masa kini. Selayaknya ada dua elemen dasar yang  harus terkandung dalam sebuah visi, seperti yang diungkap oleh Tichy dan  Devana, yaitu sebuah kerangka kerja konseptual untuk memahami tujuan  dan bagaimana mencapainya, serta sisi emosionalnya untuk memacu  motivasi. Mimpi yang bernama visi itu, kata Nanus, haruslah realistik,  dipercaya, dan mempunyai daya  tarik masa depan.  Seorang pemimpin harus  memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan sebuah visi  yang realistis, kredibel, memacu semangat  dan akhirnya menggerakkan  pengikutnya untuk mencapai tujuan.
Dalam konsep  leadership terdapat lima kekuatan besar yang menjadi pendukung penerapan konsep ini yaitu visi, strategi, komitmen, aksi, dan sensitivitas.  Visi berarti cita-cita ke depan, lamunan atas masa depan organisasi.  Sebab seperti sebuah pepatah menyatakan bahwa “kita tidak akan pernah  mampu membangun sebuah kastil pun di mana pun juga apabila kita tidak  mampu membangunnya dalam pikiran kita”. Visi ini kemudian dijabarkan  menjadi misi dan diderivasi lebih lanjut menjadi strategi. Strategi yang  menjadi panduan bagi tiap anggota organisasi dalam melakukan segala  kegiatannya. Komitmen lebih kepada berpegang teguh terhadap apa yang  telah ditetapkan bersama. Yaitu visi, misi, tujuan jangka panjang,  sampai ke tahapan strategi. Faktor selanjutnya adalah aksi. Aksi di sini  adalah derivasi lanjutan dari strategi. Jadi, lebih mengarah kepada  taktik dari organisasi yang bersangkutan. Faktor terakhir adalah  sensitivitas. Yang dimaksud dengan sensitivitas di sini adalah  sensitivitas terhadap perubahan yang terjadi disadari atau tidak.  Perubahan baik dari dalam ataupun dari luar organisasi. Hasil akhirnya  adalah kecepatan organisasi untuk mengerjakan operasionalnya sehingga  cita-cita bersama dapat dicapai dengan cepat dan tepat.
Kelima hal ini membantu terlaksananya tiga filosofi dasar quantum leadership.     Pertama, filosofi yang berkaitan dengan tugas seorang pemimpin untuk  ‘melihat, bermimpi, dan melaksanakan’, yang disebut sebagai architect approach. Seorang  pemimpin diumpamakan sebagai seorang arsitek pembangun masa depan  organisasi. Dia diharapkan mampu membuat bangunan imajinernya tentang  bangunan masa depan organisasi, tetapi tetap juga harus berpijak pada  realitas, yang dapat kita sebut sebagai pendekatan Creative Imagination Based on Reality (CIBOR).  Seorang arsitek apabila diberikan sebidang tanah yang berbukit-bukit  untuk dibangun, tidak akan berpikir seperti berikut: “Wah, ini sih  sulit…mengapa tidak membeli sebidang tanah yang datar sehingga akan  memudahkan saya untuk membangunnya ?”. Jika hal ini yang terjadi, maka  arsitek bukanlah arsitek yang hebat. Mengapa? Karena tidak semua tanah  itu datar. Justru ia harus menghadapi realitas yang ada (tanah  berbukit-bukit), dan menciptakan bangunan yang paling layak untuk  kondisi yang ada. Seorang pemimpin harus memahami realitas internal  maupun eksternal organisasi, menerima keadaan ini, dan membuat  angan-angan “bangunan masa depan” berdasarkan realitas ini. Jadi,  imajinasi yang hebat saja tidak memadai, karena  tetap harus berpijak ke  bumi. Seorang Quantum Leader tidak boleh beripikir melantur ke  mana-mana, tetapi harus mempunyai pemikiran yang sangat mungkin untuk  direalisasikan.
Kedua,  filosofi yang berkaitan dengan peran seorang Quantum Leader untuk  “mengubah”, yaitu Nurture with Respect, Love, and Care. Artinya  untuk “mengubah” anggota organisasi diperlukan pendekatan personal yang  prima dari seorang pemimpin.  Pemimpin yang baik akan membimbing  pengikutnya sehingga mereka mampu – paling tidak – menjadi pemimpin bagi  dirinya sendiri. Pemimpin yang baik akan membimbing anak buahnya dengan  rasa hormat, cinta, dan penuh perhatian.  
 Ketiga, filosofi Quantum Leadership berkaitan dengan ‘menggerakkan’ yaitu menerapkan The Golf Game Concept yang terdiri dari direction (mengarahkan), distance (mengukur jarak), dan precision (ketepatan). Maksudnya untuk menggerakkan anak buah mesti memiliki tata pikir seperti dalam permainan golf. Sebelum memukul bola golf pertama kali yang harus dilakukan adalah menentukan arahnya. Jika arahnya salah semua usaha yang akan dilakukan akan sia-sia. Kemudian barulah memperkirakan jaraknya. Dan setelah itu berpikir mengenai ketepatannya. Demikian pula dalam kepemimpinan. Seorang Quantum Leader pertama kali harus berpikir mengenai arah yang ditempuh untuk mencapai visi, kemudian memperkirakan berapa “jauh” impian itu harus dicapai dan barulah melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Dalam permainan golf, seseorang yang paling ahli sekalipun tidak akan mampu menyelesaikan suatu pertandingan berkali-kali hanya dengan satu kali pukulan (hole in one). Hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Demikian pula dalam kepemimpinan untuk mencapai visi yang telah ditetapkan perlu dibuat tahapan-tahapan yang diperlukan (milestones).
Kok nggak disebutkan sumbernya pak?
BalasHapus