Filsuf dari
negeri bambu China,”orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak
yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai
bicara.” tapi orator harus banyak bicara dan harus menarik kalau ingin
didengarkan oleh audiennya kalau tidak massa akan bubar, tentu saja dalam
berbicara harus memasukan bumbu humor dan nilai yang mudah dipahami oleh
berbagai kelompok pendengar
Kata
retorika mengingatkan kita pada tokoh sejarah yang luar biasa walaupun tidak
kejamanan, seperti soekarno presiden pertama kita yang luar biasa sekali dalam
setiap orasinya selalu bisa menghipnotis massa yang luar biasa sekali atau
sekaliber Hitler yang terkenal kejam tapi soal orasinya dunia mengakuinya. Dijaman
sekarang siapa tak kenal da'i sejuta ummat atau Aa Gym yang bisa menghimpun
masa begitu luar biasa seperti layaknya konser musik bedanya mereka santun tak
kenal tawuran.
Retorika itu apa ?
Retorika (rethoric) biasanya disinonimkan dengan seni atau kepandaian
berpidato, sedangkan tujuannya adalah, menyampaikan fikiran dan perasaan kepada
orang lain agar mereka mengikuti kehendak kita
Menurut Aristoteles, Dalam retorika terdapat 3 bagian inti yaitu :
- Ethos (ethical) : Yaitu
karakter pembicara yang dapat dilihat dari cara ia berkomunikasi
- Pathos (emotional) : Yaitu
perasaan emosional khalayak yang dapat dipahami dengan pendekatan “Psikologi
massa”.
- Logos (logical) : Yaitu
pemilihan kata atau kalimat atau ungkapan oleh pembicara
Menurut Kenneth Burke, bahwa setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah
drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu ‘mendramatisir’ keadaan
khalayaknya. (Dramaturgical Theory) Sedang Walter Fisher, bahwa
setiap komunikasi adalah bentuk dari cerita (storytelling). Karenanya,
jika kita mampu bercerita sesungguhnya kita punya potensi untuk berceramah. (Narrative
Paradigm)
Wikipedia mengartikan retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik
pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui
karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles
mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos'
atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau
teknik persuasi
Lebih
lanjut Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan
media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang
jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada
perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas)
dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis
dan visual. politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang
untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan
yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan
pengharapan mereka.
Dalam
doktrin retorika Aristoteles terdapat tiga teknis alat persuasi
politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang
akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik
lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada
masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau
ganjaran. Retorika demonstartif
memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau
penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang,
lembaga maupun gagasan.
Retorika sebagai kesenian berbicara baik (kunst gut zu
redden atau ars bene dicendi) yang dicapai ebrdasarkan bakat alam dan
keterampilan teknis Lebih luas lagi Retorika adalah kecakapan berpidato di
depan umum (study retorika di Sirikkusa ibu kota Sislia Yunani abab ke 5 SM). Retorika
adalah memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis yang terdiri
dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir abad ke 5 SM).
Retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang tentang keterampilan, tentang
menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu kasus (Aristoteles) Study
yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya (Richard
awal abad ke 20-an)
Retorika adalah yang mengajarkan tindak dan usaha yang
efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling
pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Seni
berbicara (bhs Yunani); awalnya digunakan dalam perdebatan di ruang pengadilan,
atau perdebatan-perdebatan antar personal.Dari definisi beberapa artikel ada
beberapa batasan tentang retorika :
- •Retorika adalah pers yang tidak
tertulis, tetapi dipidatokan sebagai media propaganda untuk membentuk
pendapat umum.
- Retorika adalah suatu kemampuan untuk
mempengaruhi, mengurangi jiwa manusia secara positif ke arah kebenaran,
dan menekankan jiwa-jiwa manusia (Plato
- Retorika sebagai seni
berbicara memang memiliki daya persuasi yang sangat tinggi, dengan
menggunakan bahasa lisan yang indah (irama, mimik, dan intonasi suara).
•
Sejarah perkembangan retorika
Objek
studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali
dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan,
dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi.
Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. “Sejarah
manusia”, kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh
besar dalam sejarah, “terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang
dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan
Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu
berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang
menawan”.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah
koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para
tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah
rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator
ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah
rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil
haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu
itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus
meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil
memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah
retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini
sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah
itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan
sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di
pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya,
“Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan
mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan
karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan
untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana
mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika
memang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen,
penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak
mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya
Syracuse tidak
bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang
menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau
mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem¬beritahukan hal
itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya.
Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya,
tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah
dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi
menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM),
filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai
banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah
berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus,
ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi
perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi
dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan
prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh
sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu
luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan
Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan
logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan
“pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi
bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia
meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk
seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari
satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen terbang”.
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan
menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan
mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi
meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio
tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik
memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar.
Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago
pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila
mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan
menikmati “adu pidato” seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan
menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak
berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi
dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia pidato pada
akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia
mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal
di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya
sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia
melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya
seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada
negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang
pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang
terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada
Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya
yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut
Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus
retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya
untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah
pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra
negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika
dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa
retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh
dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang
boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk
mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik
muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak
berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran
suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan
keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis
risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini
dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah
mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon,
Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut
membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing
di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka
mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup
membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang
diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang
sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut.
Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah
prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang
menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan
retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika
yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif.
Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan
retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas
organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato
menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan
demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak.
Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah
wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah.
Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles
dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal
sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan).
Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui
metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain
daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi
tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan
tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus
sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas,
kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda
harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih
sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli
retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda
Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti.
Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang
efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa
Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak
lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan
keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan
kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita
(mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama
(kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang
menderita, saya berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti
mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita “. Ucapan yang ditulis
miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa
contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh
bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang
fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau
mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian.
Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis.
Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar,
pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik
perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan
bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles memberikan nasihat
ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang
jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan
sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya,
dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan
keledai” untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik,
memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini,
pembicara menyampai¬kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan.
Demos¬thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata
hipo¬krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan,anggota
badan (gestus moderatio cum venustate). Tetapi, orator harus berpedoman pada
dasar-dasar yang di dalamnya terdapat kebenaran dan kebajikan.
Abad pertengahan
Sejak zaman Yunani sampai zaman
Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya
terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan
politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak
sampai ha¬bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika
demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang
pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke
belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai
berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika
agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak
orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh
orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama
Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan
kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen
tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus
sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng¬gerakkan – yang oleh Cicero disebut
sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan
kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian,
di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan,
“Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang
menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh
firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada
sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang
mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering
menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia
tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat
memperhatikan orang¬-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan
keadaan mereka. Ada
ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me¬namainya Madinat al-Balaghah
(Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi
Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle,
“every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his
eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan
bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para
peng¬ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban
Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi,
warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji
dengan tekun oleh para ahli ba¬laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi
berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta
ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga
pen¬didikan Islam tradisional.
Retorika modern
Retorika modern diartikan sebagai seni berbicara atau kemampuan untuk
berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian
pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara
komunikator. Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di
Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai¬kan.
Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah
Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir
Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus.
Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya
sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio
dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan,
menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon
(1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga
pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia
menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk
menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-¬fakultas
psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis,
dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori
pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia.
Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan
perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah
tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi
fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan
sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas – atau kemampuan jiwa
manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut
definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman,
menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan
teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan
argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana
mencari argumentasi yang tepat dan meng¬organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell
me¬nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika
yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum
epistemologis – aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa
Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng¬utamakan keindahan
bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi
informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me¬nulis
Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu¬bungan
antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa
(taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa
pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita¬rasa, Anda senang mendengarkan
musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah,
atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan
ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat
menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan
perhatian mereka pada persiapan pidato – pada penyu¬sunan pesan dan penggunaan
bahasa. Aliran ketiga – disebut gerakan elokusionis – justru menekankan teknik
penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis
penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus
mengarahkan mata¬nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia
tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada
yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin
mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal
yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per¬hatian – dan
kesetiaan – yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis,
pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi
artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan
penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian pidato.
Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau
hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain,
dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem¬bangan ilmu
pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan
sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser
oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public
speak¬ing. Di
bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public
Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James
dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori
James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men¬definisikan
persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak
terbagi terhadap proposisi-propo¬sisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan
emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban
sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation)
dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga.
Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi
yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication”
sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan
seluruh orga¬nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da¬sar
utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus
diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan
situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi
tersebut, (4) pilih kalimat-ka¬limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya
yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor
keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang
merupakan hasil pemikiran. Ki¬ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan
keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur:
(1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai
kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4)
kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini.
Dimulai
pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi
(motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan.
Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang
disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang
patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck
dan Howell (Per¬suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver
(Psychology of Per¬suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh “notorious”
Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941),
Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918)
adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech
communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis.
Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada
mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan
penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres¬tasi akademis
mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa
yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi
dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam
hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar
adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk
berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka
fenomena yang membentuk kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data
statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat
kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
Public
speaking
Istilah lain adalah
public Speaking (PS) yang cakupannnya lebih luas lagi yang secara
harfiyah artinya berbicara di depan umum, utamanya ceramah atau pidato. Secara
luas, PS mencakup semua aktivitas berbicara (komunikasi lisan) di depan orang
banyak, termasuk dalam rapat, membawakan acara (jadi MC), presentasi, diskusi,
briefing, atau mengajar di kelas. Presenter TV dan penyair radio termasuk
melakukan PS dilihat dari sisi jumlah audience yang banyak (publik), meskipun
tidak face to face.
Menjadi “Great Public Speaker” dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
- Practice –Latihan
pidato di depan kawan-kawan, keluarga, bahkan anjing/kucing, atau siapa
saja yang bisa mendengarkan; di depan cermin; menggunakan recorder.
- Building Skill –membangun
keterampilan PS dengan memahami teknik PS, meliputi persiapan dan
penyampaian.
Persiapan
Persiapan
Mental
- Rileks! Atasi gugup
dengan menarik nafas panjang/dalam; menggerakan badan; berdiri tegak
layaknya tentara berbaris dengan bahu dan dada yang tegap, lalu
tersenyumlah!
- Know the room! Jadikan seakan-akan ia
kamar Anda sendiri.
- Know the audience!
Kenali karakteristik dan pandang mereka sebagai teman akrab.
- Know your material!
Anggaplah Anda yang paling tahu.
Persiapan Fisik
- Pastikan kondisi badan dan suara fit,
segar, dan normal
- Kenakan pakaian yang serasi dengan susana
acara.
- Jangan memakan keju, mentega, atau minum
susu, soda, teh, kopi, sekurang-kurangnya sejam sebelum tampil.
- Jabatlah tangan Anda agar darah mengalir
— membuat gerakan tangan Anda lebih alami saat berbicara di podium.
- Jaga agar mulut dan tenggorokan Anda
tetap basah. Siapkan selalu air mineral.
Persiapan
Materi
- Baca literatur dan cari
sumber data sebanyak mungkin. Semakin banyak pengetahuan dan wawasan, Anda
pun kian percaya diri.
- Susun pointer atau
outline.
- Anda punya empat
pilihan penguasaan materi: Membaca naskah (Reading from complete text),
menggunakan catatan (Using notes) berupa garis besar materi (outline) –ini
cara terbaik, menggunakan hapalan (memory) –pilihan terburuk karena
komunikasi dengan audience berkurang, terutama soal kontak mata; dan
menggunakan alat bantu visual sebagai catatan (Using Visual Aids as
Notes).
Pembukaan
- Start Low and Slow
- Don’t apologize.
- Teknik pembuka a.l.
langsung menyebut pokok persoalan yang akan dibicarakan; mengajukan
pertanyaan provokatif, menyatakan kutipan — teori, ungkapan, peristiwa,
atau pepatah.
Penyampaian
- Teknik pemaparan: deduktif – gagasan
utama ke perincian; “teori” ke empiris; induktif – kasus ke kesimpulan;
empiris ke “teori”; kronologis – Urutan peristiwa.
- Audible –bicaralah agak
keras agar cukup terdengar (Audible)
- Clarity — ucapkan setiap
kata dengan jelas (Clarity).
- Gunakan kata berona (colorfull word) –
yang melukiskan sikap, perasaan, keadaan. Misalnya, kata “terisak-isak”
lebih berona daripada kata “menangis”; kata “matanya berbinar-binar” ->
bergembira, dll.
- Kalimat aktif (action
words) lebih dinamis daripada kalimat pasif.
Penutup
- Langsung tutup, ucapkan
salam, jika materi pembicaraan sudah disampaikan atau waktu sudah habis.
- Teknik penutup:
menyimpulkan, menyatakan kembali gagasan utama dengan kalimat berbeda,
mendorong audience untuk bertindak (Appeal for Action), kutipan sajak,
kitab suci, pribahasa, atau ucapan ahli, memuji khalayak, dll.
Elemen public speaking
Teknik Vokal
- Intonasi (intonation) –nada suara,
irama bicara, atau alunan nada dalam melafalkan kata-kata.
- Aksentuasi
(accentuation) atau logat, dialek. Lakukan stressing pada kata-kata tertentu yang dianggap penting.
- Kecepatan (speed).
Jangan bicara terlalu cepat.
- Artikulasi
(articulation), yaitu kejelasan pengucapan kata-kata; pelafalan kata (pronounciation).
- Infleksi – lagu kalimat, perubahan nada
suara; hindari pengucapan yang sama bagi setiap kata. Infleksi naik
(go up) menunjukkan adanya lanjutan, menurun (go down) tunjukkan akhir
kalimat.
Eye
Contact
1. Pandang audience; sapukan pandangan ke seluruh audience.
2. Pandang tepat pada matanya!
Gesture
- Alami, spontan, wajar,
tidak dibuat-buat.
- Penuh, tidak sepotong-sepotong, tidak
ragu.
- Sesuai dengan
kata-kata.
- Gunakan untuk
penekanan pada poin penting,
- Jangan berlebihan. Less
is more!
- The most important
gesture: to SMILE!
- Gerakan tubuh meliputi:
ekspresi wajah, gerakan tangan, lengan, bahu, mulut atau bibir, gerakan
hidung, kepala, badan, kaki.
- Setiap gerakan
mengandung tiga bagian: Pendekatan (The Approach) – Tubuh siap untuk
bergerak; Gerakan (The Stroke) – gerakan tubuh itu sendiri; dan Kembali
(The Return) – kembali ke posisi semula atau keadaan normal.
- Variatif, jangan monoton. Misalnya
terus-menerus mengepalkan jari tangan di atas.
- Jangan melalukan gerakan tubuh yang tidak
bermakna atau tidak mendukung pembicaraan seperti: memegang kerah baju,
mempermainkan mike, meremas-remas jari, dan menggaruk-garuk kepala.
- Makin besar jumlah hadirin, kian besar
dan lambat gerakan tubuh yang kita lakukan. Jika kita berbicara di depan
hadirin dalam jumlah kecil, atau di videoconferencing, atau di televisi,
lakukan gerakan tubuh alakadarnya (smaller gestures).
Humor
- Bumbu Public Speaking.
- Use Natural Humor!
Don’t try to be a stand up comedian!
- Gunakan hentian (pause) sekadar
memberikan kesempatan kepada pendengar untuk tertawa.
- Teknik humor a.l. Exaggeration
–melebihkan sesuatu secara tidak proporsional. Misalnya, ungkapan “hujan
lokal” bagi pembicara yang “menyemburkan” air liur; parodi –meniru gaya
suatu karya serius (lagu, pepatah, puisi) dengan penambahan agar lucu,
misalnya mengubah lirik lagu dengan kata-kata baru bernada humor; teknik
belokan mendadak –membawa khalayak untuk meyakini bawa kita akan berbicara
normal, namun tiba-tiba kita mengatakan sebaliknya atau tidak
disangka-sangka pada akhir pembicaraan. Contoh: Saya mencintai seorang
wanita, namun kami tidak bisa menikah karena keluarganya merasa keberatan.
Saya tidak bisa apa-apa, karena keluarganya yang tidak setuju itu adalah
suami dan anak-anaknya!; TV (baca: tivi) yang dibuat di Bandung dan bermerk
“Parisj van Java” yaitu tipikir-pikir tidak ada.
Mengatasi Rasa Takut
Para
pakar Public Speaking (PS) lazimnya memberi tips sebagai berikut guna mengatasi
rasa takut berbicara di depan umum. 1. Relax Your Body! Lakukan relaksasi agar
tubuh rileks, santai, tidak tegang. Ambil nafas dalam-dalam, tahan
sebentar, lalu keluarkan perlahan-lahan. Pada saat yang sama, lemaskan lengan,
bahu, dan tangan –biarkan semuanya terkulai. Ulang berkali-kali sebelum tampil.
2. Relax your Voice! Lakukan relaksasi suara, misalnya dengan menyuarakan vokal
AEIOU secara naik-turun, ragam nada, mirip nyanyi.
3. Practice! Sering berlatih, di depan cermin atau di depan kawan-kawan
terdekat, bahkan di depan kucing peliharaan Anda. Sering ikut terlibat dalam
diskusi atau acara talkshow melalui telepon di radio juga sangat bagus untuk
berlatih public speaking.
4. Prepare! Lakukan persiapan –fisik, mental, materi. Fisik harus fit.
Mental harus kuat, percaya diri, anggaplah diri Anda yang paling tahu dan orang
lain ingin tahu ayang Anda ketahui. Siapkan data dan referensi topik
pembicaraan sebanyak mungkin. Makin luas wawasan, Anda akan kian percaya diri. Ada nasihat bagus dari Jack Valenti, penulis naskah pidato
Presiden Amerika, Lyndon Johnson: “The most effective antidote to stage fright…
is total monkish preparation” (Obat paling mujarab mengatasi “demam panggung”…
dalah melakukan persiapan total).
Ringkasnya,
atasi rasa gugup atau takut PS dengan melakukan tiga hal: perencanaan,
persiapan, dan latihan. Kita persiapkan topik atau yang akan dibicarakan dan
bagaimana mengemukakannya. “Being prepared is
half the battle to overcoming anxiety.” Persiapan adalah setengah pertempuran
untuk mengatasi rasa takut.
Banyak orang melakukan public speaking –berbicara di
depan umum, seperti pidato. Beberapa menikmatinya, namun kebanyakan merasa
takut. Kunci sukses utama pembicara adalah ringkas dan fokus!
Pada akhir musim semi tahun 2005, trainer public speaking,
Elliot Essman, menulis buku You Have A Voice: Key Rules For Public
Speaking Success. Pengalamannya selama 25 tahun ia
saring dan disarikan dalam “Tiga Aturan Dasar Public Speaking ala Elliot” (Elliot’s
Three Basic Rules of Public Speaking).
Berikut ini
Tiga Aturan Dasar Public Speaking tersebut sebagaimana dipublikasikan situs buildingyourself.com yang saya terjemahkan dan “tafsirkan” secara bebas.
- Less is more.
Bicaralah singkat saja. Jangan berusaha menyampaikan banyak hal
dalam pembicaran Anda.
- Some things work and
some things don’t. Beberapa hal
berjalan baik dan beberapa hal tidak. Anda hanya dapat pelajari apa yang
mampu memikat hadirin. Pilih tema atau materi yang ”pas” buat hadirin.
- You only have one
enemy. Audiens hanya tahu apa yang Anda katakan
kepada mereka. Mereka tidak bisa melihat ke dalam otak Anda. Kebiasaan Anda
mengkritik diri sendiri membuat Anda sendirilah yang menjadi musuh utama
Anda.
Kejelasan
Kejelasan (Clarity) adalah tugas
nomor satu seorang pembicara (job number one for a speaker).
Untuk mencapai kejelasan, hal
utama dilakukan adalah bicara singkat, tidak berlama-lama atau berpanjang
lebar. Fokuslah pada apa yang hendak atau harus disampaikan. Jangan bernafsu
menyampaikan ”semua hal” dalam satu kesempatan berbicara.
Pembicaraan pendek lebih disukai
dan efektif ketimbang pembicaraan panjang yang cenderung melenceng, meluas, dan
tidak fokus. Pembicaraan panjang cenderung membingungkan audiens. Terlalu
banyak yang harus mereka serap.
Materi
Siapkan dan
pilih tema atau materi yang menarik dan dibutuhkan audiens. ”Raba”-lah
kebutuhan informasi mereka atau yang mereka ingin dengar dari pembicaraan Anda.
Anda harus memilih dan memilah materi apa yang
penting, tidak penting, juga yang tidak Anda kuasai. Anda juga harus mengedit
sendiri dan menyusun isi pembicaraan Anda.
Berbicara membutuhkan fokus. Pemburu yang mengejar
dua kelinci, biasanya gagal menangkap satu pun. Pembicara yang baik fokus pada
poin-poin penting, mengulangi poin penting, dan menggunakan materi yang relevan
untuk mendukung poin-poin penting.
Audiens = Teman Anda
Anda hanya memiliki satu musuh. Anda sendirilah musuh
itu. Sekutu terbesar Anda sebagai pembicara adalah audiens Anda. Mereka adalah
pasukan Anda, teman Anda, bukan musuh Anda. Mereka ingin Anda berhasil! Wasalam.
Sumber :
- Wikipedia
- www.romeltea.com/
- http://www.fathurin-zen.com
- http://cukupsudah.wordpress.com/
- www.infosec-technologies.com,
- www.dunfermlinepress.com