Laman

Sabtu, 15 Oktober 2011

Wajah Baru Politik Tionghoa?

TiongHoa dan politik secara historis tidak bisa dipisahkan karena sebagai etnis diasporik, etnis ini dituntut untuk selalu beradaptasi dengan penguasa setiap rezim. Setiap penguasa punya derajat perlakuan yang berbeda-beda dan membawa konsekuensi pada corak politik Tionghoa.

Meski demikian, ketersinggungan dengan dunia politik juga dipengaruhi persoalan orientasi politik yang muncul dari internal etnis ini. Faktor sejarah migrasi pada masa kolonialisme dan derajat penetrasi etnis Tionghoa dengan kebudayaan lokal juga memberikan pengaruh yang besar bagi ketersinggungan etnis ini dengan dunia politik.

Pada masa kolonial, identitas Tionghoa dapat diidentifikasi dengan dua term: totok dan peranakan. Selain riwayat kelahiran, faktor derajat penyesuaian dengan kebudayaan lokal juga menjadi faktor pembeda antara totok dan peranakan. Totok didefinisikan dalam relasinya dengan sejarah kelahiran mereka di negara asal dan tingkat orientasi budaya serta politiknya terhadap negara leluhur mereka. Sementara peranakan mengacu pada kelahiran diluar negara Cina dan derajat penyesuaian diri dengan budaya lokal, termasuk bahasa.

Dikotomi totok dan peranakan pada akhirnya juga cenderung memberikan warna politik yang berbeda. Totok misalnya cenderung mendukung nasionalisme Cina, sementara peranakan, sekalipun tetap ada yang berorientasi Cina, pada umumnya mendukung kekawulaan Belanda atau nasionalisme Indonesia.

Jika pada masa kolonial orientasi politik etnis ini terbagi dalam tiga corak, maka setelah Indonesia merdeka sikap mereka terpecah dalam beberapa kelompok, yakni integrasionis, asimilasionis dan cukong. Masing-masing kelompok ini menempuh cara politik yang berbeda-beda dalam mencapai tujuannya. Ketika Indonesia memasuki masa reformasi, corak aktivisme politik menjadi fenomena baru. Dua cara yang dipakai oleh etnis ini adalah gerakan tuntutan untuk mendapatkan hak-hak konstitusional dan keterlibatan dalam berbagai kandidasi-kandisasi pemilu. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, keterlibatan Tionghoa dalam berbagai kandisasi terlihat meningkat sangat signifikan.

Dalam perkembangan politik mutakhir, definisi identitas Tionghoa yang mengacu pada totok dan peranakan tentu tidak lagi relevan. Pencarian identitas diluar pemilahan tersebut menjadi penting untuk ditelusuri. Berkaitan dengan orientasi dan strategi politik, perkembangan mutakhir memungkinkan terjadinya reorientasi politik etnis ini ke dalam bentuk lama atau jsutru ke dalam bentuk yang sama sekali baru.

Jika melihat variasi kemunculan organisasi Tionghoa sejak reformasi, memang tidak bisa ditampik bahwa terjadi heterogenitas dalam tubuh Tionghoa itu sendiri. Namun basis-basis organisasi ini yang lahir dari solidaritas etnisitas dan kolektivitas kebudayaan memunculkan kekhawatiran mengenai peningkatan ekskalasi identitas Tionghoa. Sekalipun Dawis (2010) mengatakan bahwa kemunculan organisasi-organisasi berbasis solidaritas dan warisan budaya kolektif tersebut pada dasarnya mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa Indonesia, namun potensi pengalihan jejaring menjadi kekuatan politik sangat mungkin terjadi.

Studi Sarumpaet (2009) mengenai politik Tionghoa di kota Medan menampakan tanda-tanda adanya pergerakan baru orientasi politik Tionghoa yang tidak sekedar aktivisme melalui tuntutan hak-hak konstitusional dan terjun ke arena politik. Orientasi baru yang mengiringi partisipasi politik Tionghoa dapat menjadi babak ulang dari orientasi-orientasi sebelumnya. Menurut Sarumpaet, politik Tionghoa di kota Medan menampakkan situasi reclaiming politik seperti yang pernah muncul di masa Orde lama.

Studi Sarumpaet juga menemukan fenomena yang menarik berkaitan dengan jejaring ekonomi yang selama ini memang menjadi citra Tionghoa. Tujuan etnis Tionghoa di kota Medan untuk berpartisipasi dalam dunia politik electoral menurut studi ini adalah karena kepentingan reproduksi benefit pada level ekonomi dan politik. Secara politis, partisipasi Tionghoa bertujuan untuk mendorong perubahan aturan-aturan yang dianggap diskriminatif, sementara secara ekonomi keterlibatan politik mereka dimaksudkan sebagai alat control berbagai kebijakan dari dekat. Partisipasi ini berpotensi membuka kembali politik perkoncoan seperti yang pernah berkembang pada rezim Orde Baru.

Jejaring ekonomi masyarakat Tionghoa yang demikian menurut Setyaningrum (2004) tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah migrasi mereka ke berbagai Negara. Pola migrasi mereka antara lain adalah pola kuli, pola pedagang, pola perantau, dan pola migrasi secara keturunan.

Pola diaspora Tionghoa inilah yang mempengaruhi transnasionalisme Tionghoa di berbagai belahan bumi yang ditopang oleh beberapa aspek. Pertama strategi fleksibel yang dikembangkan oleh para kapitalis Tionghoa dalam memperluas dan mengambil manfaat dari jejaring kekerabatan tersebut. kedua adalah kecenderungan rezim pemerintahan tempat diaspora Tionghoa yang mengambil manfaat dari jejaring Tionghoa dan menawarkan posisi-posisi menarik bagi etnis Tionghoa. Adapun elemen-elemen transnasionalisme Tionghoa adalah kekeluargaan sebagai ikatan paternal, saling membangun jalur, etika konfusianisme, dan pada akhirnya membentuk jejaring kekerabatan Tionghoa yang kuat (Setyaningrum, 2004;lihat juga Rahoyo, 2010).

Jika demikian, maka seperti yang dikatakan oleh Budiman (2005) Tionghoa masih berada dalam situasi transisi yang prosesnya tidak sederhana dan belum dapat diprediksi. Orientasi politik Tionghoa menyimpan potensi mengalami reorientasi pada corak tertentu pada konteks Indonesia mutakhir. Kehawatiran Lan (2010:13-15) bahwa berbagai organisasi Tionghoa yang muncul sesudah reformasi tidak dibarengi dengan konsep jelas apakah, mengarah pada integrasionis, asimilasionis, atau multikulturalis menyebabkan Tionghoa dalam wajah baru Indonesia masih penuh tanda tanya.

Di tengah perkembangan demokrasi politik Indonesia dewasa ini, kita sebenarnya berharap banyak partisipasi politik etnis Tionghoa dapat memberikan warna baru dalam proses pencerahan dan pendidikan politik. Mereka memiliki kemampuan financial dan intelektual yang relatif baik dengan harapan dapat memberi karakter kuat dalam visi baru reformasi politik. Namun alih-alih kita berharap partisipasi mereka dapat berkontribusi positif, sepanjang politisi yang mengaku pribumi juga masih kerap mempertontonkan pragmatisme dan oportunisme, maka jangan berharap lebih. Dan jelas bahwa reformasi politik tidak boleh dipahami sebagai pekerjaan primordial dan sentimental.

Opini Bangka Pos, Senin (10/10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda