Laman

Jumat, 22 Januari 2016

Soeharto Lengser: Perspektif Luar Negeri




By : Ben Anderson, Daniel S. Lev, Gerry Van Klinken, Jefrey Winters, Michaels Vatikotis, LKis, Translator: Farid Wahdiyono

Buku ini adalah sekumpulan pengamatan para Indonesianis asing atas pergeseran kekuasaan di Indonesia. Variasi pandangan yang dikemukakannya sangat menarik kalau kita lihat sebagai perspektif kritis “orang luar”. Dibandingkan dengan pengamatan “orang dalam”, paling tidak ada jarak emosional dan politis dalam pengamatan “orang luar”.

 
Hari-hari Terakhir Seorang Despot

APAKAH orang-orang yang oleh Jenderal Soeharto tak ingin diterima dan dijumpai lagi, setelah lengser, bisa dianggap bagaikan Brutus bagi mantan Presiden kedua Republik Indonesia itu? Sejauh yang bisa dicatat, Soeharto tak pernah terbuka mengatakan keengganannya terhadap orang-orang yang masuk ‘daftar hitam’. Namun, ada orang-orang tertentu yang memang tak lagi diterima kedatangannya seperti sediakala di Jalan Cendana. Dua di antaranya adalah Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tandjung, yang pada 20 Mei 1998 bersama duabelas menteri bidang ekonomi lainnya mengajukan surat menyatakan tak bersedia ikut dalam kabinet reformasi yang akan dibentuk Presiden Soeharto.

Jenderal Soeharto Setelah Mengundurkan Diri.
“Ketidaksetiaan, kalau hanya berasal dari seorang atau dua orang menteri yang kurang kunci kedudukannya, mungkin tidak akan berakibat fatal. Sedangkan semangat besar Soeharto bagi pertumbuhan ekonomi, yang data statistiknya mengisi pidato-pidatonya, mungkin sekali menimbulkan kesakitan yang dirasakannya, meningkat akibat ambruknya pembangunan kesayangannya serta murtadnya mereka yang justru dipercayainya untuk memulihkan ekonomi itu”. (Foto Daily Telegraph)

Dalam sudut pandang hitam-putih, di mata Soeharto, sebelas menteri ini bagaikan awak kapal yang meloncat awal saat menduga kapal akan karam, dan bukannya lebih dulu ikut mencoba menyelamatkan kapal. Bagi Soeharto, pembelotan para menteri pada 20 Mei merupakan pukulan terakhir, atau penutupan pintu terakhir. Pada malam hari itu juga setelah menerima laporan tentang surat Ginandjar dan kawan-kawan itu dari Saadilah Mursjid, Soeharto memutuskan untuk berhenti dan melaksanakan niat itu esok harinya, meski sempat meminta Habibie ‘membujuk’ mereka.

Pukulan lain, sebelumnya diterima Soeharto dari Harmoko –yang oleh Indonesianis William Liddle disebut sebagai “pembantu lama dan setia dari Soeharto”– yang dalam tempo kurang dari tiga bulan telah memainkan dua lakon berbeda. Pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soeharto sekali lagi, untuk periode 1998-2003. Presiden Soeharto yang beberapa kali sebelumnya –sejak pidato miris sejak 10 tahun sebelumnya di acara HUT Golkar 1987–melakukan ‘duga dalamnya air’ dengan pernyataan-pernyataan seakan tak terlalu menghendaki lagi terus menerus dipilih sebagai Presiden RI, ‘berhasil diyakinkan’ Harmoko bahwa rakyat masih menghendaki kepemimpinan Sang Jenderal. Akan tetapi dalam suatu keterangan pers di sore hari 18 Mei 1998 dari mulut Harmoko pula keluar kalimat “Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”. Pernyataan ini disambut gegap gempita oleh massa mahasiswa yang telah menduduki halaman gedung MPR/DPR itu. Keberhasilan massa mahasiswa menduduki gedung perwakilan rakyat itu, tak terlepas dari kesempatan yang diberikan Jenderal Wiranto, Panglima ABRI kala itu. Peran Wiranto ini, menjadi suatu cerita tersendiri lainnya.


Kesetiaan bagai selembar kertas tisu.
APAKAH kesetiaan Harmoko kepada Soeharto yang telah mengangkat posisi dan karir politiknya ke tempat yang begitu tinggi, memang hanya setipis dan serapuh selembar kertas tisu? Mungkin saja, tapi yang jelas, Harmoko juga tertekan oleh situasi makin meningkatnya gerakan perlawanan yang menuntut Presiden Soeharto turun tahta. Hanya beberapa hari sebelum pernyataan pers itu, rumah keluarga Harmoko di Solo dibakar massa. Agaknya ini yang menambah ‘ketakutan’ Harmoko, sehingga balik badan ikut arus. Dalam percakapan politik sehari-hari sebelumnya, Harmoko tergambarkan memiliki kesetiaan, atau tepatnya kepatuhan berkadar tinggi kepada Soeharto sehingga bisa melakukan apapun untuk sang pemimpin. Saat menjadi Menteri Penerangan beberapa periode ia melakukan safari ke mana-mana untuk sang Bapak Pembangunan dan menjadi juru bicara yang ‘terbaik’ bagi sang pemimpin. Dan menciptakan kelompencapir segala macam buat sang Presiden. Untuk itu, namanya sampai dijadikan akronim bagi “Hari-hari Omong Kosong”. Sebuah pertanyaan dalam humor politik yang beredar berbunyi “Kenapa rambut Harmoko belah miring?”, dan mendapat jawaban “Sesuai petunjuk bapak Presiden”.

Harmoko sepanjang yang bisa diketahui, termasuk di antara deretan orang yang tak lagi mau diterima dan ditemui Soeharto. Setelah meninggalnya Soeharto, saat mantan Presiden itu menjelang kematian di Rumah Sakit, Harmoko datang bersama santri pondok pesantren Al Barokah Nganjuk untuk mendoakan. BJ Habibie dalam pada itu, saat datang menjenguk Soeharto di Rumah Sakit tak diberi kesempatan oleh pihak keluarga untuk menemui Soeharto. Apa salah BJ Habibie? Ketika Presiden Soeharto menyampaikan niatnya untuk lengser, ia memaksudkan mundur satu paket bersama Wakil Presiden BJ Habibie. Namun, saat Soeharto mengutarakan rencana ini ke BJ Habibie, ia ini dengan sigap menukas, bahwa bila Presiden mengundurkan diri, menurut konstitusi, dengan sendirinya Wakil Presiden naik menggantikan. Sejak itu Soeharto tak mau lagi menyapa Habibie. Sewaktu berjalan ke ruangan Istana tempat akan menyampaikan keputusannya mengundurkan diri, Soeharto melewati Habibie tanpa menoleh dan menyapa sedikitpun. Habibie menceritakan kemudian, ia sangat sakit hati diperlakukan seperti itu oleh Soeharto.

Tokoh lain yang tak pernah bisa menemui Soeharto lagi sampai akhir hayatnya, adalah Ginandjar Kartasasmita. Mantan Wakil Presiden Sudharmono berkali-kali mencoba mengusahakan mempertemukan Ginandjar dengan Soeharto, tapi Soeharto tak pernah mengabulkan. Ini berbeda dengan Akbar Tandjung, yang pada salah satu Idul Fitri bisa dipertemukan oleh Sudharmono untuk bersilaturahmi dengan Soeharto. Agaknya, Soeharto masih memberi kategori berbeda di antara keduanya. Akbar Tandjung tidak pernah menjadi lingkaran dalam, sementara Ginandjar sempat menjadi salah satu di antara golden boys dan masuk lingkaran dalam, sehingga lebih tak terampunkan pembelotannya.

Secara manusiawi, perlu juga dipahami bahwa apa yang dilakukan Harmoko atau Ginandjar Kartasasmita yang dengan cepat ikut arus bah anti Soeharto, buru-buru melompat dari kapal yang akan karam, tak lain adalah bagian dari survival of the fittest di arena politik dan kekuasaan. Juga, sambil menyelam minum air, dalam artian menyelamatkan diri sambil memesan tempat dalam barisan reformasi. Tidak peduli akan digolongkan kaum Brutus atau sebaliknya sekedar sebagai batu pijakan reformasi atau syukur-syukur ikut dianggap jadi pahlawan bagi era reformasi. Inilah yang disebut seni akrobat politik. Mereka yang kurang gesit, dan mungkin agak gugup dan rada ‘bodoh’ atau kurang pintar, cenderung memilih tiarap di sudut netral. Sementara itu, mereka yang ditendang keluar dari rezim Soeharto sebelumnya, entah karena korupsi di luar sistem dan konvensi, entah melakukan kesalahan fatal lainnya, menggunakan kesempatan untuk bersih diri dengan mengidealisir diri sebagai tokoh yang ditendang karena melawan Soeharto.

Terlepas dari ada maaf atau tidak, Ginandjar Kartasasmita sempat berjaya dalam melanjutkan karir politik maupun karirnya dalam kekuasaan. Ini ada lika-liku ceritanya. Dalam penuturan Donald K. Emerson, yang sekali lagi dipinjam di sini, sehari setelah Ginandjar dan Akbar Tandjung memimpin para menteri bidang ekonomi menulis surat menolak untuk ikut lagi dalam kabinet Soeharto yang akan dibentuk, Soeharto meminta Habibie membujuk mereka mengubah niat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Habibie menggunakan kesempatan itu untuk meminta para menteri bidang ekonomi supaya mendukung dirinya seandainya Presiden nanti berhenti dan diganti Habibie. “Ginandjar dan Akbar diberi imbalan dua hari kemudian ketika Habibie yang sudah menjadi presiden, mengangkat mereka dalam kabinetnya yang pertama”. Ginandjar dalam kedudukan yang sama yang dipegangnya sebelumnya, Akbar sebagai Menteri Sekertaris Negara. “Ketidaksetiaan, kalau hanya berasal dari seorang atau dua orang menteri yang kurang kunci kedudukannya, mungkin tidak akan berakibat fatal. Sedangkan semangat besar Soeharto bagi pertumbuhan ekonomi, yang data statistiknya mengisi pidato-pidatonya, mungkin sekali menimbulkan kesakitan yang dirasakannya, meningkat akibat ambruknya pembangunan kesayangannya serta murtadnya mereka yang justru dipercayainya untuk memulihkan ekonomi itu”.

Apapun soalnya, setelah itu karir politik Ginandjar dan Akbar terus melesat. Akbar kemudian berhasil menjadi Ketua Umum Golkar yang secara retoris selalu dinyatakan sebagai Golkar Baru. Ginandjar Kartasasmita bersama tokoh HAM Marzuki Darusman mendampingi kepemimpinan Akbar dalam Golkar Baru (Partai Golkar). Ketua Umum DPP Golkar 1982-1987, Sudharmono SH, menyebut mereka bertiga sebagai triumvirat tumpuan harapan baru menyelamatkan Golkar. Maka, ketika Marzuki Darusman SH dalam kedudukan Jaksa Agung RI menyeret dan menangkap Ginandjar Kartasasmita dengan tuduhan korupsi di masa Soeharto, Sudharmono menjadi orang yang paling kecewa. Ia mencoba melunakkan Marzuki Darusman yang tetap bersikeras, melalui seorang yang adalah kenalan kedua-duanya. Akhirnya Ginandjar lolos melalui upaya berbagai pihak, termasuk unsur tentara, dimulai dengan memenangkan pra-peradilan di PN Jakarta Selatan yang dikenal kemudian sebagai salah satu kuburan kasus-kasus korupsi. Belakangan, Marzuki Darusman lah yang justru terhenti dari posisi Jaksa Agung, yang tak terlepas dari konspirasi gabungan kekuatan korup lama dan baru yang berhasil memelihara eksistensi dalam era reformasi.

Ikhwal Sang Pengganti dan Masa Depan Indonesia

Pemerintahan Soeharto
Pada masa pemerintahan Soeharto lebih condong ke paradigma Weberian, hal ini dapat dilihat dari orang-orang yang duduk di pemerintahan berdasarkan hubungan impersonal. Misalkan badan perwakilan yang hanya berfungsi sebagai organ ‘bawahan’, berisikan orang-orang yang ditunjuk presiden termasuk sejumlah pejabat tinggi militer. Badan-badan perwakilan ini tidak banyak berperan dalam pemerintahan sehari-harinya, dan jarang sekali menggunakan kekuasaan legislatifnya. MPR yang telah menunjuk Suharto dalam 7 masa jabatan, terdiri dari 500 anggota DPR, hanya 400 dari mereka yang dipilih, dan 500 lainnya ditunjuk.

Administrator bertindak sebagai penguasa. Pada masa Soeharto hanya tiga partai yakni Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang secara resmi diperbolehkan untuk mengajukan kandidat. Aparat negara memeriksa dengan cermat semua kandidat, materi pemilu dari parpol, termasuk pidato, rapat akbar, dll. Golkar dipastikan sebagai mayoritas dengan 70 s.d. 80 persen suara, karena itu merupakan satu-satunya partai yang diperbolehan melakukan pengorganisasian di daerah pedesaan. Sebagai tambahan, jutaan pegawai negeri termasuk keluarga militer harus bergabung dan memilih Golkar.

Sepak terjang pemerintahan Soeharto merupakan contoh klasik dalam sejarah legislasi kita yang penuh dengan sandiwara demokrasi, dengan kebanyakan kita, kelas menengah Indonesia, menjadi penonton pasif yang depresif, sekaligus penikmat manfaat yang timbul dari sistim yang koruptif dan meninabobokan. Pejabat pada pemerintahan Soeharto atau Soeharto sendiri juga tak konsisten, terjebak dalam pola yang sama, yakni turut membangun imperium bisnis. Hampir seluruh keluarga dari para menteri di era Soeharto mempunyai imperium bisnis.

 Pemerintahan Habibie
Pada masa pemerintahan Habibie lebih condong ke paradigma Weberian, hal ini dapat dilihat dari aturan yang dikeluarkan oleh Habibie sangat tegas, yaitu hak politik bagi pegawai negeri sipil tidak ditentukan oleh undang-undang, tapi oleh keputusan yang dikeluarkan Habibie. Pada waktu yang lalu, pegawai negeri harus bergabung Golkar. Kini, mereka tidak diperbolehkan untuk bergabung atau berpartisipasi dalam parpol apapun. Mereka yang telah menjadi anggota partai memiliki dua pilihan : mengundurkan diri dari pekerjaan (sebagai pegawai negeri) atau mengakhiri keanggotaan partainya. Habibie bertekad bahwa bila ia tidak bisa membuat 4 juta pegawai negeri menjadi anggota Golkar, maka mereka tidak akan menjadi anggota partai yang manapun.

Administrator bertindak sebagai penguasa. Rejim Habibie menggunakan polisi dan tentara untuk menghadapi aksi protes tersebut, aparat keamanan tersebut melontarkan tembakan-tembakan dari jarak sangat dekat ke kerumunan massa, sehingga menewaskan dan melukai para demonstran.

Berbicara tentang kebebasan pers Indonesia di pemerintahan Habibie nyaris tidak menunjukkan perbedaan aktual. Aktualisasi dan fluktuasi kebebasan pers pada ketiga era pemerintahan terakhir dimaksud, lebih ditentukan perkembangan kepentingan pemerintahan (nasional atau daerah), ketimbang kepentingan insan pers dan masyarakat.

Tatapan Indonesianis
Kepergiannya mendapat perhatian luas media massa Indonesia dan dunia, tidak terkecuali Australia. Kenyataan ini menandakan betapa mantan presiden yang akrab disapa Pak Harto ini dipandang sebagai sosok yang berpengaruh. Porsi pemberitaan tentang Soeharto yang besar dari berbagai media massa utama Australia itu sudah terasa sejak ia dirawat di RSPP 4 Januari lalu.

Bagi Australian Broadcasting Corporation (ABC) misalnya, pemberitaan tentang wafatnya Soeharto dilakukan secara cukup berimbang. Di dalam berita awalnya tidak lagi dibumbui dengan atribusi "mantan diktator" untuk menyebut Pak Harto. Sebaliknya, ABC menyebut dirinya sebagai sosok pemimpin yang berasal dari keluarga petani miskin yang mengambil alih kepemimpinan angkatan darat tahun 1965 di tengah bergejolaknya gerakan antikomunis. Di dalam negeri Indonesia, ia tetap dihormati sebagai "Bapak Pembangunan Indonesia", walaupun di luar negeri ia dianggap salah seorang kleptokrat terburuk abad 20. Kilas balik kepemimpinan Soeharto juga digambarkan secara proporsional oleh Stasiun TV Saluran Tujuh dalam buletin berita Minggu petang.

Dalam sejarah hubungan bilateral Indonesia dan Australia yang sering mengalami pasang surut, era pemerintahan mantan perdana menteri Paul Keating (1991-1996) kerap dianggap sebagai masa keemasan dalam hubungan kedua negara berkat kedekatan pribadi Keating dengan Pak Harto. Bahkan, Keating menempatkan Indonesia secara khusus dalam kebijakan luar negeri Australia sebagaimana ia sampaikan sendiri dalam sebuah pertemuan di Sydney tahun 1994. Dalam pertemuan tersebut, Keating menegaskan bahwa "tidak ada satu negara pun yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia. Jika kami gagal menempatkan hubungan ini pada jalur yang benar, memelihara dan mengembangkannya, maka seluruh jejaring hubungan luar negeri kami tidaklah lengkap". Keating setidaknya enam kali mengunjungi Indonesia dalam masa pemerintahannya. Sebelum adanya Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia yang juga dikenal dengan Perjanjian Lombok tahun 2006, Keating dan Pak Harto justru sudah mewujudkan perjanjian keamanan tahun 2005. Hanya saja, perjanjian tersebut kemudian dibatalkan Indonesia secara sepihak pada 1999 sebagai respons atas keterlibatan Australia di era pemerintahan John Howard dalam proses pemisahan Timor Timur dari Indonesia.

Warisan Soeharto Di mata Indonesianis Universitas Nasional Australia (ANU), Dr. Hal Hill, Australia menikmati keberuntungan yang besar sekali dari kawasan Asia Tenggara yang semakin lama semakin makmur dan stabil dan kondisi regional yang baik ini merupakan warisan Pak Harto. "Australia beruntung besar sekali gara-gara pengaruh Soeharto. Karena pengaruh Soeharto, kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) semakin lama semakin makmur dan stabil. Ini adalah warisan Soeharto," katanya kepada penulis 15 Januari lalu. Pakar ekonomi Indonesia di Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) Universitas Nasional Australia (ANU) itu mengatakan, kawasan ASEAN yang lebih stabil itu telah memunculkan negara-negara tetangga Australia yang lebih makmur. "Australia sangat beruntung ada tetangga-tetangga yang lebih makmur, walaupun terkadang ada masalah dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia selama masa 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Masalah itu `unavoidable` (tak terhindarkan)," katanya. Masalah perbedaan di antara kedua negara dan bangsa bertetangga ini bukanlah merupakan "kesalahan Soeharto" selaku presiden saat itu, karena Australia dan Indonesia sejak awal memiliki perbedaan sosial, budaya, ekonomi dan sistem politik, katanya. "Jadi saya kira bukan tanggung jawab Soeharto sendiri. Tapi `big picture`(gambaran besar)-nya, Australia sangat beruntung. Pak Harto terakhir ke Australia pada 1975, namun setelah 1975 dia tidak lagi pernah ke Australia," kata Hal Hill. Peneliti senior masalah ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara dan merupakan pengasuh Buletin Studi Ekonomi Indonesia (BIES) itu menduga keengganan Soeharto untuk kembali mengunjungi Australia adalah karena ingin menghindari protes atau demonstrasi saja. Kalaupun ada yang berpandangan bahwa penguasa Orde Baru itu merupakan sosok pemimpin yang feodal, ia sangat berbeda dengan sosok raja-raja Jawa dulu. "Perbedaan antara Soeharto dengan raja-raja Jawa dulu adalah dalam soal pembangunan negeri yang cepat sekali.

Di era feodal dulu (sebelum Soeharto-red), rakyat tidak maju tapi di era Soeharto, rakyat maju kecuali aktivis kiri banyak yang ditangkap tapi rakyat maju di bawah Soeharto," kata Hal Hill. Seandainya dia mau turun dari tampuk kekuasaan tahun 1990, sudah pasti dia akan terus dikenang rakyat Indonesia sebagai "pahlawan pembangunan", katanya. Bagi orang Australia seperti dirinya, yang juga menarik dari masalah Soeharto setelah ia dipaksa lengser dari kekuasaannya adalah dia tidak lari ke luar negeri seperti para pemimpin otoriter negara-negara lain, seperti Ferdinand Marcos (Filipina) atau Mobutu (Kongo), kata Hal Hill. "Untuk Indonesia, itu (fenomena Marcos dan Mobutu-red) tidak terjadi dan Soeharto tetap tinggal di Indonesia tanpa gangguan. Ini menarik dan ini berangkali merupakan bagian dari kekuatan masyarakat Indonesia walaupun selama masa pemerintahannya ada juga masalah pelanggaran hak azasi manusia," katanya.

Akademisi Australia yang sudah menulis dan mengedit 12 buah buku dan menulis 110 karya tulis akademis dan bab buku ini berpendapat Soeharto yang sebenarnya hidupnya justru cukup sederhana harus jatuh akibat ulah anak-anaknya. "Saya kira Pak Harto dijatuhkan oleh anak-anaknya sendiri. Sayang sekali dia gagal mengontrol kemauan anak-anaknya," kata penulis buku "Indonesia`s Industrial Transformation" (1997) itu.

Dalam pandangan Hal Hill, sejarah perjalanan karir politik Soeharto sangat menarik karena pada tahun 1950-an, menurut ahli sejarah, hampir tidak ada orang yang berpikir bahwa Soeharto akan menjadi presiden kedua RI menggantikan Soekarno. Bagi rakyat Indonesia yang mementingkan kecukupan pangan (perut) dan kesempatan kerja, penilaian mereka tentang Soeharto bisa jadi lebih positif dibandingkan penilaian kelompok kelas menengah Indonesia yang dulu menuntut kebebasan politik, katanya. Soeharto dapat dikatakan menghasilkan apa yang disebut dengan "divided legacy", yakni pembangunan ekonomi yang luar biasa, namun dengan kehidupan politik yang kurang bagus. Pendapat Hal Hill tentang Soeharto terutama bagaimana kondisi hubungan Indonesia-Australia selama 32 tahun masa pemerintahannya sejalan dengan pandangan Indonesianis ANU lainnya, Greg Fealy. Lebih banyak positif Menurut Greg Fealy yang dihubungi secara terpisah, lebih banyak hal-hal positif daripada negatif dalam hubungan kedua negara selama masa Orde Baru. Terlepas dari tetap adanya ketegangan terkait dengan isu Timor Timur dan laporan media massa Australia tentang Soeharto, semua pemerintahan Australia tetap melihat Soeharto sebagai sosok pemimpin Indonesia yang "terlalu Western (Barat)". Soeharto juga dipandang Canberra sebagai sosok yang antikomunis, berjasa menstabilisasi Indonesia, dan pro-Barat. "Dari segi itu, saya kira mereka (Australia) sangat bersyukur bahwa Soeharto menjadi presiden Indonesia," kata Indonesianis yang merampungkan pendidikan doktoralnya di Universitas Monash dengan disertasi tentang studi partai Islam tradisionalis Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Pendapat kedua Indonesianis papan atas Australia itu tentang Pak Harto yang mewarisi banyak hal baik bagi Indonesia maupun kawasan dan negara-negara di sekitarnya, termasuk Australia, diakui Perdana Menteri Kevin Rudd. Dalam penyampaian ucapan belasungkawanya atas nama rakyat Australia untuk rakyat Indonesia, PM Rudd menyebut mantan pemimpin yang lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921, ini sebagai "kepala negara terlama" Abad 20 dan tokoh berpengaruh di kawasan Asia Pasifik dan dunia. Pak Harto disebutnya sebagai pemimpin yang berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi di masa ketika Indonesia menghadapi berbagai tantangan politik, sosial dan ekonomi sampai tiba krisis ekonomi Asia tahun 1997. Di tingkat Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara dan Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Soeharto juga merupakan tokoh berpengaruh yang berhasil memajukan organisasi regional dan forum kerja sama ekonomi itu.

Dalam hubungan bilateral, PM Rudd menyebut Indonesia sebagai "teman dekat" dan "tetangga" Australia dimana kedua negara memiliki kepentingan politik dan keamanan vital yang sama. Alexander Downer, mantan menteri luar negeri Australia, juga berpandangan yang sama. Tanpa menafikan catatan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) semasa pemerintahan Orde Baru, Downer seperti dikutip AAP melihat Pak Harto sebagai pemimpin yang memahami posisi penting Australia bagi Indonesia. Dalam kaitan ini, Soeharto berkomitmen menjaga hubungan yang baik bagi kedua negara. Mantan presiden RI itu pun merupakan sosok yang bervisi yang sangat baik dalam membangun komunitas Asia Tenggara yang kuat dan berpandangan positif tentang Australia, kata Downer. Komitmennya yang kuat dalam membangun hubungan Indonesia-Australia yang setara, serta sumbangsihnya yang besar dalam ikut mewujudkan Asia Tenggara yang damai, stabil, dan berprospek baik secara ekonomi merupakan "warisan" Pak Harto yang tak kan pernah mati dalam memori orang-orang Australia yang jujur dalam menilai sosok presiden kedua RI ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda