Laman

Jumat, 05 November 2010

Sempalan budaya organisasi

Istilah sempalan sempat populer untuk menggambarkan kelompok yang berbeda dengan arus utama (mainstream), dan tentu saja berkonotasi negatif. Demikian pula dengan budaya. Perlakuan terhadap budaya yang berbeda cenderung kurang bersahabat, sehingga di negara multikultural seperti AS, pernah ada pendekatan melting pot. Budaya dilebur menjadi satu budaya nasional.
Kemudian ada pendekatan salad bowl, semua sayur dalam mangkuk salad tidak kehilangan identitas yang memang berbeda-beda, tetapi dipersatukan oleh dressing dan menjadi makanan yang sedap. Barangkali kalau di negara kita dapat dianalogikan dengan gado-gado. Sayur, tahu, tempe, telor masih kelihatan rasa aslinya, tetapi dipersatukan oleh bumbu gado-gado.
Bagaimana dengan budaya di lingkungan perusahaan? Mirip. Sebuah konsepsi yang salah jika perusahaan dianggap memiliki keseragaman budaya. Budaya organisasi sebenarnya mewakili persepsi umum yang dianut oleh anggota organisasi, sebagai hasil pendefinisian dari berbagai pengertian yang dianut.
Bedanya untuk negara-bangsa yang sering terjadi adalah budaya yang sudah ada dipersatukan dalam budaya nasional. Sementara dalam perusahaan yang jika diikuti perkembangannya, justru berawal dari budaya tunggal dan menjelma menjadi budaya majemuk seiring dengan tumbuh dan kembangnya perusahaan. Akan terbentuk kelompok-kelompok yang mengembangkan subkulturnya masing-masing.
Subkultur merupakan bagian budaya yang berkembang dalam organisasi, yang secara spesifik ditumbuhkan oleh perbedaan bagian atau perbedaan geografis, yang merupakan hasil kontribusi nilai dari sebagian anggota organisasi.
Masalah subkultur ini perlu mendapatkan perhatian serius, tetapi tetap dengan pandangan yang obyektif. Artinya tumbuhnya subkultur merupakan sesuatu yang alamiah, dan perlu ditoleransi dalam batas-batas tertentu. Namun tetap harus disadari, terdapat ambang batas tertentu yang menempatkan sub kultur sebagai 'pengganggu' kekuatan budaya perusahaan.
Kelahiran subkultur
Setiap perusahaan mengalami proses diferensiasi seiring dengan berjalannya waktu dan pertumbuhan, yang memiliki berbagai sebutan seperti pembagian kerja (division of labor), fungsionalisasi, divisionalisasi, atau diversifikasi. Menurut Schein, yang menjadi dasar dari diferensiasi ini adalah fungsional, geografis, produk, pasar, dan teknologi, divisionalisasi, serta diferensiasi tingkat hierarkis.
Kekuatan yang menciptakan subkultur fungsional berasal dari budaya teknologi dan pekerjaan sebuah fungsi dari organisasi. Setiap pekerjaan memiliki perbedaan dalam hal keyakinan, nilai, dan asumsi dasar karena mereka melakukan hal-hal yang secara fundamenrtal berbeda, mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang berbeda, dan memperoleh identitas tertentu dalam menjalankan pekerjaannya. Bagian pemasaran biasanya memiliki subkultur yang berbeda dengan bagian keuangan.
Subkultur dalam sebuah organisasi juga dapat timbul manakala organisasi dibagi ke dalam beberapa wilayah geografis dengan alasan kedekatan dengan pelanggan, biaya tenaga kerja, serta kedekatan dengan pemasok dan sumber bahan baku.
Namun, konsekuensi budaya yang muncul sering tidak terantisipasi karena keharusan mengadopsi sebagian asumsi-asumsi budaya setempat dimana perusahaan beroperasi. Pengaruh budaya dari negara tempat beroperasi tidak dapat dielakkan walaupun staf dan manajer yang bekerja datang dari negara asal perusahaan.
Sebuah perusahaan secara khas membedakan diri mereka dengan perusahaan lain dalam hal produk, pasar, atau teknologi. Harus diputuskan produk, pasar, atau teknologi yang dimiliki ingin dibedakan dari para pesaingnya, mengingat hal ini akan menghasilkan seperangkat masalah integrasi budaya secara keseluruhan.
Dalam hal ini ada dua kekuatan yang membentuk subkultur dalam organisasi. Pertama, orang-orang dengan latar belakang pendidikan dan asal pekerjaan yang berbeda yang ditarik masuk ke dalam perusahaan. Kedua, interaksi dengan pelanggan, yang mensyaratkan sebuah mindset yang berbeda, yang mengarah kepada berbagai macam pengalaman bersama. Kontak dengan pelanggan adalah kekuatan yang sangat efektif dalam menciptakan subkultur lokal yang dapat berinteraksi sesuai dengan budaya pelanggan.
ada saat sebuah perusahaan menumbuhkembangkan pasar yang berbeda, sering dilakukan desentraliasi sebagian besar fungsi-fungsi organisasi ke dalam unit produk, pasar, dan geografis, yang melahirkan subkultur. Subkultur divisi yang kuat tidak akan menjadi masalah kecuali jika perusahaan induk ingin mengimplementasikan praktek-praktek umum dan proses manajemen tertentu.
Bertambahanya jumlah anggota organisasi juga melahirkan subkultur. Untuk menghadapi sulitnya koordinasi dengan SDM yang membengkak ini, diciptakan lapisan (layer) tambahan dalam hirarki sehingga rentang kendali (span of control) manajer tetap sesuai.
Subkultur dapat memperlemah dan menggangu budaya organisasi, jika terjadi konflik dengan budaya yang dominan, yaitu nilai-nilai inti (core values) yang dianut dan merupakan kontribusi nilai-nilai dari sebagian besar anggota organisasi. Dominant culture merupakan kepribadian organisasi secara keseluruhan yang membedakannya dengan organisasi lain.
Pemecahannya adalah menumbuhkan kesadaran bahwa sebenarnya subbudaya terbentuk untuk membantu aktivitas anggota organisasi dalam pekerjaan sehari-hari. Subkultur harus diarahkan untuk mendukung budaya yang dominan dalam sebuah konfigurasi yang harmonis.
Sumber : A.B.Susanto, Bisnis Indonesia online




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda