Laman

Kamis, 24 Oktober 2013

TEORI KEPUASAN KERJA

1.      Kepuasan  Kerja

a.      Definisi  Kepuasan Kerja
         Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” Bagi Jex, kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan: Bahwa pekerja yakin bahwa pekerjaannya menarik, merangsang, membosankan atau menuntut. Aspek perilaku pekerjaan adalah kecenderungan perilaku pekerja atas pekerjaannya yang ditunjukkan lewat pekerjaan yang dilakukan, terus bertahan di posisinya, atau bekerja secara teratur dan disiplin.
        Kepuasan kerja biasanya didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif karyawan terhadap pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector, 1977). Pengaruh positip pada definisi ini dapat ditambahkan komponen kognitif dan perilaku, hal ini sesuai dengan cara psikologis social mendefinisikan sikap (Zanna & Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap karyawan terhadap pekerjaannya.

        Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang pekerjaannya, yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik, banyak tuntutan dsb. Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat terkait dengan perasaan dari pengaruh positif.
       Komponen perilaku  merupakan perilaku karyawan atau lebih sering kecenderungan perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan juga menjadi nyata oleh fakta bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan secara teratur, bekerja keras, dan berniat tetap menjadi anggota organisasi utk waktu yang lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja, komponen perilaku sedikit informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan perilaku, seperti seseorang tidak suka dengan pekerjaannya tetapi tetap sbg karyawan karna alasan financial.
       Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “... variabel afektif yang merupakan hasil dari pengalaman kerja seseorang.” Fritsche and Parrish juga mengutip Locke (1976) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “ ... keadaan emosional yang positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Singkatnya, kepuasan kerja dapat menceritakan sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya.
As’ad (2004 : 104) mengutip definisi atau pengertian kepuasan kerja, antara lain:
(1)  Menurut Wexley & Yukl (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah “is the way an employee feels about his her job”. Ini berarti kepuasan kerja sebagai “perasaan seseorang terhadap pekerjaan”.
(2)  Vroom (1964) dikatakan sebagai “refleksi dari job attitude yang bernilai positif”.
(3)  Hoppeck menarik kesimpulan setelah mengadakan penelitian terhadap 309 karyawan pada suatu perusahaan di New Hope Pennsylvania USA bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan-pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
(4)  Menurut Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesame karyawan.
(5)  Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individual di luar kerja.

b.      PendekatanTeoritis dari Kepuasan Kerja
         Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja selama bertahun-tahun telah dikhususkan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan. Memahami perkembangan dari kepuasan kerja adalah teori penting pada psikologi organisasi. Juga kepentingan praktis organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya.
Terdapat 3 pendekatan umum utk menjelaskan perkembangan kepuasan kerja: 1) Pendekatan Karakteristik Pekerjaan 2) Pendekatan Proses Informasi Sosial and 3) Pendekatan Disposisional. 
Menurut pendekatan karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan terutama oleh sifat pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana mereka bekerja.Kepuasan kerja sangat ditentukan oleh perbandingan : apa yang pekerjaan berikan utk mereka dan apa yang mereka berikan utk pekerjaan.  Setiap aspek seperti gaji, kondisi kerja, pengawasan memberi kontribusi utk penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke, 1976 mengusulkan yang dikenal sebagai range of affect theory, premis dasar dari range of affect theory adalah bahwa aspek pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan ketika karyawan membuat penilaian tentang kepuasan kerja. Pendekatan karakteristik pekerjaan yang sangat mendarahdaging terhadap kepuasan kerja dalam psikologi organisasi ( Campion & Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman & Oldham, 1980).
Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Mekanisme pertama menyatakan karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya, teori ini didasari pada Bem’s, 1972 dengan Self-Perception Theory. Mekanisme lain yang paling dekat dengan Teori Proses informasi social adalah bahwa karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, teori ini didasari pada Festinger’s, 1954 dengan Social Comparison Theory, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
Pendekatan yang paling baru untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi internal. Premis dasar dari pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja adalah bahwa beberapa karyawan mempunyai kecenderungan menjadi puas atau tidak dengan pekerjaannya, terlepas dari sifat pekerjaan atau organisasi dimana mereka bekerja. Penelitian dari pendekatan ini diantaranya yang dilakukan oleh Weitz, 1952 tentang kecenderungan afektif individu berinteraksi dengan kepuasan kerja yang berdampak omset. Staw and Ross, 1985 menyelidiki kestabilan kepuasan kerja diantara sampel pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara kepuasan kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun kemudian.
Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan kerja atau dengan kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari karakteristik pekerjaan, proses informasi social dan pengaruh disposisional.
         Menurut Wexley dan Yukl (1977) dalam bukunya yang berjudul Organisational Behavior And Personnel Psychology, teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu :
(1)         Discrepancy Theory
Teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Dipelopori oleh Porter (1961) dengan mengukur kepuasankerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be (expectation, need, atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan (Moh. As’ad, 1995:105).
(2) Equity Theory
Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Menurut teori ini equity terdiri dari tiga elemen, yaitu :
a. Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan atas pekerjaannya.
b. Out comes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan olehkaryawan sebagai hasil dari pekerjaannya.
c.  Comparison persons, yaitu kepada orang lain atau dengan siapa karyawan membandingkan rasio input – outcomes yang dimilikinya. Comparison Persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempatlain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu lampau.
Sehingga dapat disimpulkan dalam teori ini adalah setiap karyawan akan membandingkan rasio input – out comes dirinya dengan rasio input – out comes orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka ia akan merasa cukup puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak.
Kelemahan teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan oleh individual differences (misalkan saja pada waktu orang melamar pekerjaan apabila ditanya besarnya gaji/upah yang diinginkan). Selain itu tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Moh. As’ad, 1995:106).

(3) Two Factor Theory
Prinsip dari teori ini adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu (Herzberg,1966). Teori ini pertama dikemukakan oleh Herzberg melalui hasil penelitian beliau dengan membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu :
a) Kelompok satisfiers, yaitu situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari tanggung jawab, prestasi, penghargaan, promosi, dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan.
b) Kelompok dissatisfiers ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari kondisi kerja, gaji, penyelia, teman kerja, kebijakan administrasi, dan keamanan. Perbaikan terhadap kondisi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Yang menarik dari teori ini justru terletak pada konsep dasar tentang pemisahan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, karena dianggap kontroversial. Penelitian yang dilakukan oleh Mills (1967) terhadap 155 orang karyawan dari dua buah pabrik besar di Australia, dimana sampel terdiri dari berbagai tingkatan umur, kebangsaan, lama dinas, dan macam jabatan. Hasilnya seratus persen mendukung teori dua faktor tersebut (As’ad,1995:108-109).   

c.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
      Faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut: (1) Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan; (2)  Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (3) Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. (As’ad, 2004: 114).
      Pendapat  dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut: (1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja; (2) Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja; (3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; (4) Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan; (5) Pengawasan (Supervise), Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over; (6) Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan; (7) Kondisi kerja, termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir; (8) Aspek sosial dalam pekerjaan,
merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja; (9) Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja; (10) Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.(As’ad, 2004: 115)
       Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (As’ad, 1995:112)
1)    Faktor hubungan antar karyawan, antara lain :
a. Hubungan antara manager dengan karyawan
b. Faktor fisis dan kondisi kerja
c. Hubungan sosial diantara karyawan
d. Sugesti dari teman sekerja
e. Emosi dan situasi kerja
2)    Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan :
a. Sikap orang terhadap pekerjaannya
b. Umur orang sewaktu bekerja
c. Jenis kelamin
3)    Faktor luar (external), yang berhubungan dengan :
a. Keadaan keluarga karyawan
b. Rekreasi
c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)

        Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown(1950), bahwa ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu :
(1)      Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja padapekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi kepuasan kerja.
(2)      Golongan
Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang, dan kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas terhadap pekerjaannya.
(3)     Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40–45 tahun adalah merupakan umuryang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.
(4)     Jaminan finansial dan jaminan sosial
Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
(5)   Mutu Pengawasan
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwadirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (Moh. As’ad,1995:113).

Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. As’ad, 1995:115-116) :
(1)   Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadapkerja, bakat, dan ketrampilan.
(2)   Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
(3)   Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,umur dan sebagainya.
(4)   Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminansosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dansebagainya.

d.      Pengukuran Kepuasan Kerja
            Kita tidak akan pernah bisa mempelajari tentang kepuasan kerja, bila saja kita tidak memiliki cara untuk mengukurnya. Untungnya ada beberapa ukuran kepuasan kerja yang dapat digunakan. Biasanya ada empat macam ukuran yang paling sering dipergunakan secara luas. Namun sebelum mempelajari tantang ukuran-ukuran kepuasan kerja, akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana sebuah ukuran dapat disebut valid.
            Meskipun ukuran-ukuran yang disebutkan di atas dilihat sebagai ukuran construct valid dari kepuasan kerja, namun sangat tidak benar untuk mengatakan ukuran apapun sebagai construct valid ataupun tidak construct valid. Construct validity adalah masalah level. Ukuran-ukuran yang disebutkan sebelumnya berasosiasi dengan level yang tinggi dari bukti-bukti construct valid itu sendiri.
            Lantas bagaimanakah cara untuk menyediakan bukti-bukti untuk construct validity dari sebuah ukuran? Secara general ada tiga tes untuk construct validity. Yang pertama, agar sebuah ukuran dapat disebut sebagai construct valid, itu harus sangat berhubungan dengan ukuran-ukuran lain yang memiliki konstruksi sama. Ini disebut juga dengan istilah convergence. Kedua, sebuah ukuran harus berbeda dari ukuran-ukuran dengan variabel yang berbeda. Nama lainnya adalah discrimination. Cara ketiga yang biasa digunakan para peneliti untuk menunjukkan bukti dari construct validity adalah melalui prediksi teoritikal dasar. Dalam hal ini, para peneliti mengembangkan sebuah jaringan nomologikal yang berbasis teori dari hubungan antara ukuran yang akan dikembangakan dan variabel lain yang berkepentingan.
            Salah satu dari ukuran kepuasan kerja yang banyak dipergunakan secara luas adalah Face Scale yang dikembangkan oleh Kunin pada pertengahan tahun 1950an. Face scale ini terdiri dari serangkaian wajah-wajah dengan berbagai ekspresi emosi yang berbeda. Responden diminta untuk dapat menunjukkan dari lima ekspresi wajah yang tersedia ekspresi wajah manakah  yang paling mewakili perasaan mereka kepada kepuasan secara keseluruhan terhadap pekerjaan mereka. Keuntungan utama dari face scale ini adalah kesimpelannya dan responden tidak perlu melalui sebuah jenjang membaca yang tinggi untuk dapat menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face scale ini adalah ia tidak menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan dengan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka.
            Skala lain yang juga banyak dipergunakan adalah Job Descriptive Index (JDI) yang dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia Cain Smith dan kolega-koleganya di Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat, karena skala tersebut membuat reponden mendeskripsikan pekerjaan mereka. Perbedaannya dengan face scale, pengguna JDI bisa mendapatkan skor untuk berbagai aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan kerja mereka. Keuntungan utama dari JDI adalah banyak data yang menyuport construct validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin menggunakan JDI untuk mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia akan dapat membandingkan skor-skor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel normatif dengan pekerjaan yang sama. Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul, yaitu biasanya pada suatu kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan pekerja secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena itulah, sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang bernama Job in General (JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI, kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa adjektif dan frase tentang pekerjaan secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari pekerjaan.
            Ukuran kepuasan kerja yang ketiga yang juga banyak dipergunaka dan banyak diterima adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala MSQ ini dikembangkan oleh sebuah tim peneliti yang berasal dari University of Minnesota pada waktu hampir sama dengan pengembangan skala JDI. Form panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain untuk mengukur 20 macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ, terdiri dari 20 item. Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement tentang berbagai macam aspek pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan tingkat kepuasan mereka terhadap masing masing aspek. Dibandingan dengan JDI, skala MSQ merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan informasi yang luas mengenai kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut. Pada form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk diadministrasikan, apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel lainnya. Bahan dengan versi form pendek (20 item) masih tergolong panjang bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari kepuasan yang pernah tersedia.
            Ukuran tingkat kepuasan kerja yang terakhir adalah Job Satisfaction Survey (JSS) yang belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang telah disebutkan sebelumnya, namun memiliki bukti yang menyuport properti psikometrinya. Skala ini dikembangkan pertama kali oleh Spector (1985) sebagai insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human Sercive. JSS terdiri dari 36 item yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lainnya, JSS kurang lebih sama, yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan seseorang ataupun situasi kerjanya. JSS lebih mirip dengan JDI karena JSS juga merupakan skala deskriptif. Namun hal yang membedakannya dengan JDI adalah pada JSS skor kepuasan kecara keseluruhan dapat dihasilkan dengan cara menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.

Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja
       Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus menggunakan ukuran. Ukuran suatu konsep adalah variabel. Variabel satu dengan variabel lain ditentukan berdasarkan dimensi konsep. Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat variabel yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu: (1) Pekerjaan menantang secara mental; (2) Reward memadai; (3) Kondisi kerja mendukung; dan (4) Kolega mendukung.(Jex. 2002:192-193)

        Pekerjaan yang menantang secara mental – Pekerja cenderung memiliki pekerjaan yang memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan kemampuan serta menawarkan variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi moderat-menantang, sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan.

       Reward yang memadai – Kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan dengan harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima setimpal dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlaku bagi pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua pekerja mencari uang, dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan kerja. Banyak pula pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan pribadi, dan status sosial.

      Kondisi kerja yang mendukung – Perhatian pekerja pada lingkungan kerja, baik kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan pekerjaan secara baik. Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak memiliki lingkungan kerja yang berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkujngan lain tidaklah terlampau ekstrim. Mereka juga cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan fasilitas moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi.

      Kolega yang mendukung – Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan sosial. Tidak mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan kepuasan kerja seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat tatkala supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, melontarkan pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan menunjukkan minat personal terhadap mereka.

        Derek R. Allen and Morris Wilburn (2002:20) menyatakan kajian atas kepuasan pekerja seharusnya komprehensif dan meliputi empat kategori yaitu:
  1. Pekerja itu sendiri;
  2. Pekerjaan itu sendiri;
  3. Organisasi itu sendiri; dan
  4. Lingkungan di mana pekerja dan organisasi berada.
        Keempat kategori Allen and Wilburn (2002:20-21) tersebut dapat diturunkan menjadi 23 dimensi kepuasan kerja yang terdiri atas: (1) Supervisor langsung; (2) Kebijakan dan Prosedur Perusahaan; (3) Pembayaran; (4) Keuntungan; (5) Kesempatan kontribusi untuk perusahaan; (6) Dipertimbangkannya pendapat oleh Perusahaan; (7) Kesempatan promosi; (8) Keamanan; (9) Pengakuan; (10) Apresiasi; (11) Rekan kerja; (12) Demografis (usia, gender, pendidikan); (13) Masa jabatan; (14) Persiapan awal pekerja dalam pekerjaan; (15) Kesempatan pelatihan yang berlanjut; (16) Sifat pekerjaan yang harus dilakukan; (17) Konflik tuntutan; (18) Ambiguitas peran; (19) Tekanan; (20) Kondisi kerja; (21) Alat dan perlengkapan kerja; (22) Material dan Supply; dan (23) Beban kerja.

       Paul E. Spector (1997: 8-19) merangkum bahwa ukuran kepuasan kerja telah memiliki instrumen-instrumen paten terstandardisasi yang terdiri atas:
a.         Job Satisfaction Survey (JDS);
b.        Job Descriptive Index (JDI);
c.         Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ);
d.        Job Diagnostic Survey (JDS);
e.         Job in General Scale (JGS); dan
f.         Michigan Organizational Assessment Questionnaire (MOAQ).

Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja
       Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi, baik dalam segi analisa statistiknya maupun pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai alatnya maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap aspek-aspek pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang tersebut (Moh. As’ad, 1995:116).
        Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap seberapa puas atau tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Ada dua pendekatan yang paling banyak digunakan yaitu: (Stephen P. Robbins, 2003:101-102).
(1)      Angka nilai global tunggal
Metode ini meminta individu untuk menjawab satu pertanyaan, misalnya “Bilasemua hal dipertimbangkan, seberapa puaskan anda dengan pekerjaan anda?”kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu bilangan jawaban 1sampai 5 yang berpadanan dengan jawaban dari “ sangat dipuaskan” sampai “sangat tidak dipuaskan.
(2) Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja.
      Metode ini lebih canggih yaitu dengan mengenali unsur – unsur utama dalamsuatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsurtersebut, misalnya tentang sifat dasar pekerjaan, penyelia, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja

Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja
Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah :
1)        Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk kaitannyadengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau atribut tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan). Prioritas yang dimaksuddapat berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang dalam organisasiyang sama dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.
2)        Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap organisasi atau perusahaan.Sampai seberapa dekat persepsi tersebut sesuai dengan harapan mereka danbagaimana perbandingannya dengan karyawan lain.
3)        Mengetahui atribut–atribut mana yang termasuk dalam kategori kritis(critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara signifikan terhadapkepuasan karyawan. Atribut yang bersifat kritis tersebut merupakan prioritasuntuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan.
4)        Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat membandingkannyadengan indeks milik perusahaan atau instansi saingan atau yang lainnya(Kuswadi, 2004:55-56).

e.          Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja
Terhadap Produktivitas Kerja
       Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas dapat dinaikkandengan menaikkan kepuasan kerja, namun hasil penelitian tidak mendukung pandangan ini, karena hubungan antara produktivitas kerja dengan kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor - faktormoderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter berpendapat produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika tenaga kerja mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telahmencapai sesuatu) dan ganjaran intrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua -duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja yang unggul (Ashar SunyotoM, 2001:364).

Terhadap Kemangkiran Dan Keluarnya Tenaga Kerja
Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang mencerminkanketidakpuasan kerja, berbeda dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steersdan Rhodes mengembangkan model pengaruh dari kehadiran. Ada dua faktorpada perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja.
Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapatahap (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Menurut Robbins (1998) ketidakpuasan kerjapada karyawan dapat diungkapkan melalui berbagai cara misalkan selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuribarang milik organisasi, menghindar dari tanggung jawab ( Ashar Sunyoto M,2001:365 - 366 ).

Terhadap Kesehatan
      Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan kesehatan fisik dan mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor – skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja dengan kesehatan, namun hubungan kausalnya masih tidak jelas. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain (Ashar Sunyoto M,2001:368).

            Banyak peneliti dan manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja, terutama karena hubungannya dengan variabel-variabel lain yang berhubungan. Antara lain ada empat macam variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan praktikal dengan kepuasan kerja, yaitu variabel sikap, Variabel ketidakhadiran, Variabel pergantian karyawan, dan Variabel performa kerja. (Jex, 2002)
            Variabel sikap. Sejauh ini kepuasan kerja diketahui berhubungan sangat kuat berkorelasi dengan variabel sikap lain. Variabel-variabel ini merefleksikan tingkat kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Beberapa contoh variabel-variabel sikap yang sering dipergunakan dalam penelitian organisasional antara lain adalah keikutsertaan dalam pekerjaan, komitmen organisasional, frustasi, tekanan pekerjaan, dan kecemasan. Diketahui pula bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak positif, seperti keikutsertaan dalam pekerjaan maupun mood kerja yang positif. Namun beberapa studi juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif dengan variabel-variabel seperti frustasi, kecemasan, dan tekanan kerja.
            Variabel Ketidakhadiran. Dari sudut pandang teoritikal, ketidakhadiran mewakili sebuah cara umum  seorang karyawan melakukan penarikan diri dari pekerjaan mereka. Sementari dari sudut pandang praktikal, ketidakhadiran  adalah sebuah masalah yang sangat merugikan untuk banyak organisasi. Ketika karyawan tidak hadir, pekerjaan mungkin tidak akan selesai atau akan dikerjakan oleh karyawan yang pengalamannya lebih sedikit. Hacket dan Guion (1985) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa hubungan antara kepuasan kerja dan ketidakhadiran lemah. Alasan pertama adalah karena pengukuran dari ketidakhadiran itu sendiri sedikit kompleks. Alasan lainnya adalah karena kepuasan kerja mewakili sikap karyawan secara general, sementara ketidakhadiran hanyalah salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan. Alasan terakhir adalah karena ketidakhadiran merupakan perilaku yang memiliki rate dasar rendah, karena memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang rendah adalah sulit.
            Variabel Pergantian Karyawan. Hubungan lain dari kepuasan kerja yang banyak menarik perhatian peneliti dan manajer adalah pergantian karyawan. Beberapa pergantian di dalam organsasi tidak dapat dielakkan, dan dalam beberapa kasus lainnya mungkin malah diinginkan oleh organisasi. Namun tingkat pergantian karyawan yang terlalu tinggi dapat merugikan organisasi, karena organisasi tersebut harus kembali memulai proses perekruitan, pemilihan, dan sosialisais karyawan baru. Tingkat pergantian karyawan yang tinggi juga memiliki dampak yang besar terhadap gambaran publik terhadap organisasi tersebut.
            Variabel Performa Kerja. Hubungan keempat yang berkorelasi dengan kepuasan kerja adalah performa kerja.  Salah satu cara untuk membuat karyawan lebih produktif adalah dengan membuat mereka lebih puas. Vroom’s Expectancy Theory (1964) menyatakan bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih  bila mereka percaya bahwa usaha tersebut akan menjadi performa dengan level tinggi, dan performa tersebut dapat menghasilkan hasil yang memuaskan. Sementara bila performa kerja dengan level yang tinggi dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan akan menjadi lebih puas dengan pekerjaan mereka ketika performa kerja mereka baik dan mereka mendapatkan penghargaan atas itu. Ostroff (1992) menyebutkan bahwa meskipun karyawan yang sangat puas dengan pekerjaan mereka mungkin belum tentu dapat memiliki performa kerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang memiliki karyawan yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung memiliki performa kerja yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan yang sangat tidak puas dengan pekerjaannya.

Kepuasan Kerja : Perspektif Antar-Budaya
Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan negara-negara Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini menjadi perkembangan positif atau negatif terhadap apa yang dirasakan dalam bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan perbedaan antar-budaya dalam tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk perbedaan-perbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari penelitiannya bahwa manejer Amerika Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada perbandingan karyawan Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang sama, ditemukan bahwa rekan kerja Dominika lebih merasa puas dibandingkan rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan Jepang cenderung kurang puas daripada karyawan Amerika.
Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa penjelasan untuk perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada bukti yang nyata pada perbedaan dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang perbedaan dalam nilai, termasuk individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan menghindari ketidakpastian.  Besarnya individualisme menggambarkan kepedulian orang-orang dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Maskulinitas menggambarkan tingkat yang fokus pada prestasi dan kinerja sebagai perlawanan kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain. Jarak kekuasaan menggambarkan tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang berbeda dari yang lain dengan level yang lebih rendah. Menghindari ketidakpastian menggambarkan besarnya orang yang nyaman bekerja dalam lingkungan yang tidak tentu. Contohnya adalah Amerika dan negara-negara Eropa Barat cenderung untuk menempatkan nilai yang sangat tinggi pada individualisme, sementara Hispanik dan negara-negara oriental cenderung menempatkan nilai yang tertinggi. Pada maskulinitas ditemukan bahwa negara Scandinavia cenderung menempatkan nilai yang tertinggi dibandingkan negara lain. Pada jarak kekuasaan cenderung memiliki nilai yang sangat tinggi di negara Hipatik tetapi berbanding terbalik di Australia dan Israel sedangkan pada menghindari ketidakpastian ditemukan sangat tinggi di negara Yunani dan Portugis sementara rendah di Singapura dan Denmark.
Implikasi utama dari perbedaan antar-negara dalam preferensi nilai bahwa perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan mengarah pada perbedaan dalam apa yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan mereka. Bagian ini menyatakan bahwa kepuasan pekerjaan menghasilkan isi pokok dari perbandingan antara apa yang orang rasakan pada pekerjaan mereka dan apa yang mereka inginkan.

2.         Komitmen Organisasi
       Selain perasaan tentang rasa puas/ketidakpuasan, pegawai mungkin juga memiliki perasaan komitmen ke organisasinya. Seperti pada kepuasan/ketidakpuasan, ada kecendurungan bahwa ikatan komitmen itu mengikat hingga di luar tempat kerja itu. Misalnya orang bisa menjadi sedemikan komtmen kepada institusi seperti gereja atau organisasi politik.
a.      Definisi Komitmen Organisasi
       Di dalam tingkatan yang paling umum, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut.
Meyer dan Allen (1991) kemudian mendefinisikan lebih jauh tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Selain basis-basis yang berbeda, komitmen pegawai boleh jadi terfokus ke level-level yang berbeda dalam organisasi, dan bahkan dapat ditujukan ke luar organisasi. Banyak juga pegawai-pegawai dalam organisasi yang memiliki rasa komitmen pada profesi yang mereka tekuni, misal seorang ahli fisika yang bekerja dalam organisasi kesehatan akan memiliki komitmen kepada kesehatan pula.
Sekarang karena komitmen memiliki beragam basis dan focus, ini memberi kesan bahwa ada beberapa macam komitmen yang berbeda. Meyer dan Allen (1997) menyajikannya dalam bentuk matriks, yaitu sebuah cross product dari tiga basis komitmen dengan enam focus berbeda dari sebuah komitmen.

b.      Membangun Komitmen Organisasi
        Apa yang membentuk level komitmen suatu pegawai terhadap organisasinya? Karena kompleksitas dari susunan komitmen organisasi itu sendiri, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Kebanyakan peneliti mencoba menjawab pertanyaan ini dari ketiga basis komitmen tersebut, yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Komitmen yang berbasiskan afektif biasanya terbentuk atas perasaan akan organisasi/perusahaan tempat pegawai itu bekerja memperlakukannya dengan baik dan/atau memberikan banyak dukungan kepadanya.
Komitmen yang berbasiskan keberlanjutan bahkan lebih sederhana, biasanya merupakan perluasan dari perasaan pegawai yang memandang organisasinya sekarang itu memiliki alternatif yang selalu berjalan.

c.       Pengukuran Komitmen Organisasi
      Seperti kebanyakan variabel sikap subjektif, komitmen organisasi diukur dengan skala laporan diri. Secara historis, komitmen organisasi pertama untuk memperoleh penggunaan secara luas adalah Organizational Commitment Qestionnaire (OCQ). OCQ asli terutama tercermin pada apa yang Meyer dan Allen uraikan seperti komitmen afektif dan pada tingkat yang lebih rendah, yaitu komitmen normatif. OCQ asli juga berisi satu bagian yang mengukur keinginan pindah kerja seorang karyawan.
Mathieu dan Zajac melaporkan bahwa mean reliabilitas konsistensi internal untuk berbagai bentuk OCQ itu semua adalah 0.80. Keterbatasan utama dari OCQ adalah langkah-langkahnya terutama komponen afektif dari komitmen organisasi, sehingga memberikan informasi yang sangat sedikit tentang kelanjutan dan komponen normatif. Ini adalah batasan penting karena berbagai bentuk berbeda dari komitmen berhubungan dengan hasil yang berbeda.
Baru-baru ini, Allen dan Meyer mengembangkan ukuran komitmen organisasi yang berisi tiga subskala yanng bersesuaian dengan komponen afektif, kelanjutan, dan normatif dari komitmen. Sebuah contoh dari komitmen afektif adalah: “Organisasi ini memiliki banyak makna bagi saya pribadi.” Sebuah contoh dari komitmen kelanjutan adalah: “Ini akan terlalu mahal bagi saya untuk meninggalkan organisasi saya dalam waktu dekat.” Sebuah contoh dari komitmen normatif adalah: “Saya akan merasa bersalah jika saya meninggalkan organisasi saya sekarang.”

Meyer dan Allen melaporkan bahwa median reliabilitas konsistensi internal untuk skala komitmen afektif, kelanjutan, dan normatif adalah 0.85, 0.79, dan 0.73. Adapula bukti yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komitmen organisasi secara empiris dibedakan dari kontruksi terkait seperti kepuasan kerja, nilai dan komitmen kerja.

Selain OCQ dan skala Allen dan Meyer, ada juga ukuran yang telah dikembangkan oleh T. Becker. Dalam studi ini, komitmen organisasi diukur dalam istilah basis ganda dan fokus ganda. Ada sedikit bukti empiris pada variabel pendekatan ini untuk mengukur komitmen. Namun di masa depan, ukuran ini dapat berguna untuk mengukur komitmen  dengan cara ini jika hasil yang berbeda terkait dengan kombinasi yang berbeda dari komitmen basis dan fokus.

d.      Variabel yang berhubungan Komitmen Organisasi
      Seperti kepuasan kerja, para peneliti dan manajer tertarik dalam komitmen organisasi dikarenakan hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja.

Variabel Sikap
Mathieu dan Zajac menemukan bahwa mean korelasi tepat antara komitmen organisasi afektif dan kepuasan pekerjaan adalah 0.53. korelasi sikap konsistensi lainnya dari komitmen afektif ditemukan dalam meta-anallisis termasuk keterlibatan pekerjaan (0.36), komitmen pekerjaan (0.27), komitmen gabungan (0.24) dan stres (-0.29). Bandingkan dengan komitmen afektif, lebih sedikit pekerjaan secara empiris telah diperiksa hubungannya antara korelasi sikap dari kelanjutan maupun komitmen normatif.

Kehadiran
Mathieu dn Zajac menemukan bahwa korelasi yang tepat antara komitmen afektif dan kehadiran adalah 0.12 dan korelasi dengan keterlambatan adalah -0.11. Korelasi antara kehadiran dan kepuasan kerja besarnya sama. Dari sisi kenseptual, tingkat tinggi komitmen afektif menunjukkan sebuah maksud untuk berkontribusi pada sebuah organisasi. Bandingkan dengan komitmen afektif, sedikit bukti mengenai hubungan antara kelanjutan atau komitmen normatif dan kehadiran.

Pindah Kerja Pegawai
Dengan komitmen organisasi alami, dapat dianggap lebih banyak buktinya pada hubungan di antara ketiga bentuk komitmen dan pindah kerja, dibandingkan dengan hasilnya. Seperti yang diharapkan, riset yang telah ditunjukkan secara umum mempunyai hubungan negatif diantara ketiga komitmen dan pindah kerja.

Performa Kerja
Pada umumnya, komitmen afektif telah ditunjukkan positif berhubungan dengan performa  kerja, walaupun besarnya dari hubungan ini tidak kuat. Menentukan mekanisme dibelakang hubungan ini adalah sulit karena studi ini telah menggunakan variasi luas dari ukuran kriteria performa. Satu keumuman diantara studi ini adalah bahwa hubungan antara komitmen afektif dan performa tak langsung oleh usaha pegawai.

e.         Aplikasi Praktis dari Penelitian Komitmen
        Satu cara untuk melihat aplikasi penelitian komitmen berorganisasi adalah menguji bermacam cara dari organisasi mana yang dapat menyebabkan komitmen tingkat tinggi di antara pengurusnya. Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa adanya pengaruh antara kebijakan perekrutan anggota baru dengan komitmen pengurus setelah diterima. Telah lama direkomendasikan bahwa kebijakan perekrutan membutuhkan persyaratan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Gambaran pekerjaan dapat memberikan informasi kepada calon pengurus tentang bagaimana jenis pekerjaan yang akan dia kerjakan. Bila calon pengurus merasa cocok dan mampu mengerjakan maka akan timbul suatu komitmen ketika dia menjadi pengurus. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa adanya transparansi sehingga calon pengurus akan merasa diperlakukan secara adil dan jujur. Hal itu akan menambah komitmen pengurusnya.
       Ketika pengurus masuk organisasi, masa orientasi dan pengalaman masa magang dapat meningkatkan tingkat komitmen pengurusnya.  Meyer dan Allen menegaskan bahwa pendekatan investiture dalam masa orientasi dapat meningkatkan perasaan komitmen berorganisasi daripada pendekatan divestiture. Ketika pendekatan investiture diterapkan, pengurus baru tidak diharuskan untuk meninggalkan kepribadiannya yang dulu, dengan begitu pengurus baru dapat menyadari bahwa menghormati hak-hak pengurus dalam suatu organisasi merupakan suatu hal yang penting.
        Dalam pendekatan divesture, pendatang baru diharuskan untuk meninggalkan beberapa aspek dalam masing-masing individu. Bentuk sosialisasi ini dapat membuat pengurus baru mengganggap organisasi itu “elite” dan merupakan suatu keistimewaan apabila menjadi pengurus tetap organisasi tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan orang luar terhadap organisasi ini dan dapan menyebabkan perasaan rendah diri bagi para pengurus barunya.
       Suatu organisasi harus meyakinkan bahwa pengurus barunya mendapatkan pelatihan yang sesuai kebutuhann untuk dapat mengerjakan pekerjaan mereka nantinya. Pelatihan dapat terdiri dari pelatihan formal maupun informal. Pelatihan atau Training ini dapat menambah komitmen berorganisasi karena dalam pelatihan, pengurus baru dapat mengetahui bahwa suatu organisasi bertindak suportif dan mempunyai kepentingan untuk kesuksesannya. Jika pelatihan ini memfasilitasi pengurus baru agar dapat sukses, maka dapat menyebabkan pengurus baru merasa bangga bergabung dalam organisasi tersebut. Pelatihan ini juga berkontribusi untuk menambah komitmen yang berkelanjutan.
       Pengembangan kebijakan promosi internal merupakan area lain yang digunakan suatu organisasi untuk meningkatkan komitmen pengurusnya. Namun, apabila dalam prakteknya promosi internal ini berjalan secara tidak adil dan tidak transparan maka dapat menyebabkan kemerosotan komitmen pengurusnya.
Banyak organisasi juga sering menggunakan  penelitian komitmen di dalam area kompensasi dan keuntungan. Contohnya, terdapat beberapa persyaratan untuk pengurusnya agar dapat memperoleh dana pensiun, salah satunya terdapat syarat minimal usia. Persyaratan tersebut dapat membuat pengurus untuk tetap berada di organisasi tersebut, namun tidak menjamin para pengurus tersebut bekerja lebih giat. Selain dana pensiun, terdapat cara lain yang dapat digunakan suatu organisasi dalam area kompensasi, yaitu menggunakan pembagian keuntungan atau sharing profit. Metode lain dalam kompensasi yang dapat meningkatkan komitmen berorganisasi adalah dengan menggunakan metode pembayaran berdasarkan keterampilan atau skill-based-pay.

KESIMPULAN
a.         Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan
b.        Teori Kepuasan Kerja adalah sebagai berikut :Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Self-Perception Theory (Bem’s, 1972), karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya. Social Comparison Theory (Festinger’s, 1954), karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
c.         Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut : (1) Faktor individual, misalnya  umur, kesehatan, watak dan harapan;
(2)  Faktor sosial, misalnya hubungan kekeluargaan dan pandangan masyarakat, (3) Faktor utama dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.
d.        Dampak dari Meningkatnya Kepuasan Kerja : Produktivitas Kerja Meningkat, Menurunnya kemangkiran dan permintaan berhenti, dan kesehatan pegawai yang meningkat karena perasaan nyaman terhadap pekerjaan. ( Ashar Sunyoto M,200).
e.         Komitmen            organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut. (Jex, 2002). Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
f.         Seperti kepuasan kerja, dalam komitmen organisasi ada hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja. Komitmen organisasi yang tinggi akan berdampak positif terhadap variable-variabel tersebut.


REFERENSI :
Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish, “Theories and Research on Job Satisfaction” dalam Steven Douglas Brown and Robert William Lent, eds., Career Development and Counseling: Putting Theory and Research to Work (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2005.
Baron & Byrne. Social Psychology : Understanding Human Interaction (6th edition). USA: Needham Heights Allyn & Bacon Inc. 1994

Daft L. Richard, Era Baru Manajemen, Ed. Kanita Maria Tita. Jakarta: Salemba Empat, 2011
Derek R. Allen and Morris Wilburn, Linking Customer and Employee Satisfaction to the Bottom Line: A Comprehensive Guide to Establishing the Impact of Customer and Employee Satisfaction of Critical Business Outcomes, Milwaukee : American Society for Quality, 2002
H.C. Ganguli, Job Satisfaction Scales for Effective Management: Manual for Managers and Sciensts. New Delhi: Ashok Kumar Mittal, 1994
Kuswadi. 2004. Cara Mengukur Kepuasan Kerja Karyawan. Jakarta : PT ElexMedia Komputindo
Miner, J.B. 1992. Industrial Organizational Psychology. London : Mc Grawhill
Mobley, William. H. 1986. Pergantian Karyawan: Sebab-Sebab Dan Pengendaliannya. Penerjemah : Nurul Iman. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo
Moh. As’ad. 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta : LIBERTY
Pandji Anoraga. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
Paul E. Spector, Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences .Thousand Oaks: Sage Publications, Inc., 1997
Phuong L. Callaway, The Relationship of Organizational Trust and Job Satisfaction: An Analysis in the U.S. Federal Work Force.Boca Raton: Dissertation.com, 2007.
P. Robbin, Stephen. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT INDEKS kelompok GRAMEDIA
Steve M. Jex, Organizational Psychology: A Scientist Practitioner Approach.New York : John Wiley & Sons, 2002
Sutjipto. Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa ke Jalan?Jakarta: Global Mahardika Publications.2004
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
Wexley, K.N., Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard D. Irwin Inc., Homewood, Illinois.

14 komentar:

  1. wah,,detail sekali penjelesannya,,mantap banget

    BalasHapus
  2. terima kasih bapak, blognya sangat membantu

    BalasHapus
  3. mau nanya prinsip0-prinsip dasar dari kepuasan kerja itu apa ya?

    BalasHapus

Silahkan masukan komentar Anda