Jumat, 29 April 2011

Teori Path-Goal dalam Kepemimpinan

Salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
 
Dasar teori ini merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan.

Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang
(1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan
(2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.

Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness).

Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.

Teori Model Victor Vroom

Victor Vroom (1964) yang terkenal dengan teori model Vroom menguraikan tentang faktor kinerja dapat dilihat dari 3 (tiga) teori sebagai berikut yang terdiri dari :

1. Teori ekspektansi.
Menurut teori ekpektansi yang bisa mendorong kinerja seseorang yaitu : “Ekspektansi seseorang mewakili keyakinan seorang individu bahwa tingkat upaya tertentu akan diikuti oleh suatu tingkat kinerja tertentu”. Sehubungan dengan tingkat ekspektansi seseorang Craig C. Pinder (1948) dalam bukunya “Work Motivation” berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat ekspektansi seseorang yaitu :
a. Harga diri
b. Keberhasilan waktu melaksanakan tugas
c. Bantuan yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan.
d. Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas
e. Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja.

2. Teori Instrumentalis.
Menurut teori instrumentalis yaitu keyakinan seseorang bahwa hasil tertentu tergantung pada pelaksanaan sebuah tingkat kinerja khusus. Kinerja bersifat instrumental apabila ia meyebabkan timbulnya sesuatu yang lain.

3. Teori valensi.
Teori valensi mengandung arti bahwa nilai positif dan negatif yang diberikan orang kepada hasil-hasil. Ketiga teori tersebut bisa dilihat dari aspek manajerial dan individual.

PUBLIC RELATION
PR adalah yang benar-benar bagian integral dari bisnis apapun resep untuk sukses, dalam kenyataannya, telah dipikirkan dengan baik dan benar disahkan rencana PR bisa menjadi bagian terpenting dari pemasaran perusahaan – dan selain dari produk yang bagus dan kerja keras karyawan, bagian terpenting dalam menjalankan bisnis. PR akan menentukan dengan tepat bagaimana perusahaan Anda dilihat atau dirasakan di mata publik. Saat ini dan pelanggan potensial seperti harus dipastikan bahwa mereka, atau akan menggurui perusahaan yang peduli. Sebuah departemen PR dapat mengatur rencana serangan agar konsumen tahu bahwa perusahaan Anda peduli tentang orang-orang dan lingkungan, dan tentang lainnya berkembang isu-isu sosial. Departemen PR yang baik juga akan membuat masyarakat menyadari bahwa perusahaan Anda memiliki produk baru di cakrawala dan mengapa mereka harus menjadi yang pertama dalam antrean untuk membelinya, atau bahwa perusahaan Anda adalah percabangan keluar untuk menawarkan layanan baru dan bagaimana yang akan membuat Anda lebih kuat dan lebih mampu menangani kebutuhan mereka sebagai konsumen.

Namun aspek besar lainnya dan peran penting dari departemen PR kerusakan kontrol. Jika sesuatu, ada yang tidak beres dan publik dibuat sadar bahwa masalah timbul dari salah satu karyawan perusahaan Anda karena tindakan atau kebijakan tertentu – departemen PR yang baik akan menjadi yang pertama di tempat kejadian untuk memperbaikinya. Menulis rilis untuk permintaan maaf atau koreksi kesalahan, bersama dengan rilis yang menyatakan fakta bahwa karyawan baru dan prosedur yang diterapkan untuk mencegah masalah di masa depan seringkali dapat menyimpan reputasi perusahaan di mata publik.

Kinerja PR itu sendiri dapat di katakan sesuai dengan teori Vroom dan Yetton, di mana menurut teori ini, gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil.

Victor H. Vroom.Philip H.Yetton, & Arthur G.jago (1988),menjelaskan tentang model kepemimpinan yang berupaya untuk menggambarkan seberapa banyak partisipasi bawahan yang seharusnya diikuti dalam pengambilan keputusan.

Dalam model Vroom-Yetton-Jago,pemimpin mengakses atribut masalah penting dan kemudian mengadopsi satu dari lima tingkat dasar partisipasi.Lima gaya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemimpin membuet keputusan sendiri.
2. Pemimpin menanyakan informasi kepada bawahan ,namun membuat keputusan sendiri
3. Pemimpin berbagi situasi dengan bawahan secara individu dan meminta informasi serta evaluasi.Bawahan tidak bertemu dalam suatu kelompok,dan pimpinan sendiri yang membuat keputusan.
4. Pimpinan dan bawahan bertemu dalam satu kelompok untuk membicarakan situasi tersebut,namun pemimpin yang membuat keputusan.
5. Pimpinan dan bawahan bertemu dalam satu kelompok untuk membicarakan situasi tersebut dan kelompok yang membuat keputasan.

Gaya Kepemimpinan
Berikut ini beberapa referensi gaya kepemimpinan yang diambil dari berbagai sumber.
• § Gaya Otokrasi/otoriter
• § Gaya demokrasi/partisipasi
• § Gaya yang berorientasi pada pekerja dan gaya yang mengutamakan jumlah produksi
• § Gaya suportif (gaya yang mendukung anak buah)

Biasanya gaya suportif akan berperilaku sebagai berikut:
1.menyampaikan pujian jika anak buah melakukan pekerjaan dengan baik.
2.tidak menuntut lebih dari kemampuan
3.ramah dan mudah didekati
4.mau melakukan perubahan
5.memperlakukan anak buah sebagai teman sejawat

Seorang pemimpin dikatakan efektif atau berhasil menjalankan tugas kepemimpinan jika dapat:
1.membuat keputusan yang dapat dijalankan dengan baik
2.memotivasi karyawan untuk bekaerja sama dengannya
3.mengendalikan situasi
4.memikul tanggung jawab
bersikap adil terhadap semua karyawan

TEORI KEPEMIMPINAN FIEDLER “Contingency Theory”

Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.

Model Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) . Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974:73).

Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.

Untuk menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam bentuk skala semantic differential, suatu skala yang terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh peminpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Prefered Coworker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukkan bahwa pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship oriented). Sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Pemimpin demikian, lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented). Fiedler menyimpulkan bahwa:

1. Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan, maupun yang sangat tidak menguntungkan pemimpin.

2. Pemimpin dengan skor LPC tinggi ( pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sederajat dengan keuntungannya.
Sebagai landasan studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi / lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:

a. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (Position power)
Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan ini berbeda dengan sumber kekuasaan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah / dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational authority).

b. Struktur tugas (task structure)
Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diberikan tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak jelas atau kabur.

c. Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations)
Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat penting dari sudut pandangan seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan dan struktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha / organisasi selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya (hubungan yang baik antara pemimpin-anggota).
 
Berdasarkan ketiga variabel ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungannya bagi pemimpin. Situasi dengan dengan derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak menguntungkan adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.

Ruhul Islam Sultan Abdul Hamid II



Pada 1909 Sultan Abdul-Hamid II dicopot kekuasaannya melalui kudeta militer, sekaligus memaksanya untuk mengumumkan sistem pemerintahan perwakilan dan membentuk parlemen untuk yang kedua kalinya. Ia diasingkan ke Tesalonika, Yunani. Selama Perang Dunia I, ia dipindahkan ke Istana Belarbe. Pada 10 Februari 1918, Sultan Abdul-Hamid II meninggal tanpa bisa menyaksikan runtuhnya institusi Negara Khilafah (1924), suatu peristiwa yang dihindari terjadi di masa pemerintahannya. Ia digantikan oleh saudaranya Sultan Muhammad Reshad (Mehmed V) .

***
Sultan Abdul Hamid sangat pandai berbicara bahasa Turki, Arab dan Farsi. Ia juga mempelajari beberapa buku tentang sastra dan puisi. Ketika ayahnya, Abdul Majid meninggal, pamannya, Abdul Aziz menggantikan menjadi Sultan (Khalifah). Namun Abdul Aziz tak lama sebagai Sultan. Ia dipaksa turun dari tahta dan kemudian dibunuh oleh musuh politik pemerintah Utsmaniyyah. Ia diganti oleh Sultan Murad, anak lelakinya, tetapi beliau juga diturunkan dari tahta dalam waktu yang singkat karena tidak mampu memerintah.
Pada 31 Agustus 1876 (1293H) Sultan Abdul Hamid dilantik menjadi Sultan dengan disertai bai'ah oleh umat Islam. Ia berusia 34 tahun ketika itu. Sultan Abdul Hamid menyadari, sebagaimana yang beliau nukilkan dalam catatan hariannya, bahwa ketika pembunuhan pamannya, dan juga perubahan kepemimpinan yang cepat adalah merupakan satu konspirasi untuk menjatuhkan pemerintahan Islam.

Pribadi Sultan Abdul Hamid telah dikaji hebat oleh Orietalis Barat. Ia pemimpin sebuah negara yang sangat besar yang ketika itu dalam kondisi sekarat dan tegang. Ia menghabiskan lebih 30 tahun dengan konspirasi internal dan eksternal, peperangan, revolusi dan perubahan yang tidak berhenti. Sultan Abdul Hamid sendiri mengungkapkan perasaannya pada hal ini di dalam tulisan dan puisinya. Satu contoh puisi beliau dalam buku, "Bapaku Abdul Hamid," ditulis oleh anak perempuannya bernama Aisya.

“Tuhanku,
Aku tahu Kaulah al-Aziz ...
dan tiada yang selainMu
yang Kaulah Satu-Satunya,
dan tiada yang lain Ya Allah,
pimpinlah tanganku dalam kesusahan ini,
Ya Allah, bantulah aku dalam saat-saat yang kritis ini.

 
Masalah pertama yang dihadapi beliau adalah Midhat Pasha. Midhat Pasha terlibat secara rahasia Freemason dalam pakta menjatuhkan paman Sultan Abdul Hamid. Saat Sultan Abdul Hamid menjadi Khalifah beliau menunjuk Midhat Pasha sebagai Ketua Majelis Menteri-menteri karena Midhat sangat populer saat itu dan Sultan Abdul Hamid memerlukan untuk terus memegang kepemimpinan.
Midhat Pasha bijak menjalankan tugasnya tetapi ia terlalu mengikuti pandangannya sendiri saja. Midhat Pasha juga didukung oleh satu aliran yang kuat di Parlemen. Dengan bantuan dari golongan ini, Midhat Pasha berhasil meloloskan resolusi untuk berperang dengan Rusia.
Sultan Abdul Hamid tidak dapat berbuat apa-apa karena ia kemungkinan akan dijatuhkan jika mencoba bertindak. Kekalahan perang tersebut dicoba dipertanggung-jawabkan atas Sultan Abdul Hamid oleh pendukung Midhat itu. Namun, setelah sesuai waktunya,
SultanAbdul Hamid telah berhasil menggunakan perselisihan antara beliau dengan Midhat Pasha untuk membuang Midhat ke Eropa. Rakyat dan para pengamat politik mendukung penuh tindakan berani dan bijak Khalifah Islam ini.

Musuh di luar Islam

Sultan Abdul Hamid mengalihkan perhatian beliau kepada musuh-musuh luar Pemerintah Islam. Ia telah memperkirakan Revolusi Komunis di Rusia dan menyadari bahwa itu akan memperkuat Rusia dan menjadi lebih berbahaya.
Pada saat itu, Balkan masih merupakan bagian dari Pemerintah Islam dan sedang menghadapi tekanan dari Rusia dan Austria. Sultan Abdul Hamid hanya menyadarkan negara-negara Balkan ini akan bahaya yang akan mereka hadapi. Ia hampir berhasil mencapai persetujuan dengan negara-negara ini. Tetapi ketika saat-saat akhir ditandatanganinya perjanjian tersebut, 4 negara Balkan telah membelot dan membuat perjanjian lain menyingkirkan Pemerintah Islam Utsmaniyyah atas pengaruh Rusia dan Austria.

Sultan Abdul Hamid sadar bahwa konspirasi untuk menghancurkan Negara Islam adalah lebih hebat dari yang diketahui umum. Konspirasi ini tersedia dari internal dan eksternal.
Ketika beliau merasa lega karena berhasil membuang Midhat Pasha dan pengikut-pengikutnya, ia berhadapan pula dengan Awni Pasha, seorang yang berpengaruh dalam Majelsi Menteri dan juga seorang pemimpin pasukan. Kemudian, Sultan Abdul Hamid mengetahui bahwa Awni Pasha menerima uang dan hadiah dari pihak Eropa dan juga tentang perannya dalam menjatuhkan Abdul Aziz.

Awni Pasha membawa Pemerintah Utsmaniyyah ke dalam peperangan Bosnia meskipun tidak disetujui oleh Sultan Abdul Hamid. Abdul Hamid mengetahui jika peperangan terjadi, Rusia, Inggris, Austria-Hungaria, Serbia, Montenegro, Itali dan Prancis akan menyerang Pemerintahan Islam dan mengambil Bosnia.
Rupanya, Awni memberikan informasi palsu kepada Sultan Abdul Hamid tentang kekuatan tentara Islam di Bosnia. Dia mengatakan ada 200.000 tentara Islam di sana sedangkan saat Sultan Abdul Hamid mendapatnya informasi dari pemimpin-pemimpin militer lainnya, diperkriakan hanya terdapat 30.000 tentara, di mana harus menghadapi lebih 300.000 tentara kafir.

Publik  menyukai Awni pada saat itu dan jika Sultan Abdul Hamid memecatnya, stabilitas negara akan terancam. Kekuatan kafir Barat, saat menyadari mereka berhadapan dengan lawan yang kecil jumlahnya telah menyerang Bosnia dengan bantuan empat negara Balkan (Rumania, Montenegro, Serbia dan Austria-Hungaria).

Akibat dari peperangan ini, Bosnia dan Yunani telah dirampas dari Pemerintah Islam. Setelah kekalahan tersebut, barulah Sultan Abdul Hamid bisa mendapatkan dukungan umum dalam memecat Awni. Pengadilan menemukan Awni bersalah karena berkonspirasi menjatuh pemerintah dan membantu kekuasaan asing seperti Inggris.

Kejatuhan ini membuat semua pihak bersekongkol menjatuhkan Sultan, termasuk pihak Yahudi. Pada tahun 1901, seorang pemilik Bank Yahudi, Mizray Qraow dan 2 lagi pemimpin Yahudi berpengaruh mengunjungi Sultan Abdul Hamid dengan membawa penawaran:

Pertama, membayar semua hutang  Pemerintahan Islam Utsmaniyyah. Kedua,  membangun Angkatan Laut Pemerintahan Islam Utsmaniyyah3) 35 Juta Lira Emas tanpa bunga untuk membantu perkembangan Negara Islam Utsmaniyyah. Tawaran ini sebagai ganti   jika,
1) Menerima Yahudi mengunjungi Palestina pada setiap saat yang mereka suka dan untuk tinggal berapa lamapun yang mereka inginkan "mengunjungi tempa t-tempat suci".

 2)  Yahudi diperbolehkan membangun pemukiman di tempat mereka tinggal di Palestina dan mereka menginginkan tempat yang letaknya dengan Baitul-Maqdis (al Quds)

Namun nampaknya Sultan Abdul Hamid enggan bertemu mereka sekalipun, apalagi menerima penawaran merreka. Ia mengirim utusan dan menjawab:
"Beritahu Yahudi-yahudi yang tidak beradab itu bahwa hutang-hutang Pemerintah Utsmaniyyah bukanlah sesuatu yang ingin dipermalukan, Prancis juga memiliki hutang-hutangnya dan itu tidak memberikan efek apapun kepadanya. Baitul-Maqdis menjadi bagian dari Bumi Islam ketika Umar ibn Al- Khattab mengambil kota itu dan aku tidak akan sekali-kali menghina diriku dalam sejarah dengan menjual Bumi suci ini kepada Yahudi dan aku tidak akan menodai tanggung-jawab dan amanah yang diberikan oleh ummah ini kepadaku. Biarlah Yahudi-yahudi itu menyimpan uang mereka, umat Islam Utsmaniyyah tidak akan bersembunyi di dalam kota-kota yang dibangun dengan uang musuh-musuh Islam. "
Sungguh sikap seorang pemimpin Islam yang belum bisa ditemukan di dunia saat ini. Hatta, itu dari pemimpin negeri-negeri Muslim sekalipun.
Yahudi tidak berputus asa dengan kegagalan mempengaruhi Sultan Abdul Hamid. Pada akhir tahun yang sama, 1901, pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, mengunjungi Istanbul dan mencoba bertemu dengan Sultan Abdul Hamid.
Namun Abdul Hamid enggan bertemu Hertzl dan mengirim stafnya dan menasehati Hertzl dengan mengatakan;
“Aku tidak dapat memberikan walau sejengkal dari tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku, ia adalah hak umat Islam. Umat Islam yang telah berjihad demi bumi ini dan mereka telah membasahinya dengan darah-darah mereka. Yahudi bisa menyimpan uang dan harta mereka. Jika Kekhalifahan Islam ini hancur pada suatu hari, mereka dapat mengambil Palestina tanpa biaya! Tetapi selagi aku masih hidup, aku lebih rela sebilah pedang merobek tubuhku daripada melihat bumi Palestina dikhianati dan dipisahkan dari kehikhilafahan Islam. Perpisahaan tanah Palestina adalah sesuatu yang tidak akan terjadi, Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Bayangkan, pendirian seorang pemimpin (Khalifah) ini disampaikan di saat-saat kekuasaannya sedang diambang kehancuran. Bagaimana jika  tindakannya itu terjadi di masa-masa beliau masih kuat?
Kegagalan Yahudi merayu Sultan Hamid, membuat mereka berkolaborasi dengan Nagara-negara Eropa. Yahudi mendapatkan bantuan Inggris dan Prancis untuk mencapai impian mereka. Semenjak itu, Negara seperti Inggris dan Prancis bersiap menghancurkan pemerintah Islam Utsmaniyyah. Tetapi kata “jihad” masih tetap ditakuti dan membuat seluruh Eropa bergetar.
Maka Inggris kala itu memutuskan ide penggunakan kebijakan 'pecah belah’. Ini dilakukkan Inggris dengan mulai memberi dukungan kelompok-kelompok baru seperti “Turki Muda”  yang dimotori oleh Mustafa Kemal Pasha. Kebodohan itu membuat umat tidak tahu lagi mana kawan dan mana lawan. Alih-alih membela Sultan, ia malah terkecoh dan bersekutu dengan penjajah, termasuk Zionis Yahudi yang telah ngebet ingin mencaplok Palestina.
Akhirnya, malam  27 April 1909 Sultan  kedatangan tamu tak diundang. Kedatangan mereka di Istana Yildiz menjadi catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan kaum Muslim seluruh dunia.  Perwakilan 240 anggota Parlemen Utsmaniyyah, yang mengaku perwakilan kaum Muslim (di bawah tekanan Turki Muda) , ini sedang berusaha menggulingkan Sultan Abdul Hamid II dari kekuasaannya. Senator Syeikh Hamdi Afandi Mali bahkan mengeluarkan fatwa tentang penggulingan tersebut dan akhirnya disetujui oleh anggota senat yang lain.
Di antara bunyi fatwa Syeikh Hamdi adalah berikut;
"Jika pemimpin umat Islam mengambil kiat-kiat agama yang penting dari kitab-kitab hukum dan mengumpulkan kitab-kitab tersebut, memboroskan uang negara dan terlibat dengan perjanjian yang bertentangan dengan hukum Islam, membunuh, menangkap, membuang negeri dan rakyat tanpa alasan apapun, maka berjanjilah untuk tidak melakukannya lagi dan jika masih kelakukannya untuk menyakitkan kondisi umat Islam di seluruh dunia Islam maka pemimpin ini harus disingkirkan dari jabatannya. Jika penyingkirannya akan membawa kondisi yang lebih baik dari beliau terus kekal, maka ia memiliki pilihan apakah mengundurkan diri atau disingkirkan dari jabatan."
Sebuah fatwa yang aneh ditujukan pada seorang Sultan yang memiliki reputasi dan akhlaq yang baik.
Menariknya,  empat utusan parlemen;  Emmanuel Carasso, seorang Yahudi warga Italia dan wakil rakyat Salonika (Thessaloniki) di Parlemen Utsmaniyyah,  melangkah masuk ke istana Yildiz. Turut bersamanya adalah Aram Efendi, wakil rakyat Armenia, Laz Arif Hikmet Pasha, anggota Dewan Senat yang juga panglima militer Utsmaniyyah, serta Arnavut Esat Toptani, wakil rakyat daerah Daraj di Meclis-i Mebusan.
Mereka akhirnya mengkudeta Sultan. “Negara telah memecat Anda!”
“Negara telah memecatku, itu tidak masalah,… tapi kenapa kalian membawa serta Yahudi ini masuk ke tempatku?” Spontan Sultan marah besar sambil menudingkan jarinya kepada Emmanuel Carasso.
Sultan kenal betul siapa Emmanuel Carasso itu. Dialah yang bersekongkol bersama Herzl ketika ingin mendapatkan izin menempatkan Yahudi di Palestina.
Tempat Yahudi yang kumuh
Malam itu, Sultan bersama para anggota keluarganya yang hanya mengenakan pakaian yang menempel di badan diangkut di tengah gelap gulita menuju ke Stasiun kereta api Sirkeci. Mereka digusur pergi meninggalkan bumi Khilafah, ke istana kumuh milik Yahudi di Salonika, tempat pengasingan negara sebelum seluruh khalifah dimusnahkan di tangan musuh Allah.
Khalifah terakhir umat Islam dan keluarganya itu dibuang ke Salonika, Yunani. Angin lesu bertiup bersama gerimis salju di malam itu. Pohon-pohon yang tinggal rangka, seakan turut sedih mengiringi tragedi memilukan itu.
Atas peristiwa ini,  Sultan Abdul Hamid II mengungkap kegundahan hatinya yang dituangkan dalam surat kepada salah seorang gurunya Syeikh Mahmud Abu Shamad;
“…Saya meninggalkan kekhalifahan bukan karena suatu sebab tertentu, melainkan karena tipu daya dengan berbagai tekanan dan ancaman dari para tokoh organisasi yang dikenal dengan sebutan Cun Turk (Jeune Turk), sehingga dengan berat hati dan terpaksa saya meninggalkan kekhalifahan itu. Sebelumnya, organisasi ini telah mendesak saya berulang-ulang agar menyetujui dibentuknya sebuah negara nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina. Saya tetap tidak menyetujui permohonan beruntun dan bertubi-tubi yang memalukan ini. Akhirnya mereka menjanjikan uang sebesar 150 juta pounsterling emas.
Saya tetap dengan tegas menolak tawaran itu. Saya menjawab dengan mengatakan, “Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku hidup mengabdi kepada kaum Muslimin dan kepada Islam itu sendiri. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para Sultan dan Khalifah Uthmaniah. Sekali lagi aku tidak akan menerima tawaran kalian.”
Setelah mendengar dan mengetahui sikap dari jawaban saya itu, mereka dengan kekuatan gerakan rahasianya memaksa saya menanggalkan kekhalifahan, dan mengancam akan mengasingkan saya di Salonika. Maka terpaksa saya menerima keputusan itu daripada menyetujui permintaan mereka.
Saya banyak bersyukur kepada Allah, karena saya menolak untuk mencoreng Daulah Uthmaniah, dan dunia Islam pada umumnya dengan noda abadi yang diakibatkan oleh berdirinya negeri Yahudi di tanah Palestina. Biarlah semua berlalu. Saya tidak bosan-bosan mengulang rasa syukur kepada Allah Ta’ala, yang telah menyelamatkan kita dari aib besar itu.
Saya rasa cukup di sini apa yang perlu saya sampaikan dan sudilah Anda dan segenap ikhwan menerima salam hormat saya. Guruku yang mulia. mungkin sudah terlalu banyak yang saya sampaikan. Harapan saya, semoga Anda beserta jama’ah yang anda bina bisa memaklumi semua itu.”
Dengan kerendahan hati, ia menyebut namanya dalam menutup surat yang dikirim pada 22 September 1909 itu  dengan sebutan Abdul Hamid bin Abdul Majid, Pelayan Kaum Muslimin.
Setelah penyingkirannya, penulis-penulis Barat bersekongkol “menyerang” Sultan Abdul Hamid dan memberi legitimasi kudeta. Salah seorang dari mereka adalah John Haslib, dalam bukunya "The Red Sultan" (telah diterjemahkan ke beberapa bahasa termasuk bahasa Arab dan Turki), juga buku berbahasa Turki "iki mevrin perde arkasi - yazan: nafiz Tansu" oleh Ararat Yayinevi juga merupakan bagian dari propaganda seolah-olah 'Turki Muda' telah menyelamatkan Kekhalifahan Utsmaniyyah dari kehancuran. Ada juga penulis Arab-Kristen terkenal, Georgy Zaydan dalam bukunya, "Stories of the IslamicHistory- The Ottoman Revolution." Semua buku-buku ini adalah penipuan dan kedok yang ditulis para musuh Islam. Buku-buku ini menggambarkan, seolah-olah Sultan Abdul Hamid sebagai seorang yang tenggelam dalam kemewahan dunia dan identik dengan wanita dan minuman kera.  Sultan yang sangat tegas pada Yahudi ini digambarkan sebagai sosok pemimpin pemerintah yang dzalim atas musuh-musuh politik dan rakyatnya. Tentusaja, penipuan-penipuan ini tak mungkin tertegak karena sosok Sultan yang akan selalu terbukti sepanjang sejarah.
Setelah Sultan Abdul Hamid, muncullah beberapa pemimpin yang lemah. Mereka tidak mampu memerintah dan hilang daya mereka dengan mudah. Seperti yang diperkirakan oleh Sultan Abdul Hamid, Perang Dunia (PD) Pertama meletus dan bumi pemerintah Utsmaniyyah. Orang-orang Arab melawan Khalifah di Hijaz dengan bantuan Inggris dan Prancis untuk 'bebas' di bawah ini penjajahan 'penolong-penolong' mereka. Bumi Islam Palestina akhirnya “diserahkan” kepada Yahudi.
'Turki Muda’ mengambil-alih kekuasaan dan Mustafa Kamal Ataturk membubarkan resmi Khilafah Islam pada 1924. Pertama kalinya dalam sejarah umat Islam, kepemimpinan Islam yang bersatu sejak zaman Rasulullah SAW dan para Sahabat hilang. Perang Salib berakhir dengan kemenangan bagi Barat dan Yahudi.
Sultan Abdul Hami menghembuskan nafas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari1918. Kepergiannya diratapi seluruh penduduk Istanbul. Mereka baru sadar karena kebodohan mereka membiarkan Khilafah Utsmaniyyah dilumpuhkan setelah pencopotan jabatan khilafahnya.
Akibat kesalahan fatal itu runtuhlah institusi yang menaungi kaum Muslim  dan pada 1948 berdirilah negara ilegal pembantai kaum Muslim Palestina, bernama Israel.
Mulai saat ini, janganlah umat lupa sejarah penting ini.  Jangan pula lupa sejarah lainnya. Perang Bosnia, Perang Chechnya, Perang Kashmir, Perang Moro, Perang Iraq juga Perang Afganistan. Umat harus mulai sadar bahwa tanpa Islam yang miliki kekuatan, Islam bukan apa-apa. Tanpa kesatuan umat dan jihad, Islam hanya akan dipermainkan dan terus dalam kehinaan.
Marilah kita semua berdoa, agar di antara kita bisa dilahirkan anak-anak yang kelak menjadi pemimpin sekelas Sultan Abdul Hamid yang rela berdiri di tengah keagungan seluruh ummah.  Seperti sunnah alam, mentari mungkin telah terbenam sementara, dan Insya-Allah akan segara terbit kembali. Seperti itulah sunnah kepemimpinan. Suatu saat, Allah akan menghadirkan kembali kedatangan “Abdul Hamid II muda” lain dari rahim kita.*/ Nur Aminah~Rossem

Sumber : http://www.hidayatullah.com/

Nama lengkap beliau adalah Abdul Hamid Khan ke-2 bin Abdul Majid Khan. Ia adalah putera Sultan Abdul Majid (dari istri kedua). Ibunya meninggal ketika beliau berusia 7 tahun. Ia adalah  Sultan (Khalifah) ke-27 yang memerintah Daulah Khilafah Islamiyah Turki Utsmani. Abdul-Hamid menggantikan saudaranya Sultan Murad V pada 31 Agustus 1876.

Kepemimpinan, Islam dan Indonesia

 Oleh : Ardian Umam*)


Dimulai dengan sebuah peristiwa fathul makkah sebuah ekskalasi pasukan besar-besaran pada masanya dan berujung pada penaklukan kota mekkah, tanpa ada tumpah setetes pun. Kemudian Islam semakin menyebar keluar jazirah arab, menggetarkan bangsa romawi yang gagah, menyentuh kota Andalusia yang mempesona.
Islam menunjukkan bahwa sebagai sebuah ideologi yang kokoh, Islam dapat memimpin. Tidak hanya dalam sekejap mata, tapi tercatat tidak kurang dari seribu tahun dan lebih dari seperempat wilayah dunia, yang hidup makmur di bawah kepemimpinan Islam.

Pemimpin, Kepemimpinan, dan Signifikasinya dalam Islam
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial politik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama bukanlah untuk berkecimpung didalam dunia sosial dan politik.

Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia sosial politik (publik). Sehingga peran ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, tidak untuk mengurusi kehidupan dunia sosial dan politik.
Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan atau alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.

Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia sosial dan politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama mestilah mengambil kepemimpinan yang ada. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual.

Menurut Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama, alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW,adalah ”Fuqaha adalah pemegang amanat rasul, selama mereka tidak masuk keduania”, kemudian seseorang bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab,” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.” (baca Imam Khomeini, “Sistem Pemerintahan Islam”, hal 90). Kedua, alasan Rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya guna turut menjaga akan nilai-nilai kebenaran sejati.

Lalu siapakah yang disebut dengan ulama ? Ulama berasal dari kata bahasa arab dan semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya adalah orang yang mengetahui atau orang pandai, berilmu. Seorang “pemimpin revolusi” bagi masyarakat Iran, yaitu Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk mengganti istilah ulama.

Islam dan Indonesia
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Islam. Islam telah melekat menjadi suatu hal yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan rakyat di Indonesia. Bahkan Pancasila sendiri merupakan suatu ideologi yang berusaha mempertemukan prinsip Islam dengan perjuangan persatuan Indonesia pada saat perumusannya.
Pada awalnya, terjadi perdebatan yang cukup sengit dikalangan founding fathers negeri ini mengenai “The Seven Words”, yakni sila pertama pancasila yang pada mulanya berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kini “Ketuhanan yang Maha Esa”) yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Perdebatan ini terjadi antara kalangan sekuler, islam fundamentalis dan mereka yang menganut paham substantif yang pada akhirnya disepakati “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama Pancasila. Jika ditilik lebih lanjut, sebenarnya disinilah justru letak kemenangan pihak islam dalam merumuskan dasar negara Indonesia. Islamlah agama yang justru mengajarkan untuk meng-Esakan Sang Khaliq, yakni Allah saja.
Dzat yang Maha Satu, tidak ada tandingan yang menyetarai-Nya. Islam yang mengajarkan untuk tidak menyembah selain pada-Nya, bahkan ini akan dinilai dosa besar yang tidak akan pernah diampuni selama tidak melakukan taubat nasuha. Dan bagaimanakah dengan agama lain?

Ada hal yang unik dari uraian Ulama besar tingkat dunia, DR. Yusuf Al Qhardawi saat melakukan kunjungannya di Indonesia, Beliau menyampaikan sebuah hipotesisnya bahwa kebangkitan Islam sebagai rahmat bagi semeta alam akan lahir dari Indonesia.

Cerminan Kepemimpinan Saat Ini
Dahulu, Rasulullah SAW pernah diberikan tiga tawaran oleh musuh-musuhya agar Beliau beralih ke pihak mereka. Tawaran yang pertama adalah harta yang melimpah yang kemudian tawaran ini Beliau tolak. Disusul dengan tawaran kedua yakni wanita yang cantik, ini tak sedikitpun menggetarkan keteguhan hati Beliau. Dan yang ketiga yang akan menjadi sorotan ialah tawaran untuk menjadi raja atau pemimpin kaum. Saat itu raja adalah seseorang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh.

Rasulullah SAW menyadari saat itu yang ada ialah sistem yang jahil, sehingga tidak ada gunanya menjadi pemimpin saat itu, kalaupun syariat islam diterapkan, maka sistem yang ada akan menolak, bukannya kemaslahatan yang akan didapat melainkan mudharat (baca “Fiqh Pergerakan” Sayyid Quthb). Sehingga Beliau memulai membangun dari dasar, membina para sahabat-sahabatnya, dari masa dakwah yang sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya terang-terangan dan melakukan ekspansi.

Kisah lain adalah Khalifah Umar bi Khatab. Ketika Beliau diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, pertama yang Beliau ucapkan adalah Istighfar dengan kelopak yang dipenuhi air mata, karena mengingat pemimpin adalah sebuah amanat besar yang mesti diemban. Pernah suatu malam Khalifah Umar bin Khaththab r.a. berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah.

Bersama seorang pembantunya, Umar hendak melihat keadaan rakyatnya. Mereka mendapati seorang wanita dan anak-anaknya yang masih kecil duduk mengitari periuk besar di atas tungku api. Anak-anak itu terlihat menangis. Umar lalu mendekat dan bertanya, “Apa yang sedang terjadi?”. “Kami sudah dua hari tidak makan. Kami kedinginan dan kelaparan,” jawab wanita itu. Ia tidak tahu kalau yang ada di hadapannya itu adalah Khalifah Umar. “Lalu apa yang ada di dalam periuk itu?”, tanya Umar. “Air, agar mereka diam dan tertidur”, jawab wanita itu. “Apa kau tidak memberi tahu pada Khalifah Umar?”. “Seharusnya dialah yang harus tahu keadaan kami. Dia punya kuda, juga ribuan pegawai dan tentara. Dia seharusnya tidak boleh tidur nyenyak di rumahnya, sementara ada rakyatnya seperti kami yang kedinginan dan kelaparan”, tegas wanita itu.
Hati Umar tergetar dan sangat pedih. Umar bergegas pergi mengajak pembantunya menuju ke gudang penyimpanan gandum. Umar mengambil sekarung gandum dan hendak memanggulnya. Sang pembantu mencegah, “Jangan, Tuan, biarlah saya saja yang memanggulnya.” Umar malah marah dan menghardik, “Apakah kamu juga akan memanggul dosaku di Hari Kiamat kelak!” Pembantu itu diam seribu bahasa. Ia lalu membantu Umar menaikkan sekarung gandum itu ke pundaknya. Umar juga menenteng beberapa liter minyak samin. Kemudian Umar berjalan tergesa menuju rumah wanita tadi, tidak peduli dengan beratnya beban dan dinginnya malam.

Bencana krisis kepemimpinan sedang melanda di negeri ini, yang ada sekarang pemimpin cenderung dijadikan sebagai jabatan prestise yang dicari banyak orang bahkan kecenderungan ini merambah ke kalangan artis. Jika dahulu Rasulullah ditawari menjadi seorang raja akan tetapi beliau tolak karena sistem yang ada saat itu adalah sistem jahil, maka Beliau membangun kepemimpinan mulai dari pondasi dasar.

Sekarang para pemimpin muncul dipermukaan hanya menjelang momentum pemilihan umum dan cenderung instan, banyak yang mengabaikan untuk membangun dari awal. Jabatan dijadikannya sebuah pekerjaan yang menghasilkan uang, jika modal yang dahulu dikeluarkan untuk menjadi pemimpin menghabiskan banyak uang, maka bukan menjadi hal yang mustahil lagi untuk mengembalikan modal saat periode jabatan. Sehingga yang mucul adalah korupsi merambah diberbagai penjuru negeri ini.

Menurut hasil survey dari lembaga Kemitran Partnership 2010 di 27 provinsi. Survei menyebutkan 78 persen responden mempersepsikan DPR sebagai lembaga terkorup, lembaga hukum 70 persen, dan pemerintah 32 persen (tempointeraktif.com, 21/2/11).

Jika dahulu Umar bin Khatab pernah menangis melihat Rasulullah tidur hanya beralaskan tikar hingga membekas dipunggung Beliau, maka bisa dilihat Wakil Rakyat dinegeri ini semakin menjadi-jadi untuk memanjakan dan memperkaya diri mereka sendiri.

Belakangan ini masyarakat dicengangkan dengan kebijakan wakil rakyatnya, untuk membangun satu ruang fisik anggota DPR saja memakan dana sekitar 800 juta (kompas.com, 29/3/11).

Lalu bagaimanakah pola kepemimpinan yang bisa dijadikan sebuah jawaban solusi ? Mengutip konsep Alm. Prof. Dr. Kuntowijoyo tentang kepemimpinan profetik yang berdasarkan pemahaman Al Qur’an surat Ali-Imran ayat 110, maka solusinya adalah kepemimpinan profetik, yakni kepemimpinan yang membawa misi humanisasi (menyeru kepada kebaikan), liberasi (mencegah dari yang mungkar), dan transendensi (mengimani Sang Pencipta Jagad Raya ini). Wallahualam bi shawab..

*) Mahasiswa Teknik Elektro UGM 2009, Koordinator Jaringan Khusus Media Opini FSLDIK UGM 1432 H, Tim Redaksi Jamaah Shalahuddin – Lembaga Dakwah Kampus UGM 1432 H, Peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis.

Selasa, 19 April 2011

TEORI MOTIVASI

Cukup banyak teori motivasi yang dikemukan oleh para ahli. Hal ini dapat dimengerti karena motivasi kerja memang merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi. Beberapa teori terkadang digunakan untuk menjelaskan motivasi dan kepuasan. 
 
Menurut W. Jack Duncan (Indrawijaya, 2005:74), teori-teori tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama, yaitu: kelompok yang tergolong Teori Motivasi Instrumental (instrumental theories of motivation) dan kelompok yang tergolong Teori Motivasi Kebutuhan (content theories of motivation). 
 
Teori Motivasi Instrumental disebut juga dengan teori proses (process theory). 
Teori motivasi yang termasuk pada kelompok teori isi (content theory) membahas tentang sesuatu yang mendorong (motivator) manusia melakukan suatu kegiatan. merupakan konsep yang bersifat memberikan penjelasan tentang kebutuhan dan keinginan seseorang serta menunjukkan arah tindakannya. Sedangkan teori motivasi yang termasuk pada kelompok teori proses (process theory) berfokus pada cara dan langkah yang ditempuh untuk mendorong manusia agar berbuat sesuatu.

Beberapa teori yang tergolong Teori Motivasi Instrumental (instrumental theories of motivation) adalah:


1. Teori Dorongan – Penguatan (Drive – Reinforcement Theory). 
Teori Dorongan–Penguatan (Drive–Reinforcement Theory) didasarkan atas hukum pengaruh (the law of effect) yang dikemukakan Throndike pada tahun 1911. Tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkah laku dengan konsekuensi negatif cenderung untuk tidak diulang. Penelitian terhadap pengubahan perilaku menyarankan bahwa penguatan perilaku dengan ganjaran biasanya lebih lebih efektif dari penguatan dengan hukuman. Menurut Teori Dorongan–Penguatan, kebiasaan akan diperkuat bila: (1) Penguatan terjadi secepatnya setelah tanggapan-tanggapannya dilakukan, (2) Pengalaman penguatan diulang-ulang dalam banyak kali, dan (3) Kapasitas penguatan (ganjaran atau hukuman) adalah besar (Wexley dan Yukl, 2005:104).

2. Teori X dan Teori Y. 
Teori X dan Teori Y dikenalkan oleh Mc.Gregor, seorang guru besar Manajemen pada Lembaga Teknik Massachusetts (Massachusetts Intitute of Technology). Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia secara jelas dan tegas dapat dibedakan atas manusia penganut teori X (Teori Tradisional) dan manusia penganut teori Y (Teori Demokrasik). 

Douglas mengemukakan bahwa Managers in the Theory X category believe that people are naturally lazy, irresponsible, and uncoorporative, and therefore must be threatened, punished or heavily rewarded to be productive. In contrast Managers in the Theory Y category that people are naturally energic, responsible, and growth-oriented, and are self motivated and are interested in being productive (Griffin dan Ebert, 1993:216).

3. Teori Harapan (Expectancy Theory). 
Teori harapan pada awalnya dikemukakan oleh Victor H. Vroom dan berikutnya dikembangkan oleh beberapa ahli-ahli lain dalam versi yang berbeda. Menurut teori harapan perilaku seseorang mencerminkan pilihan sadar yang didasarkan atas evaluasi atau perbandingan yang berbeda-beda (Wexley dan Yukl: 2005:108). 

Teori Harapan ini didasarkan atas: 

a). Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena perilaku. Harapan akan berkisar antara nilai negatif (sangat tidak diinginkan sampai dengan nilai positif (sangat diinginkan). Harapan negatif menunjukkan tidak ada kemungkinan sesuatu hasil akan muncul sebagai akibat dari tindakan tertentu, bahkan hasilnya bisa lebih buruk. Sedangkan harapan positif menunjukkan kepastian bahwa hasil tertentu akan muncul sebagai konsekuensi dari suatu tindakan atau perilaku; 

b). Nilai (Valence), adalah kekuatan relatif dari keinginan dan kebutuhan seseorang. Suatu intensitas kebutuhan untuk mencapai hasil, berkenaan dengan preferensi hasil yang dapat dilihat oleh setiap individu. Bagi seorang individu, perilaku tertentu mempunyai nilai tertentu. Suatu hasil mempunyai valensi positif apabila dipilih, tetapi sebaliknya mempunyai valensi negatif jika tidak dipilih. 

c). Pertautan (Instrumentality), yaitu besarnya kemungkinan bila bekerja secara efektif, apakah akan terpenuhi keinginan dan kebutuhan tertentu yang diharapkannya. Indeks yang merupakan tolok ukur berapa besarnya perusahaan akan memberikan penghargaan atas hasil usahanya untuk pemuasan kebutuhannya.


4. Teori Tujuan (Goal Setting Theory). 
Teori tujuan menjelaskan perilaku dari segi pengaruh tujuan-tujuan sadar manusia. Teori ini, seperti yang dirumuskan Locke adalah suatu penjabaran dari konsep “Tingkatan Aspirasi” Lewin dan “Proposisi” Ryan. Premis dasar Locke menyebutkan bahwa perilaku seseorang diatur menurut tujuan-tujuan serta maksud-maksud tujuan individunya. Kuat lemahnya tingkah laku manusia ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak dicapai (Wexley dan Yukl, 2005:113). 
 
Manusia akan cenderung untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan, apabila tujuan itu jelas, dipahami dan bermanfaat. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan makin besar keenganannya untuk berupaya.

Beberapa teori yang tergolong Teori Motivasi Isi (content theories of motivation) adalah:

1. Teori Tiga Motif Sosial (Trichotomy of Needs Theory). 
Teori Tiga Motif Sosial (Trichotomy of Needs Theory) biasa pula disebut dengan Teori Motivasi Prestasi (Mc Clelland’s Achievement Motivation Theory). Teori ini berangkat dari asumsi David Mc. Clelland bahwa semua kebutuhan adalah karena dipelajari, sehingga kepribadian juga akan berubah jika seseorang belajar. Setiap karyawan dianggap mempunyai cadangan energi potensial. 
 
Bagaimana energi ini dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekauatan dorongan motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang tersedia. (Mangkunegara, 2005:97). Prof. Dr. David C. McClelland adalah seorang ahli psikologi Amerika dari Universitas Harvard, ia mengemukakan bahwa produktivitas seseorang sangat ditentukan kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasinya secara maksimal. 
 
Kondisi jiwa yang dimaksud terdiri dari 3 dorongan kebutuhan, yaitu: 
 
a). Motif untuk Berprestasi (Achievement Motive). Motif berprestasi bercemin pada orientasinya kepada tujuan dan pengabdian demi tercapainya tujuan dengan sebaik-baiknya. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi sangat menyukai pekerjaan yang menantang kemampuannya dalam memecahkan persoalan; 
 
b) Motif untuk Bersahabat (Affiliation Motive). Motif untuk bersahabat tercemin pada keinginannya memelihara dan mengembangkan hubungan dan suasana kebatinan dan perasan yang saling menyenangkan antar sesama manusia, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun organisasi; 
 
c). Motif untuk Berkuasa (Power Motive). Dalam motivasi berkuasa, seseorang merasa mendapat dorongan apabila ia dapat mengawasi dan mempengaruhi tindakan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Motif berkuasa tidaklah diartikan sama dengan keinginan untuk menjadi penguasa yang totaliter atau kepemimpinan yang otokratis.

2. Teori Motivasi Dua Faktor. 
Teori Motivasi Dua Faktor dikemukakan oleh Hezberg. Menurut teori ini motivasi yang dapat merangsang usaha adalah peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih membutuhkan keahlian dan peluang untuk mengembangkan kemampuan. 
 
Lebih lanjut Herzberg (dalam Hasibuan, 2007:108) menyatakan ada tiga hal panting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan yaitu: 
 
a). Hal-hal yang mendorong pegawai adalah pekerjaan yang menantang yang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semuanya itu; 
 
b). Hal-hal yang mengecewakan pegawai adalah terutama faktor yang bersifat embel-embel saja pada pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat, sebutan jabatan, hak, gaji, tunjangan dan lain-lainnya; 
 
c). Pegawai kecewa, jika peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan. Herzberg menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu: a) Maintenance Factors. Adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketenteraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini merupakan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus, karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi; b). Motivation Factors. Motivation factors adalah faktor motivator yang berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan dan merupakan kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan.

3. Teori Hirarki Kebutuhan. 
Teori ini merupakan kelanjutan dari Human Science Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seseorang itu jamak. Teori yang dikemukakan Abraham H. Maslow ini didasarkan atas anggapan bahwa: 
a). Manusia adalah makhluk sosial yang berkeinginan; ia selalu menginginkan lebih banyak. Keinginan ini terus-menerus, baru berhenti jika akhir hayatnya tiba; 
b). Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivasi bagi pelakunya; hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang mennjadi alat motivasi (Hasibuan, 2007:104). 
 
Lebih lanjut Maslow mengklasifiksikan kebutuhan manusia tersebut ke dalam lima tingkatan dasar, yaitu: a). Physiological Needs. Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang, seperti makan, minum, udara, perumahan dan lain-lainnya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan ini merangsang seseorang berperilaku dan bekerja giat. Walaupun kebutuhan fisiologis termasuk kebutuhan utama, namun merupakan tingkat kebutuhan yang bobotnya paling rendah; b). Safety and Security Needs. Keamanan dan keselamatan adalah kebutuhan akan keamanan dari ancaman yakni merasa aman dari ancaman kecelakaan dan keselamatan dalam melakukan pekerjaan. Dalam lingkungan kerja, kebutuhan ini mengarah kepada dua bentuk, yaitu kebutuhan akan keamanan dan keselamatan jiwa di tempat pekerjaan pada saat bekerja dan kebutuhan akan keamanan harta di tempat pekerjaan pada waktu jam kerja; c). Affiliation or Acceptance Needs. Kebutuhan sosial, teman, dicintai dan mencintai serta diterima dalam pergaulan kelompok pegawai dan lingkungannya. Manusia pada dasarnya selalu ingin hidup berkelompok dan tidak seorang pun manusia ingin hidup menyendiri di tempat terpencil. Interaksi manusia dalam lingkungan kerja merupakan bentuk pencerminan akan kebutuhannya. d). Esteem or Status Needs. Kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan serta penghargaan prestise dari pegawai dan masyarakat lingkungannya. Idealnya prestise timbul karena adanya prestasi, tetapi tidak selamanya demikian. Akan tetapi perlu diperhatikan oleh pimpinan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam masyarakat atau posisi seseorang dalam suatu perusahaan maka semakin tinggi pula prestasinya. Prestise dan status dimanifestasikan oleh banyak hal yang digunakan sebagai simbol status; e). Self Actualization. Kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunakan kecakapan, kemampuan, keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain. Kebutuhan ini merupakan realisasi lengkap potensi seseorang secara penuh dan biasanya tidak didasari oleh harapan akan imbalan finansial.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...