PERCAYA  atau tidak, ternyata anggota Yakuza (sindikat kejahatan Jepang) ada  juga di Indonesia. Mereka ikut menjaga para pengusaha besar Jepang agar  tak diganggu preman Indonesia.Orang-orang Yakuza ini sangat rapi,  layaknya seorang pengusaha biasa, pakai setelan jas dan perlengkapan  diri secara baik. Bahkan, barang-barang yang mereka pakai umumnya  berharga mahal dan memiliki nama besar di dunia fashion.
Seorang  anggota Yakuza di Tokyo, Takahashi, pernah menceritakan sebuah kisah  kepada Kompas bagaimana seorang preman Indonesia sempat mencoba meminta  uang kepada eksekutif sebuah perusahaan Jepang.
Dengan halus  eksekutif itu memintanya datang hari berikutnya. Ketika datang kembali  ke kantor eksekutif Jepang itu, sang preman Indonesia langsung  dihadapkan kepada seorang anggota Yakuza, orang Jepang, dengan tampang  cukup menyeramkan dan berbadan kekar akan tetapi tetap berpakaian rapi  layaknya eksekutif lain.
Melihat hal itu, sang preman Indonesia mengerti sendiri dan mengurungkan niatnya untuk meminta uang "backing" tersebut.
Sumber  Kompas itu juga menjelaskan betapa banyak jenis dan tingkatan anggota  Yakuza di Jepang, mulai dari yang terbawah, tukang tagih uang, pembunuh,  sampai ke kelas eksekutif yang urusannya tak jarang justru dengan para  pejabat tinggi pemerintahan maupun politisi Jepang.
Kelesuan  perekonomian Jepang yang dimulai seusai masa gelembung ekonomi awal  tahun 1990-an sampai dengan kini yang tampak semakin parah, membuat para  anggota Yakuza ini meluaskan usaha pencarian uangnya tidak hanya di  Jepang tetapi juga ke luar negeri, termasuk Indonesia.
Ulah para Yakuza ini tampaknya cukup memusingkan otoritas di Amerika Serikat (AS).
Sebuah  lembaga di AS, misalnya, International Crime Threat Assessment (ICTA),  menyebut Yakuza sebagai salah satu sindikat kejahatan terbesar dan  sangat kuat di dunia.
Kelompok Yakuza ini telah melakukan  investasi di bidang properti cukup banyak, baik di AS maupun Kanada,  termasuk lapangan golf, hotel, sampai kepada investasi di pasar modal.  Bahkan, kini ada yang ahli di bidang komputer dan teknologi finansial.
"Itulah  sebabnya pada tahun 2010 nanti kelompok kejahatan ini diperkirakan akan  semakin ahli bergerak menguasai kejahatan kerah putih (white collar  s  crime) khususnya melalui kemajuan teknologi yang ada," demikian sebuah  isi laporan tertulis ICTA.
Itulah sebabnya kepolisian Jepang pun semakin berjaga-jaga dan meluaskan monitornya ke negara lain.
Operasi  Yakuza pertama kali di luar Jepang dilakukan di Hawaii akhir tahun  1970-an. Kelompok Inagawa-kai itu melakukan investasi di sana dan kerja  sama dengan banyak perusahaan AS pada awal tahun 1990-an. "Sedangkan  keberadaan dan aktivitas Yakuza di Indonesia diperkirakan telah dimulai  sekitar tahun 1980-an," ungkap Takahashi.
Aktivitas Yakuza itu  memang semakin dipersempit geraknya di Jepang setelah keluar  Undang-Undang (UU ) Anti Organisasi Kejahatan tahun 1992 dan parlemen  Jepang juga semakin memperkuat UU itu dengan keluarnya UU lain  pendukungnya pada tahun 1999 dan 2000.
Dengan UU Anti Organisasi  Kejahatan, kedua pihak, baik perusahaan Jepang apalagi organisasi dan  anggota kejahatan, bisa dihukum penjara berat apabila terbukti melakukan  kerja sama dengan Yakuza.
Oleh karena munculnya UU baru itulah,  pola pencarian uang para anggota Yakuza ini berubah. Misalnya, dengan  menjual produk dengan harga mahal di atas harga pasar, menyewakan  sesuatu dengan harga mahal, dan sebagainya. Sebagai imbalannya,  perusahaan tersebut tak akan diganggu kelompok kejahatan ini.
Awal  Januari tahun 2003, pihak kepolisian Jepang mengungkapkan pula  keterlibatan 4 perusahaan besar Jepang dengan sindikat kejahatan Jepang.  Berita itu dilansir kantor berita Jepang Kyodo.
Keempat  perusahaan itu adalah Tokyo Electric Power Co, Nippon Steel Corp, NKK  Corp, dan Toppan Printing Co. Lebih dari 10 tahun mereka melakukan  bisnis dengan sindikat bawah tanah Jepang.
Caranya antara lain  dengan membeli produk teh dari perusahaan yang terkait dengan salah satu  organisasi Yakuza, Otowa-ikka, salah satu unit terbesar di dalam  Sumiyoshi-kai.
Nippon Steel akhirnya menyatakan akan menghentikan  transaksi bisnisnya dengan mereka bulan Maret 2003 nanti dan tiga  perusahaan lainnya tersebut menyatakan telah menghentikan bisnisnya  dengan perusahaan yang diduga terlibat di dalam organisasi kejahatan  Jepang.
NKK, salah satu perusahaan baja terbesar Jepang, mengakui  mengalami banyak kerugian dari transaksi tersebut sehingga urusan  bisnis itu akhirnya dihentikan sebelum melakukan integrasi operasi  bersama dengan Kawasaki Steel Corp. NKK dan Kawasaki kini berada di  bawah atap perusahaan holding, JFE Holdings Inc, yang dibangun tanggal  27 September 2002.
Produk teh yang diperdagangkan itu dijalankan  oleh isteri pemimpin Otowa-ikka, sebuah kelompok kejahatan Jepang. Lalu  ada pula usaha menyewakan tumbuh-tumbuhan pemanis kantor yang dijalankan  oleh kelompok kanan kejahatan Jepang, dipimpin almarhum Ketua  Otowa-ikka.
Perusahaan Jepang itu rata-rata harus mengeluarkan  antara 10.000 yen sampai dengan 250.000 yen per bulan selama lebih dari  10 tahun untuk urusan bisnis dengan sindikat kejahatan Jepang.
Bulan  September 2002 lalu, Tokyo Dome Corp, perusahaan yang tercatat di pasar  modal Jepang dan antara lain mengelola stadion olahraga, hotel, tempat  hiburan atau permainan, dan fasilitas lain di Tokyo, ditemukan polisi  telah memberikan tiket pertandingan baseball profesional dan membiarkan  para anggota kejahatan itu menggunakan fasilitas di stadion olahraga itu  dengan harga khusus. Sedangkan Tepco, perusahaan listrik  terbesar di Jepang hanya mengomentari sekilas soal penemuan polisi  Jepang. "Kami tidak tahu sejarahnya dan kaget setelah mengetahui  transaksi dagang selama ini ternyata dengan anggota sindikat kejahatan  Jepang. Oleh karena itu kami hentikan bisnis tersebut dengan mereka,"  kata sumber di Tepco.
Yakuza, yang berarti sindikat organisasi  kejahatan Jepang, memiliki banyak anggota dan kelompok. Yang terbesar  bernama Yamaguchi-gumi (kelompok Yamaguchi). JUMLAH anggota Yakuza di Jepang semakin menurun saat ini karena peraturan yang ada membuat mereka semakin tak berkutik. Yamaguchi-gumi  sendiri diperkirakan memiliki sekitar 8.000 anggota. Jumlahnya semakin  menyusut sekitar 50 persen saat ini karena banyak faktor. Misalnya,  meninggal akibat perang antar gang, ditangkap petugas, ditahan dan masuk  penjara, bunuh diri, dan paling banyak yang mundur dari keanggotaan  sindikat itu karena hukum di Jepang nyaris tak memberi napas lagi kepada  mereka untuk beraktivitas leluasa seperti dulu.
Di samping itu  perekonomian Jepang yang semakin parah membuat donasi "backing" itu  semakin berkurang saat ini. Akibatnya, sebagian dari mereka memperluas  usaha ke luar Jepang, khususnya di mana banyak investasi perusahaan  Jepang di sana, seperti di Indonesia.
Markas besar para anggota  Yakuza ini umumnya berada di daerah Kansai (Osaka dan sekitarnya).  Penghasilan mereka pun per bulan sekitar 700.000 yen. Pendanaan  organisasi kejahatan seperti Yamaguchi-gumi saat ini membuat pusing  kepala para pimpinannya karena upah mereka sebulan untuk para pemimpin  kelompok kecil saja sedikitnya 700.000 yen.
"Dari mana uang  sebanyak itu bisa diperoleh saat ini dengan situasi ekonomi Jepang yang  parah," papar Shin Kitayoshi dari Osaka Antigang Center.Para  anggota kejahatan Jepang itu pun tak tanggung-tanggung dalam operasinya.  Kalau perlu menghilangkan nyawa polisi. Ada sebuah kasus yang  diputuskan pengadilan negeri Kyoto bulan September 2002 lalu.
Tiga  anggota sindikat kejahatan Jepang diharuskan membayar sekitar 80 juta  yen akibat salah tembak dan menghilangkan nyawa seorang polisi Jepang  dalam kasus tembak-menembak tahun 1995.
Namun, pengadilan menolak  tuntutan kompensasi kepada Yoshinori Watanabe, Kepala Yamaguchi-gumi,  karena Watanabe dianggap tak terlibat langsung dalam peristiwa hilangnya  nyawa polisi Jepang itu.
"Kasus itu hanya merupakan perang antar  gang yang berakibat terbunuhnya polisi berpakaian preman, jadi tak  relevan dengan posisi Watanabe sebagai kepala Yamaguchi-gumi," papar  hakim Yasukazu Watanabe.
Apa pun yang dilakukan sindikat  kejahatan Jepang ini, khususnya di Jepang, mulai kelihatan buahnya bagi  pihak penegak hukum karena jumlah mereka semakin kecil akibat  diterapkannya hukum yang semakin memperberat keberadaan mereka.
Jelaslah  kini, penanganan mereka dengan mempersempit gerak aktivitasnya melalui  jalur hukum cukup berhasil di Jepang. Namun, monitor secara  kesinambungan terhadap organisasi kejahatan ini masih lebih penting lagi  guna menghindari bangkitnya kembali kekuatan mereka di tengah kelalaian  kita, yang mungkin saja terjadi karena tak ada manusia yang sempurna.
Hal  inilah yang perlu kita pelajari untuk diterapkan di Indonesia. Di  samping hukum yang sangat ketat untuk menekan mereka, keandalan penegak  hukum serta partisipasi masyarakat memang sangat dibutuhkan untuk  mengantisipasi semakin merajalelanya kekuatan jahat tersebut.
Sumber : kawanua.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda