Dalam retorika politik Indonesia dewasa ini, baik pada tingkat pusat atau daerah semisal NTB masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin daerah seperti gubernur yang kharismatik atau yang bisa menjadi panutan. Istilah pemimpin kharismatik akhir-akhir ini dipakai secara luas. Di masa lalu ia kadang-kadang dipakai untuk Gandhi, Lenin, Hitler, dan Rosevelt.
Sekarang hampir setiap pemimpin dengan daya tarik yang sangat populer disebut pemimpin kharismatik, seperti misalnya tokoh agama. Max Weber, seorang sosiolog besar menganalisis suatu kharisma melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kharisma adalah kualitas tertentu dari seorang individu yang karenanya ia berbeda jauh dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supranatural. Kualitas ini dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang biasa dan atas dasar itu individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan. Dalam proses selanjutnya pemimpin ini menjadi seorang panutan, sehingga kecil kemungkinan dia akan melakukan kesalahan. Dalam kenyataan di Indonesia pemimpin kharismatik mungkin mencapai integrasi politik baru.
Sebenarnya memperlakukan seseorang menjadi panutan adalah mengandaikan orang tersebut memiliki kualifikasi moral diatas rata-rata, yang melampaui moral orang kebanyakan. Orang dengan kualifikasi seperti ini tidak sama dengan orang lain, dan karena ia memiliki kelebihan-kelebihan moral maka ia juga memiliki kewajiban yang lebih dari orang kebanyakan, termasuk di dalamnya adalah memberikan teladan hidup. Paham ini sangat mungkin berasal dari masa aristokrasi. Paham ini berbeda dalam sistem demokrasi yang bertolak dari ide tentang persamaan setiap orang. Aspek persamaan yang sering ditekankan dalam diskusi politik adalah persamaan di depan hukum, yaitu ketetapan bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama harus dihukum dengan hukuman yang sama, walaupun mereka berasal dari status sosial yang berbeda. Walaupun demokrasi mengakui adanya persamaan dalam hukum, akan tetapi demokrasi tidak mengandaikan adanya persamaan moralitas diantara setiap orang, setiap orang dengan kapasitas moral dan kebaikan yang berbeda dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, dan justru kapasitas dalam melakukan kesalahan itu lebih besar pada orang yang mempunyai kekuasaan di tangannya. Prinsip dalam politik adalah “power tends to corrupt”, bahwa semakin besar kekuasaan semakin besar pula kecenderungan kekuasaan tersebut dalam melakukan penyelewengan.
Dalam sistem aristokrasi diandaikan bahwa semakin tinggi status sosial seseorang semakin tinggi pula moral kebajikan orang tersebut, akan tetapi dalam sistem demokrasi semakin tinggi kekuasaan seseorang maka akan semakin besar kesempatan dalam melakukan penyelewengan. Karena itulah dalam demokrasi tidak diharapkan bahwa pemimpin politik haruslah seorang panutan sebagaimana berlaku dalam kehidupan beragama misalnya. Secara demokratis pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik, baik melalui hukum yang berlaku, maupun kontrol sosial oleh para warga. Terhadap godaan penyelewengan kekuasaan, kita tidak mengharapkan bahwa seorang pemimpin akan demikian teguh hatinya dan demikian saleh jiwanya sehingga sanggup mengatasi godaan penyelewengan kekuasaan tersebut. Demokrasi mengandaikan bahwa seorang pemimpin menjadi baik dan benar karena dia terhindar dari penyelewengan berkat pengawasan, yaitu pengawasan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Disini pemimpin menjadi baik dan benar bukan karena keunggulan pribadinya, tetapi karena dia dikekang oleh pengawasan rakyatnya. Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik dan dia tidak perlu berusaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahkan kekuasaannya.
Kalau demokrasi sebagai sistem politik mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat, bukan karena faktor darah atau keturunan. Akhirnya kita tidak hanya berharap pemimpin yang kharismatik tetapi lebih daripada itu kita mengharapkan pemimpin yang demokratis. Atau pemimpin yang kharismatik sekaligus demokratis? Wallahu A’lamu Bissowaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda