Dimulai dengan sebuah peristiwa fathul makkah sebuah ekskalasi pasukan besar-besaran pada masanya dan berujung pada penaklukan kota mekkah, tanpa ada tumpah setetes pun. Kemudian Islam semakin menyebar keluar jazirah arab, menggetarkan bangsa romawi yang gagah, menyentuh kota Andalusia yang mempesona.
Islam menunjukkan bahwa sebagai sebuah ideologi yang kokoh, Islam dapat memimpin. Tidak hanya dalam sekejap mata, tapi tercatat tidak kurang dari seribu tahun dan lebih dari seperempat wilayah dunia, yang hidup makmur di bawah kepemimpinan Islam.
Pemimpin, Kepemimpinan, dan Signifikasinya dalam Islam
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial politik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama bukanlah untuk berkecimpung didalam dunia sosial dan politik.
Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia sosial politik (publik). Sehingga peran ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, tidak untuk mengurusi kehidupan dunia sosial dan politik.
Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan atau alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia sosial dan politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama mestilah mengambil kepemimpinan yang ada. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual.
Menurut Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama, alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW,adalah ”Fuqaha adalah pemegang amanat rasul, selama mereka tidak masuk keduania”, kemudian seseorang bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab,” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.” (baca Imam Khomeini, “Sistem Pemerintahan Islam”, hal 90). Kedua, alasan Rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya guna turut menjaga akan nilai-nilai kebenaran sejati.
Lalu siapakah yang disebut dengan ulama ? Ulama berasal dari kata bahasa arab dan semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya adalah orang yang mengetahui atau orang pandai, berilmu. Seorang “pemimpin revolusi” bagi masyarakat Iran, yaitu Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk mengganti istilah ulama.
Islam dan Indonesia
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Islam. Islam telah melekat menjadi suatu hal yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan rakyat di Indonesia. Bahkan Pancasila sendiri merupakan suatu ideologi yang berusaha mempertemukan prinsip Islam dengan perjuangan persatuan Indonesia pada saat perumusannya.
Pada awalnya, terjadi perdebatan yang cukup sengit dikalangan founding fathers negeri ini mengenai “The Seven Words”, yakni sila pertama pancasila yang pada mulanya berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kini “Ketuhanan yang Maha Esa”) yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Perdebatan ini terjadi antara kalangan sekuler, islam fundamentalis dan mereka yang menganut paham substantif yang pada akhirnya disepakati “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama Pancasila. Jika ditilik lebih lanjut, sebenarnya disinilah justru letak kemenangan pihak islam dalam merumuskan dasar negara Indonesia. Islamlah agama yang justru mengajarkan untuk meng-Esakan Sang Khaliq, yakni Allah saja.
Dzat yang Maha Satu, tidak ada tandingan yang menyetarai-Nya. Islam yang mengajarkan untuk tidak menyembah selain pada-Nya, bahkan ini akan dinilai dosa besar yang tidak akan pernah diampuni selama tidak melakukan taubat nasuha. Dan bagaimanakah dengan agama lain?
Ada hal yang unik dari uraian Ulama besar tingkat dunia, DR. Yusuf Al Qhardawi saat melakukan kunjungannya di Indonesia, Beliau menyampaikan sebuah hipotesisnya bahwa kebangkitan Islam sebagai rahmat bagi semeta alam akan lahir dari Indonesia.
Cerminan Kepemimpinan Saat Ini
Dahulu, Rasulullah SAW pernah diberikan tiga tawaran oleh musuh-musuhya agar Beliau beralih ke pihak mereka. Tawaran yang pertama adalah harta yang melimpah yang kemudian tawaran ini Beliau tolak. Disusul dengan tawaran kedua yakni wanita yang cantik, ini tak sedikitpun menggetarkan keteguhan hati Beliau. Dan yang ketiga yang akan menjadi sorotan ialah tawaran untuk menjadi raja atau pemimpin kaum. Saat itu raja adalah seseorang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh.
Rasulullah SAW menyadari saat itu yang ada ialah sistem yang jahil, sehingga tidak ada gunanya menjadi pemimpin saat itu, kalaupun syariat islam diterapkan, maka sistem yang ada akan menolak, bukannya kemaslahatan yang akan didapat melainkan mudharat (baca “Fiqh Pergerakan” Sayyid Quthb). Sehingga Beliau memulai membangun dari dasar, membina para sahabat-sahabatnya, dari masa dakwah yang sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya terang-terangan dan melakukan ekspansi.
Kisah lain adalah Khalifah Umar bi Khatab. Ketika Beliau diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, pertama yang Beliau ucapkan adalah Istighfar dengan kelopak yang dipenuhi air mata, karena mengingat pemimpin adalah sebuah amanat besar yang mesti diemban. Pernah suatu malam Khalifah Umar bin Khaththab r.a. berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah.
Bersama seorang pembantunya, Umar hendak melihat keadaan rakyatnya. Mereka mendapati seorang wanita dan anak-anaknya yang masih kecil duduk mengitari periuk besar di atas tungku api. Anak-anak itu terlihat menangis. Umar lalu mendekat dan bertanya, “Apa yang sedang terjadi?”. “Kami sudah dua hari tidak makan. Kami kedinginan dan kelaparan,” jawab wanita itu. Ia tidak tahu kalau yang ada di hadapannya itu adalah Khalifah Umar. “Lalu apa yang ada di dalam periuk itu?”, tanya Umar. “Air, agar mereka diam dan tertidur”, jawab wanita itu. “Apa kau tidak memberi tahu pada Khalifah Umar?”. “Seharusnya dialah yang harus tahu keadaan kami. Dia punya kuda, juga ribuan pegawai dan tentara. Dia seharusnya tidak boleh tidur nyenyak di rumahnya, sementara ada rakyatnya seperti kami yang kedinginan dan kelaparan”, tegas wanita itu.
Hati Umar tergetar dan sangat pedih. Umar bergegas pergi mengajak pembantunya menuju ke gudang penyimpanan gandum. Umar mengambil sekarung gandum dan hendak memanggulnya. Sang pembantu mencegah, “Jangan, Tuan, biarlah saya saja yang memanggulnya.” Umar malah marah dan menghardik, “Apakah kamu juga akan memanggul dosaku di Hari Kiamat kelak!” Pembantu itu diam seribu bahasa. Ia lalu membantu Umar menaikkan sekarung gandum itu ke pundaknya. Umar juga menenteng beberapa liter minyak samin. Kemudian Umar berjalan tergesa menuju rumah wanita tadi, tidak peduli dengan beratnya beban dan dinginnya malam.
Bencana krisis kepemimpinan sedang melanda di negeri ini, yang ada sekarang pemimpin cenderung dijadikan sebagai jabatan prestise yang dicari banyak orang bahkan kecenderungan ini merambah ke kalangan artis. Jika dahulu Rasulullah ditawari menjadi seorang raja akan tetapi beliau tolak karena sistem yang ada saat itu adalah sistem jahil, maka Beliau membangun kepemimpinan mulai dari pondasi dasar.
Sekarang para pemimpin muncul dipermukaan hanya menjelang momentum pemilihan umum dan cenderung instan, banyak yang mengabaikan untuk membangun dari awal. Jabatan dijadikannya sebuah pekerjaan yang menghasilkan uang, jika modal yang dahulu dikeluarkan untuk menjadi pemimpin menghabiskan banyak uang, maka bukan menjadi hal yang mustahil lagi untuk mengembalikan modal saat periode jabatan. Sehingga yang mucul adalah korupsi merambah diberbagai penjuru negeri ini.
Menurut hasil survey dari lembaga Kemitran Partnership 2010 di 27 provinsi. Survei menyebutkan 78 persen responden mempersepsikan DPR sebagai lembaga terkorup, lembaga hukum 70 persen, dan pemerintah 32 persen (tempointeraktif.com, 21/2/11).
Jika dahulu Umar bin Khatab pernah menangis melihat Rasulullah tidur hanya beralaskan tikar hingga membekas dipunggung Beliau, maka bisa dilihat Wakil Rakyat dinegeri ini semakin menjadi-jadi untuk memanjakan dan memperkaya diri mereka sendiri.
Belakangan ini masyarakat dicengangkan dengan kebijakan wakil rakyatnya, untuk membangun satu ruang fisik anggota DPR saja memakan dana sekitar 800 juta (kompas.com, 29/3/11).
Lalu bagaimanakah pola kepemimpinan yang bisa dijadikan sebuah jawaban solusi ? Mengutip konsep Alm. Prof. Dr. Kuntowijoyo tentang kepemimpinan profetik yang berdasarkan pemahaman Al Qur’an surat Ali-Imran ayat 110, maka solusinya adalah kepemimpinan profetik, yakni kepemimpinan yang membawa misi humanisasi (menyeru kepada kebaikan), liberasi (mencegah dari yang mungkar), dan transendensi (mengimani Sang Pencipta Jagad Raya ini). Wallahualam bi shawab..
*) Mahasiswa Teknik Elektro UGM 2009, Koordinator Jaringan Khusus Media Opini FSLDIK UGM 1432 H, Tim Redaksi Jamaah Shalahuddin – Lembaga Dakwah Kampus UGM 1432 H, Peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda