By : Ben Anderson, Daniel S. Lev, Gerry Van Klinken, Jefrey Winters, Michaels
Vatikotis, LKis, Translator:
Farid Wahdiyono
Buku ini adalah sekumpulan
pengamatan para Indonesianis asing atas pergeseran kekuasaan di Indonesia.
Variasi pandangan yang dikemukakannya sangat menarik kalau kita lihat sebagai
perspektif kritis “orang luar”. Dibandingkan dengan pengamatan “orang dalam”, paling
tidak ada jarak emosional dan politis dalam pengamatan “orang luar”.
Hari-hari
Terakhir Seorang Despot
APAKAH orang-orang yang oleh Jenderal Soeharto tak
ingin diterima dan dijumpai lagi, setelah lengser, bisa dianggap
bagaikan Brutus bagi mantan Presiden kedua Republik Indonesia itu? Sejauh yang
bisa dicatat, Soeharto tak pernah terbuka mengatakan keengganannya terhadap
orang-orang yang masuk ‘daftar hitam’. Namun, ada orang-orang tertentu yang
memang tak lagi diterima kedatangannya seperti sediakala di Jalan Cendana. Dua
di antaranya adalah Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan Menteri Perumahan
Rakyat Akbar Tandjung, yang pada 20 Mei 1998 bersama duabelas menteri bidang
ekonomi lainnya mengajukan surat menyatakan tak bersedia ikut dalam kabinet
reformasi yang akan dibentuk Presiden Soeharto.
Jenderal Soeharto Setelah Mengundurkan Diri.
“Ketidaksetiaan, kalau hanya berasal dari seorang atau
dua orang menteri yang kurang kunci kedudukannya, mungkin tidak akan berakibat
fatal. Sedangkan semangat besar Soeharto bagi pertumbuhan ekonomi, yang data
statistiknya mengisi pidato-pidatonya, mungkin sekali menimbulkan kesakitan
yang dirasakannya, meningkat akibat ambruknya pembangunan kesayangannya serta
murtadnya mereka yang justru dipercayainya untuk memulihkan ekonomi itu”. (Foto
Daily Telegraph)
Dalam sudut pandang hitam-putih, di mata Soeharto,
sebelas menteri ini bagaikan awak kapal yang meloncat awal saat menduga kapal
akan karam, dan bukannya lebih dulu ikut mencoba menyelamatkan kapal. Bagi
Soeharto, pembelotan para menteri pada 20 Mei merupakan pukulan terakhir, atau
penutupan pintu terakhir. Pada malam hari itu juga setelah menerima laporan
tentang surat Ginandjar dan kawan-kawan itu dari Saadilah Mursjid, Soeharto
memutuskan untuk berhenti dan melaksanakan niat itu esok harinya, meski sempat
meminta Habibie ‘membujuk’ mereka.
Pukulan lain, sebelumnya diterima Soeharto dari
Harmoko –yang oleh Indonesianis William Liddle disebut sebagai “pembantu lama
dan setia dari Soeharto”– yang dalam tempo kurang dari tiga bulan telah
memainkan dua lakon berbeda. Pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR,
Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa
kepresidenan Soeharto sekali lagi, untuk periode 1998-2003. Presiden Soeharto
yang beberapa kali sebelumnya –sejak pidato miris sejak 10 tahun
sebelumnya di acara HUT Golkar 1987–melakukan ‘duga dalamnya air’ dengan
pernyataan-pernyataan seakan tak terlalu menghendaki lagi terus menerus dipilih
sebagai Presiden RI, ‘berhasil diyakinkan’ Harmoko bahwa rakyat masih
menghendaki kepemimpinan Sang Jenderal. Akan tetapi dalam suatu keterangan pers
di sore hari 18 Mei 1998 dari mulut Harmoko pula keluar kalimat “Pimpinan Dewan
baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan
bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”.
Pernyataan ini disambut gegap gempita oleh massa mahasiswa yang telah menduduki
halaman gedung MPR/DPR itu. Keberhasilan massa mahasiswa menduduki gedung
perwakilan rakyat itu, tak terlepas dari kesempatan yang diberikan Jenderal
Wiranto, Panglima ABRI kala itu. Peran Wiranto ini, menjadi suatu cerita
tersendiri lainnya.
Kesetiaan bagai selembar kertas tisu.
APAKAH kesetiaan Harmoko kepada Soeharto yang telah
mengangkat posisi dan karir politiknya ke tempat yang begitu tinggi, memang
hanya setipis dan serapuh selembar kertas tisu? Mungkin saja, tapi yang jelas,
Harmoko juga tertekan oleh situasi makin meningkatnya gerakan perlawanan yang
menuntut Presiden Soeharto turun tahta. Hanya beberapa hari sebelum pernyataan
pers itu, rumah keluarga Harmoko di Solo dibakar massa. Agaknya ini yang menambah
‘ketakutan’ Harmoko, sehingga balik badan ikut arus. Dalam percakapan politik
sehari-hari sebelumnya, Harmoko tergambarkan memiliki kesetiaan, atau tepatnya
kepatuhan berkadar tinggi kepada Soeharto sehingga bisa melakukan apapun untuk
sang pemimpin. Saat menjadi Menteri Penerangan beberapa periode ia melakukan
safari ke mana-mana untuk sang Bapak Pembangunan dan menjadi juru bicara yang
‘terbaik’ bagi sang pemimpin. Dan menciptakan kelompencapir segala macam
buat sang Presiden. Untuk itu, namanya sampai dijadikan akronim bagi “Hari-hari
Omong Kosong”. Sebuah pertanyaan dalam humor politik yang beredar berbunyi
“Kenapa rambut Harmoko belah miring?”, dan mendapat jawaban “Sesuai petunjuk
bapak Presiden”.
Harmoko sepanjang yang bisa diketahui, termasuk di
antara deretan orang yang tak lagi mau diterima dan ditemui Soeharto. Setelah
meninggalnya Soeharto, saat mantan Presiden itu menjelang kematian di Rumah
Sakit, Harmoko datang bersama santri pondok pesantren Al Barokah Nganjuk untuk
mendoakan. BJ Habibie dalam pada itu, saat datang menjenguk Soeharto di Rumah
Sakit tak diberi kesempatan oleh pihak keluarga untuk menemui Soeharto. Apa
salah BJ Habibie? Ketika Presiden Soeharto menyampaikan niatnya untuk lengser,
ia memaksudkan mundur satu paket bersama Wakil Presiden BJ Habibie. Namun, saat
Soeharto mengutarakan rencana ini ke BJ Habibie, ia ini dengan sigap menukas,
bahwa bila Presiden mengundurkan diri, menurut konstitusi, dengan sendirinya
Wakil Presiden naik menggantikan. Sejak itu Soeharto tak mau lagi menyapa
Habibie. Sewaktu berjalan ke ruangan Istana tempat akan menyampaikan
keputusannya mengundurkan diri, Soeharto melewati Habibie tanpa menoleh dan
menyapa sedikitpun. Habibie menceritakan kemudian, ia sangat sakit hati
diperlakukan seperti itu oleh Soeharto.
Tokoh lain yang tak pernah bisa menemui Soeharto lagi
sampai akhir hayatnya, adalah Ginandjar Kartasasmita. Mantan Wakil Presiden
Sudharmono berkali-kali mencoba mengusahakan mempertemukan Ginandjar dengan
Soeharto, tapi Soeharto tak pernah mengabulkan. Ini berbeda dengan Akbar
Tandjung, yang pada salah satu Idul Fitri bisa dipertemukan oleh Sudharmono
untuk bersilaturahmi dengan Soeharto. Agaknya, Soeharto masih memberi kategori
berbeda di antara keduanya. Akbar Tandjung tidak pernah menjadi lingkaran
dalam, sementara Ginandjar sempat menjadi salah satu di antara golden boys
dan masuk lingkaran dalam, sehingga lebih tak terampunkan pembelotannya.
Secara manusiawi, perlu juga dipahami bahwa apa yang dilakukan
Harmoko atau Ginandjar Kartasasmita yang dengan cepat ikut arus bah anti
Soeharto, buru-buru melompat dari kapal yang akan karam, tak lain adalah bagian
dari survival of the fittest di arena politik dan kekuasaan. Juga,
sambil menyelam minum air, dalam artian menyelamatkan diri sambil memesan
tempat dalam barisan reformasi. Tidak peduli akan digolongkan kaum Brutus atau
sebaliknya sekedar sebagai batu pijakan reformasi atau syukur-syukur ikut
dianggap jadi pahlawan bagi era reformasi. Inilah yang disebut seni akrobat
politik. Mereka yang kurang gesit, dan mungkin agak gugup dan rada ‘bodoh’ atau
kurang pintar, cenderung memilih tiarap di sudut netral. Sementara itu, mereka
yang ditendang keluar dari rezim Soeharto sebelumnya, entah karena korupsi di
luar sistem dan konvensi, entah melakukan kesalahan fatal lainnya, menggunakan
kesempatan untuk bersih diri dengan mengidealisir diri sebagai tokoh yang
ditendang karena melawan Soeharto.
Terlepas dari ada maaf atau tidak, Ginandjar
Kartasasmita sempat berjaya dalam melanjutkan karir politik maupun karirnya
dalam kekuasaan. Ini ada lika-liku ceritanya. Dalam penuturan Donald K.
Emerson, yang sekali lagi dipinjam di sini, sehari setelah Ginandjar dan Akbar
Tandjung memimpin para menteri bidang ekonomi menulis surat menolak untuk ikut
lagi dalam kabinet Soeharto yang akan dibentuk, Soeharto meminta Habibie
membujuk mereka mengubah niat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Habibie
menggunakan kesempatan itu untuk meminta para menteri bidang ekonomi supaya mendukung
dirinya seandainya Presiden nanti berhenti dan diganti Habibie. “Ginandjar dan
Akbar diberi imbalan dua hari kemudian ketika Habibie yang sudah menjadi
presiden, mengangkat mereka dalam kabinetnya yang pertama”. Ginandjar dalam
kedudukan yang sama yang dipegangnya sebelumnya, Akbar sebagai Menteri
Sekertaris Negara. “Ketidaksetiaan, kalau hanya berasal dari seorang atau dua
orang menteri yang kurang kunci kedudukannya, mungkin tidak akan berakibat
fatal. Sedangkan semangat besar Soeharto bagi pertumbuhan ekonomi, yang data
statistiknya mengisi pidato-pidatonya, mungkin sekali menimbulkan kesakitan
yang dirasakannya, meningkat akibat ambruknya pembangunan kesayangannya serta
murtadnya mereka yang justru dipercayainya untuk memulihkan ekonomi itu”.
Apapun soalnya, setelah itu karir politik Ginandjar
dan Akbar terus melesat. Akbar kemudian berhasil menjadi Ketua Umum Golkar yang
secara retoris selalu dinyatakan sebagai Golkar Baru. Ginandjar Kartasasmita
bersama tokoh HAM Marzuki Darusman mendampingi kepemimpinan Akbar dalam Golkar
Baru (Partai Golkar). Ketua Umum DPP Golkar 1982-1987, Sudharmono SH, menyebut
mereka bertiga sebagai triumvirat tumpuan harapan baru menyelamatkan
Golkar. Maka, ketika Marzuki Darusman SH dalam kedudukan Jaksa Agung RI menyeret
dan menangkap Ginandjar Kartasasmita dengan tuduhan korupsi di masa Soeharto,
Sudharmono menjadi orang yang paling kecewa. Ia mencoba melunakkan Marzuki
Darusman yang tetap bersikeras, melalui seorang yang adalah kenalan
kedua-duanya. Akhirnya Ginandjar lolos melalui upaya berbagai pihak, termasuk
unsur tentara, dimulai dengan memenangkan pra-peradilan di PN Jakarta Selatan
yang dikenal kemudian sebagai salah satu kuburan kasus-kasus korupsi.
Belakangan, Marzuki Darusman lah yang justru terhenti dari posisi Jaksa Agung,
yang tak terlepas dari konspirasi gabungan kekuatan korup lama dan baru yang
berhasil memelihara eksistensi dalam era reformasi.
Ikhwal Sang Pengganti dan Masa Depan Indonesia
Pemerintahan Soeharto
Pada
masa pemerintahan Soeharto lebih condong ke paradigma Weberian, hal ini dapat
dilihat dari orang-orang yang duduk di pemerintahan berdasarkan hubungan
impersonal. Misalkan badan perwakilan yang hanya berfungsi sebagai organ
‘bawahan’, berisikan orang-orang yang ditunjuk presiden termasuk sejumlah
pejabat tinggi militer. Badan-badan perwakilan ini tidak banyak berperan dalam
pemerintahan sehari-harinya, dan jarang sekali menggunakan kekuasaan
legislatifnya. MPR yang telah menunjuk Suharto dalam 7 masa jabatan, terdiri
dari 500 anggota DPR, hanya 400 dari mereka yang dipilih, dan 500 lainnya
ditunjuk.
Administrator
bertindak sebagai penguasa. Pada masa Soeharto hanya tiga partai yakni Golongan
Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang secara resmi diperbolehkan untuk mengajukan kandidat.
Aparat negara memeriksa dengan cermat semua kandidat, materi pemilu dari
parpol, termasuk pidato, rapat akbar, dll. Golkar dipastikan sebagai mayoritas
dengan 70 s.d. 80 persen suara, karena itu merupakan satu-satunya partai yang
diperbolehan melakukan pengorganisasian di daerah pedesaan. Sebagai tambahan,
jutaan pegawai negeri termasuk keluarga militer harus bergabung dan memilih
Golkar.
Sepak
terjang pemerintahan Soeharto merupakan contoh klasik dalam sejarah legislasi
kita yang penuh dengan sandiwara demokrasi, dengan kebanyakan kita, kelas
menengah Indonesia, menjadi penonton pasif yang depresif, sekaligus penikmat
manfaat yang timbul dari sistim yang koruptif dan meninabobokan. Pejabat pada pemerintahan
Soeharto atau Soeharto sendiri juga tak konsisten, terjebak dalam pola yang
sama, yakni turut membangun imperium bisnis. Hampir seluruh keluarga dari para
menteri di era Soeharto mempunyai imperium bisnis.
Pemerintahan Habibie
Pada
masa pemerintahan Habibie lebih condong ke paradigma Weberian, hal ini dapat
dilihat dari aturan yang dikeluarkan oleh Habibie sangat tegas, yaitu hak
politik bagi pegawai negeri sipil tidak ditentukan oleh undang-undang, tapi
oleh keputusan yang dikeluarkan Habibie. Pada waktu yang lalu, pegawai negeri
harus bergabung Golkar. Kini, mereka tidak diperbolehkan untuk bergabung atau
berpartisipasi dalam parpol apapun. Mereka yang telah menjadi anggota partai
memiliki dua pilihan : mengundurkan diri dari pekerjaan (sebagai pegawai
negeri) atau mengakhiri keanggotaan partainya. Habibie bertekad bahwa bila ia
tidak bisa membuat 4 juta pegawai negeri menjadi anggota Golkar, maka mereka
tidak akan menjadi anggota partai yang manapun.
Administrator
bertindak sebagai penguasa. Rejim Habibie menggunakan polisi dan tentara untuk
menghadapi aksi protes tersebut, aparat keamanan tersebut melontarkan
tembakan-tembakan dari jarak sangat dekat ke kerumunan massa, sehingga
menewaskan dan melukai para demonstran.
Berbicara
tentang kebebasan pers Indonesia di pemerintahan Habibie nyaris tidak
menunjukkan perbedaan aktual. Aktualisasi dan fluktuasi kebebasan pers pada
ketiga era pemerintahan terakhir dimaksud, lebih ditentukan perkembangan
kepentingan pemerintahan (nasional atau daerah), ketimbang kepentingan insan
pers dan masyarakat.
Tatapan
Indonesianis
Kepergiannya mendapat perhatian luas media massa
Indonesia dan dunia, tidak terkecuali Australia. Kenyataan ini menandakan
betapa mantan presiden yang akrab disapa Pak Harto ini dipandang sebagai sosok
yang berpengaruh. Porsi pemberitaan tentang Soeharto yang besar dari berbagai
media massa utama Australia itu sudah terasa sejak ia dirawat di RSPP 4 Januari
lalu.
Bagi Australian Broadcasting Corporation (ABC)
misalnya, pemberitaan tentang wafatnya Soeharto dilakukan secara cukup
berimbang. Di dalam berita awalnya tidak lagi dibumbui dengan atribusi
"mantan diktator" untuk menyebut Pak Harto. Sebaliknya, ABC menyebut
dirinya sebagai sosok pemimpin yang berasal dari keluarga petani miskin yang
mengambil alih kepemimpinan angkatan darat tahun 1965 di tengah bergejolaknya
gerakan antikomunis. Di dalam negeri Indonesia, ia tetap dihormati sebagai
"Bapak Pembangunan Indonesia", walaupun di luar negeri ia dianggap
salah seorang kleptokrat terburuk abad 20. Kilas balik kepemimpinan Soeharto
juga digambarkan secara proporsional oleh Stasiun TV Saluran Tujuh dalam
buletin berita Minggu petang.
Dalam sejarah hubungan bilateral Indonesia dan
Australia yang sering mengalami pasang surut, era pemerintahan mantan perdana
menteri Paul Keating (1991-1996) kerap dianggap sebagai masa keemasan dalam
hubungan kedua negara berkat kedekatan pribadi Keating dengan Pak Harto.
Bahkan, Keating menempatkan Indonesia secara khusus dalam kebijakan luar negeri
Australia sebagaimana ia sampaikan sendiri dalam sebuah pertemuan di Sydney
tahun 1994. Dalam pertemuan tersebut, Keating menegaskan bahwa "tidak ada
satu negara pun yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia. Jika kami
gagal menempatkan hubungan ini pada jalur yang benar, memelihara dan
mengembangkannya, maka seluruh jejaring hubungan luar negeri kami tidaklah
lengkap". Keating setidaknya enam kali mengunjungi Indonesia dalam masa
pemerintahannya. Sebelum adanya Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia yang
juga dikenal dengan Perjanjian Lombok tahun 2006, Keating dan Pak Harto justru
sudah mewujudkan perjanjian keamanan tahun 2005. Hanya saja, perjanjian
tersebut kemudian dibatalkan Indonesia secara sepihak pada 1999 sebagai respons
atas keterlibatan Australia di era pemerintahan John Howard dalam proses
pemisahan Timor Timur dari Indonesia.
Warisan Soeharto Di mata Indonesianis Universitas
Nasional Australia (ANU), Dr. Hal Hill, Australia menikmati keberuntungan yang
besar sekali dari kawasan Asia Tenggara yang semakin lama semakin makmur dan
stabil dan kondisi regional yang baik ini merupakan warisan Pak Harto.
"Australia beruntung besar sekali gara-gara pengaruh Soeharto. Karena
pengaruh Soeharto, kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) semakin
lama semakin makmur dan stabil. Ini adalah warisan Soeharto," katanya
kepada penulis 15 Januari lalu. Pakar ekonomi Indonesia di Sekolah Riset
Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) Universitas Nasional Australia (ANU) itu
mengatakan, kawasan ASEAN yang lebih stabil itu telah memunculkan negara-negara
tetangga Australia yang lebih makmur. "Australia sangat beruntung ada
tetangga-tetangga yang lebih makmur, walaupun terkadang ada masalah dalam
hubungan bilateral Indonesia-Australia selama masa 32 tahun pemerintahan Orde
Baru. Masalah itu `unavoidable` (tak terhindarkan)," katanya. Masalah
perbedaan di antara kedua negara dan bangsa bertetangga ini bukanlah merupakan
"kesalahan Soeharto" selaku presiden saat itu, karena Australia dan
Indonesia sejak awal memiliki perbedaan sosial, budaya, ekonomi dan sistem
politik, katanya. "Jadi saya kira bukan tanggung jawab Soeharto sendiri.
Tapi `big picture`(gambaran besar)-nya, Australia sangat beruntung. Pak Harto
terakhir ke Australia pada 1975, namun setelah 1975 dia tidak lagi pernah ke
Australia," kata Hal Hill. Peneliti senior masalah ekonomi Indonesia dan
Asia Tenggara dan merupakan pengasuh Buletin Studi Ekonomi Indonesia (BIES) itu
menduga keengganan Soeharto untuk kembali mengunjungi Australia adalah karena
ingin menghindari protes atau demonstrasi saja. Kalaupun ada yang berpandangan
bahwa penguasa Orde Baru itu merupakan sosok pemimpin yang feodal, ia sangat
berbeda dengan sosok raja-raja Jawa dulu. "Perbedaan antara Soeharto
dengan raja-raja Jawa dulu adalah dalam soal pembangunan negeri yang cepat
sekali.
Di era feodal dulu (sebelum Soeharto-red), rakyat
tidak maju tapi di era Soeharto, rakyat maju kecuali aktivis kiri banyak yang
ditangkap tapi rakyat maju di bawah Soeharto," kata Hal Hill. Seandainya
dia mau turun dari tampuk kekuasaan tahun 1990, sudah pasti dia akan terus
dikenang rakyat Indonesia sebagai "pahlawan pembangunan", katanya.
Bagi orang Australia seperti dirinya, yang juga menarik dari masalah Soeharto
setelah ia dipaksa lengser dari kekuasaannya adalah dia tidak lari ke luar
negeri seperti para pemimpin otoriter negara-negara lain, seperti Ferdinand
Marcos (Filipina) atau Mobutu (Kongo), kata Hal Hill. "Untuk Indonesia,
itu (fenomena Marcos dan Mobutu-red) tidak terjadi dan Soeharto tetap tinggal
di Indonesia tanpa gangguan. Ini menarik dan ini berangkali merupakan bagian
dari kekuatan masyarakat Indonesia walaupun selama masa pemerintahannya ada
juga masalah pelanggaran hak azasi manusia," katanya.
Akademisi Australia yang sudah menulis dan mengedit
12 buah buku dan menulis 110 karya tulis akademis dan bab buku ini berpendapat
Soeharto yang sebenarnya hidupnya justru cukup sederhana harus jatuh akibat
ulah anak-anaknya. "Saya kira Pak Harto dijatuhkan oleh anak-anaknya sendiri.
Sayang sekali dia gagal mengontrol kemauan anak-anaknya," kata penulis
buku "Indonesia`s Industrial Transformation" (1997) itu.
Dalam pandangan Hal Hill, sejarah perjalanan karir
politik Soeharto sangat menarik karena pada tahun 1950-an, menurut ahli sejarah,
hampir tidak ada orang yang berpikir bahwa Soeharto akan menjadi presiden kedua
RI menggantikan Soekarno. Bagi rakyat Indonesia yang mementingkan kecukupan
pangan (perut) dan kesempatan kerja, penilaian mereka tentang Soeharto bisa
jadi lebih positif dibandingkan penilaian kelompok kelas menengah Indonesia
yang dulu menuntut kebebasan politik, katanya. Soeharto dapat dikatakan
menghasilkan apa yang disebut dengan "divided legacy", yakni
pembangunan ekonomi yang luar biasa, namun dengan kehidupan politik yang kurang
bagus. Pendapat Hal Hill tentang Soeharto terutama bagaimana kondisi hubungan
Indonesia-Australia selama 32 tahun masa pemerintahannya sejalan dengan
pandangan Indonesianis ANU lainnya, Greg Fealy. Lebih banyak positif Menurut
Greg Fealy yang dihubungi secara terpisah, lebih banyak hal-hal positif
daripada negatif dalam hubungan kedua negara selama masa Orde Baru. Terlepas
dari tetap adanya ketegangan terkait dengan isu Timor Timur dan laporan media
massa Australia tentang Soeharto, semua pemerintahan Australia tetap melihat
Soeharto sebagai sosok pemimpin Indonesia yang "terlalu Western
(Barat)". Soeharto juga dipandang Canberra sebagai sosok yang antikomunis,
berjasa menstabilisasi Indonesia, dan pro-Barat. "Dari segi itu, saya kira
mereka (Australia) sangat bersyukur bahwa Soeharto menjadi presiden
Indonesia," kata Indonesianis yang merampungkan pendidikan doktoralnya di
Universitas Monash dengan disertasi tentang studi partai Islam tradisionalis
Nahdlatul Ulama (NU) itu.
Pendapat kedua Indonesianis papan atas Australia itu
tentang Pak Harto yang mewarisi banyak hal baik bagi Indonesia maupun kawasan
dan negara-negara di sekitarnya, termasuk Australia, diakui Perdana Menteri
Kevin Rudd. Dalam penyampaian ucapan belasungkawanya atas nama rakyat Australia
untuk rakyat Indonesia, PM Rudd menyebut mantan pemimpin yang lahir di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921, ini sebagai "kepala negara
terlama" Abad 20 dan tokoh berpengaruh di kawasan Asia Pasifik dan dunia.
Pak Harto disebutnya sebagai pemimpin yang berhasil mewujudkan pertumbuhan
ekonomi dan modernisasi di masa ketika Indonesia menghadapi berbagai tantangan
politik, sosial dan ekonomi sampai tiba krisis ekonomi Asia tahun 1997. Di
tingkat Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara dan Forum Kerja Sama Ekonomi Asia
Pasifik (APEC), Soeharto juga merupakan tokoh berpengaruh yang berhasil
memajukan organisasi regional dan forum kerja sama ekonomi itu.
Dalam hubungan bilateral, PM Rudd menyebut Indonesia
sebagai "teman dekat" dan "tetangga" Australia dimana kedua
negara memiliki kepentingan politik dan keamanan vital yang sama. Alexander
Downer, mantan menteri luar negeri Australia, juga berpandangan yang sama.
Tanpa menafikan catatan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) semasa pemerintahan
Orde Baru, Downer seperti dikutip AAP melihat Pak Harto sebagai pemimpin yang
memahami posisi penting Australia bagi Indonesia. Dalam kaitan ini, Soeharto
berkomitmen menjaga hubungan yang baik bagi kedua negara. Mantan presiden RI
itu pun merupakan sosok yang bervisi yang sangat baik dalam membangun komunitas
Asia Tenggara yang kuat dan berpandangan positif tentang Australia, kata
Downer. Komitmennya yang kuat dalam membangun hubungan Indonesia-Australia yang
setara, serta sumbangsihnya yang besar dalam ikut mewujudkan Asia Tenggara yang
damai, stabil, dan berprospek baik secara ekonomi merupakan "warisan"
Pak Harto yang tak kan pernah mati dalam memori orang-orang Australia yang
jujur dalam menilai sosok presiden kedua RI ini.