Lima Pemikiran untuk Masa Depan
Terdapat lima
pikiran untuk masa depan sebagaimana ditulis oleh Gardner adalah:
1. Pikiran Disiplin;
2. Pikiran sintesa;
3. Pikiran Menciptakan;
4. Pikiran Hormat, dan
5. Pikiran Etis.
Gardner merasa
bahwa lima pikiran tersebut sangat penting di masa depan. Pendidikan adalah
kunci untuk mengembangkan lima pikiran untuk masa depan, dan sementara orang
tua, teman sebaya dan media juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi dan
mengembangkan pikiran di masa depan. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa
dalam dunia yang semakin cepat berubah, tidak ada individu atau organisasi yang
santai dalam mengasah intelektualnya. Masa depan adalah milik mereka yang telah
membuat komitmen seumur hidup untuk terus belajar. Gardner percaya bahwa di
tempat kerja kita harus mencari orang yang memiliki disiplin, sintesis,
menciptakan, pikiran hormat dan etika, tetapi semua harus terus terus-menerus dikembangkan
oleh diri kita sendiri dalam kehidupan bermasyarakat.
Lima pola pikir ini sejatinya digagas
oleh Howard Gardner melalui salah satu bukunya yang memikat bertajuk Five
Minds for the Future.
Gardner sendiri merupakan pakar psikologi yang dikenal luas karena dia juga
orang yang pertama kali memperkenalkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Melalui
serangkaian riset yang ekstensif, Gardner menyimpulkan adanya lima jenis pola
pikir yang akan memiliki peran makin penting dalam perjalanan sejarah masa
depan.
Pola pikir yang pertama adalah the disciplined
mind (pikiran terdisiplin) atau suatu perilaku kognisi yang
mencirikan disiplin ilmu, ketrampilan, atau profesi tertentu. Seorang praktisi
yang menekuni dunia bisnis dan manajemen misalnya, setidaknya mesti menguasai
ilmu dan ketrampilan yang solid dalam bidang tersebut. Demikian pula, semua profesional
lainnya – entah arsitek, ahli komputer, perancang grafis – harus menguasai
jenis-jenis pengetahuan dan ketrampilan kunci yang membuat mereka layak menjadi
bagian dari profesi mereka masing-masing. Esensi dari pola pikir yang pertama
ini adalah : untuk benar-benar menjadi manusia yang profesional, kita mestinya
menguasai secara tuntas, komprehensif, mendalam dan terdisiplin satu bidang
pengetahuan/ketrampilan tertentu.
Pola pikir yang kedua adalah :
the
synthesizing mind (pikiran mensintesa). Atau
juga pola untuk menyerap
informasi dari beragam sumber, memahami, mensintesakannya, dan lalu meraciknya
menjadi satu pengetahuan baru yang powerfull.
Kecakapan dalam melakukan sintesa ini tampaknya menjadi kian penting terutama
ketika banjir informasi kian deras mengalir melalui beragam media : televisi,
media cetak, dan dunia online. Dan
sialnya, bongkahan informasi yang deras mengalir itu acap kali dipenuhi dengan informasi
sampah (junk information).
Pola pikir yang ketiga adalah the creating mind (pikiran mencipta). Pikiran
ini mengharuskan
kita untuk senantiasa merekahkan ide-ide baru, membentangkan
pertanyaan-pertanyaan tak terduga, menghamparkan cara-cara berpikir baru, dan
sekaligus memunculkan unexpected answers.
Pola pikir inilah yang akan membawa kita masuk dalam wilayah-wilayah baru yang
menjanjikan harapan dan peluang untuk direngkuh dan dimanfaatkan. Pola pikir
inilah yang akan membuat kita mampu berpikir secara lateral (out of the box) dan bukan sekedar
berpikir linear mengikuti jalur konvensional yang acap hanya akan membuat kita
stagnan. Dan pola pikir inilah yang akan menemani kita untuk bergerak maju,
progresif, demi terciptanya sejarah hidup yang positif dan bermakna (meaningful
life).
Pola pikir berikutnya adalah the respectful mind (pikiran merespek). Atau
sebuah pola pikir untuk menghargai perbedaan pandangan dengan sukacita, dan bukan dengan
sikap saling curiga. Sebuah pola pikir yang akan membuat kita terhindar dari
anarki akibat pemaksaan kepentingan. Sebuah pola pikir yang senantiasa mengajak
kita untuk merayakan keragaman pandangan dan sekaligus menghadirkan empati nan
teduh bagi pendapat/pikiran orang lain – meski pendapat itu mungkin berbeda
dengan yang kita hadirkan.
Pola pikir yang kelima yang
juga amat dibutuhkan adalah the ethical
mind
(pikiran etis). Inilah pola pikir yang terus membujuk kita untuk berikhtiar
membangun kemuliaan dan keluhuran dalam kehidupan personal dan profesional
kita. Pikiran Etis dapat menggabungkan peran di tempat kerja dan sebagai warga
negara dan bertindak secara konsisten dengan orang. Kita semua harus berkomitmen untuk mewujudkan orientasi etika
dalam pekerjaan. Hal ini secara etis juga harus mencakup peran sipil dimana
setiap dari kita harus memiliki komitmen untuk secara pribadi bekerja menuju terwujudnya
masyarakat yang berbudi luhur yang dapat dibanggakan. Sebuah orientasi etis dimulai
di rumah di mana anak-anak mengamati orang tua mereka pada pekerjaan mereka dan
bermain dan dalam tanggung jawab. Dalam masyarakat kontemporer, juga menganggap
penting dari usia dini, dan kualitas dari rekan-rekan seseorang membuktikan
sangat penting selama masa remaja dalam pengembangan pelatihan etika. Tidak ada etika yang
benar-benar universal di semua budaya dan era, namun seorang pekerja yang baik
umumnya memiliki seperangkat prinsip dan nilai-nilai yang mereka dapat nyatakan
secara eksplisit bahwa mereka hidup. Prinsip-prinsip ini konsisten dengan satu
sama lain dan disimpan dalam pikiran terus-menerus. Mereka
bersikap transparan
dan tidak akan menyembunyikan apa yang mereka lakukan. Pekerja Etis juga tidak
munafik, tetapi mematuhi prinsip-prinsip yang membimbing mereka bahkan ketika
mereka pergi melawan kepentingan pribadi mereka. Bicara etis sering tampak
untuk melawan kekuatan-kekuatan ekonomi dari kepentingan yang membentuk bagian
penting dari masyarakat modern kita. Pasar bisa jadi kejam dan keras. Jonathan
Sacks mengatakan bahwa "Ketika segala sesuatu yang penting dapat dibeli
dan dijual, ketika komitmen dapat rusak karena mereka tidak lagi untuk keuntungan
kita, saat berbelanja menjadi keselamatan dan slogan iklan menjadi panduan kita, ketika nilai kita diukur
oleh berapa banyak yang kita pengaruhi,
maka pasar menghancurkan nilai-nilai yang sangat luhur di mana dalam jangka panjang akan hancur. Setiap profesional harus
dilatih dalam pikiran etika untuk kebaikan individu dan masyarakat secara
keseluruhan
Menurut asumsi
Gardner percaya
bahwa untuk
melakukan praktek-praktek pendidikan yang baru dibutuhkan waktu. Ia percaya bahwa praktek saat ini tidak
bekerja dan bahwa kita tidak mendidik orang muda yang mampu berteori ilmiah, toleran
terhadap imigran atau terampil dalam resolusi konflik. Kedua, ia merasa bahwa
kondisi di dunia telah berubah dan terus berubah begitu signifikan bahwa
tujuan-tujuan tertentu, kapasitas dan praktek mungkin tidak lagi bermanfaat,
tetapi sebenarnya kontraproduktif. Kita hidup pada saat perubahan besar.
Sebagian besar perubahan ini memerlukan kekuatan ilmu dan teknologi dan
globalisasi. Maka dari itu pendidik perlu memutuskan ciri-ciri apa yang ingin mereka
kembangkan pada
anak-anak sebelum mengembangkan suatu sistem pendidikan.
Menurut
Gardner Globalisasi
memiliki empat trend
yang
belum pernah
terjadi sebelumnya:
1. Pergerakan modal dan instrumen
pasar lainnya di seluruh dunia, dengan jumlah besar yang beredar dalam sekejap setiap hari.
2. Gerakan manusia lintas batas,
dengan lebih dari 100-juta imigran tersebar di seluruh dunia setiap saat.
3. Gerakan dari semua masalah
informasi melalui dunia maya, dengan megabyte
informasi berbagai derajat kehandalan yang tersedia untuk siapapun dengan akses
ke komputer.
4. Gerakan budaya populer -
seperti makanan, pakaian, gaya, dan musik - mudah melintasi perbatasan
sehingga remaja di seluruh dunia tampak semakin serupa, bahkan sebagai selera,
keyakinan dan nilai-nilai orang tua mereka juga mungkin saling bertemu.
Gardner percaya bahwa
pendidikan formal saat ini masih mempersiapkan para siswa terutama untuk dunia
masa lalu, bukan untuk kemungkinan dunia masa depan. Gardner mengakui pentingnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengajarkan cara berpikir ilmiah,
apalagi bagaimana mengembangkan kapasitas individu dengan mensintesis dan
kreatif, penting
untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terus-menerus. Gardner juga
mengakui faktor
globalisasi, tetapi belum tahu bagaimana mempersiapkan anak-anak sehingga
mereka dapat bertahan hidup dan berkembang dalam dunia yang berbeda dari apa
yang kita bisa bayangkan.
Demikianlah, lima pola pikir
yang barangkali mesti selalu kita injeksikan dalam segenap ranah kognisi kita.
Sebab dengan itulah, kita bisa menyimpan sepenggal asa untuk membentangkan masa
depan yang indah nan tercerahkan.
Sebagai kesimpulan, mengenai
perkembangan lima
pikiran dalam kehidupan, menurut Gardner orang tua anak dan guru harus fokus pertama pada
menanamkan pikiran hormat, selanjutnya pikiran disiplin, diikuti oleh pikiran sintesis dan
akhirnya, di sekolah menengah, penekanan pada etika. Kreativitas berbarengan dengan pemikiran disiplin.
Dengan tidak adanya disiplin, tidak mungkin akan benar-benar kreatif dan tidak
adanya kreativitas, disiplin hanya dapat digunakan untuk pergi ke status quo. Sementara setiap orang mungkin
memiliki kekuatan dalam satu atau lebih wilayah, kita semua harus berusaha
untuk mengembangkan keseimbangan dari semua lima pikiran. Apapun kepentingan
mereka di masa lalu, kelima pikiran cenderung menjadi sangat penting dalam
dunia yang ditandai oleh hegemoni ilmu pengetahuan dan teknologi, transmisi
informasi global, penanganan tugas-tugas rutin oleh komputer dan meningkatkan
kontak antara populasi beragam. Hanya mereka
yang berhasil dalam mengembangkan lima pikiran yang paling mungkin untuk berhasil dalam
hidup.
ANALISIS FILOSOFIS ATAS
BUKU “FIVE MINDS FOR THE FUTURE” KARYA HOWARD
GARDNER
Howard Gardner dalam bukunya yang
bertajuk Five
Minds for the Future menyimpulkan adanya lima jenis
pola pikir yang akan memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah masa
depan. Lima pola pikir tersebut adalah:
I. THE
DISCIPLINE MIND – Kerangka Dasar
atau Kerangka Utama Kecerdasan/ Pemikiran
Pola pikir yang pertama adalah the disciplined mind
(pikiran terdisiplin) atau suatu perilaku kognisi yang mencirikan disiplin
ilmu, ketrampilan, atau profesi tertentu. Seseorang harus memiliki paling tidak
satu disiplin ilmu atau kerangka berpikir yang sangat dikuasai untuk memecahkan
masalah di segala hal. Discipline Mind juga
berarti seseorang harus selalu melatih keahliannya tersebut untuk meningkatkan
performansinya.
Pola pikir disciplined mind sesungguhnya sudah terlebih dahulu menjadi sorotan
dan titik pijak dalam filsafat sepanjang masa, sejak filsafat kuno hingga
filsafat modern dan post modern. Sebagaimana ciri khas filsafat adalah
membangun pemikiran secara kritis-analitis, sistematis, totalitas dan
komprehensif – yang merupakan ciri khas disciplined
mind – demikian pun filsafat mendorong setiap ilmu apapun untuk memiliki
ciri khas yang demikian. Ciri ini pun pada tataran selanjutnya harus dimiliki
oleh setiap orang yang menggeluti ilmu tertentu. Menurut filsuf Karl Pearson,
pikiran adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang
fakta pengalaman dan diungkapkan dengan istilah sederhana. Setiap orang yang
menekuni disiplin ilmu tertentu harus mampu menguasai secara komprehensif dan
selanjutnya diungkapkan secara tepat dalam praksis hidup.
Seorang praktisi yang menekuni dunia
bisnis dan manajemen misalnya, setidaknya mesti menguasai ilmu dan ketrampilan
yang solid dalam bidang tersebut. Demikian pula, semua profesional lainnya –
entah arsitek, ahli komputer, perancang grafis – harus menguasai jenis-jenis
pengetahuan dan ketrampilan kunci yang membuat mereka layak menjadi bagian dari
profesi mereka masing-masing. Keahlian itu sendiri tidak bisa dicapai dalam
waktu singkat, butuh waktu. Namun seiring peningkatan dan penambahan area
keahlian seseorang maka pemecahan masalah pun bisa lebih terarah dan lebih
mudah jika menerapkan discipline mind
tersebut karena dilandasi oleh kerangka berpikir yang tepat dan keahlian yang
mumpuni.
Esensi dari pola pikir yang pertama
ini adalah : untuk benar-benar menjadi manusia yang profesional, kita
seharusnya menguasai secara tuntas, komprehensif, mendalam dan terdisiplin satu
bidang pengetahuan/ketrampilan tertentu.
II.
THE SYNTHESIZING MIND – Mensinergikan Ide dan Pemikiran dari Disiplin Ilmu Yang Berbeda
Pola pikir yang kedua adalah : the
synthesizing
mind (pikiran mensintesa) atau juga pola untuk menyerap
informasi dari beragam sumber, memahami, mensintesakannya, dan lalu meraciknya
menjadi satu pengetahuan baru yang powerfull.
Pola pikir ini juga merupakan salah
satu ciri khas filsafat. Filsafat selalu menekankan kemampuan pikiran untuk
mensintesiskan pengetahuan. Filsuf Immanuel
Kant dalam karya utamanya yang terkenal terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik
der reinen vernunft (Ing. Critique of Pure Reason), memberi arah baru mengenai
pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan
yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah
ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman.
Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan
apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai
benda itu sendiri.
Seseorang harus mampu menggabungkan
berbagai pola pemikiran dan disiplin ilmu agar dapat mengumpulkan informasi dan
pengetahuan seluasnya dari berbagai macam sumber serta melahirkan berbagai
macam ide dan ilmu pengetahuan baru yang bermanfaat. Oleh karenanya seseorang
dituntut untuk dapat mensinergikan berbagai macam disiplin ilmu, pengetahuan,
serta kerangka berpikir. Kemampuan untuk mensinergikan tersebut sangatlah vital
untuk masa sekarang dan masa depan karena merupakan keahlian dasar yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin yang inovatif.
III. THE CREATING MIND – Membuka
Tabir dan Memecahkan Masalah Melalui Kreativitas dan Ide Inovatif
Pola pikir yang ketiga adalah the creating
mind (pikiran mencipta). Pikiran ini mengharuskan kita
untuk senantiasa merekahkan ide-ide baru, membentangkan pertanyaan-pertanyaan
tak terduga, menghamparkan cara-cara berpikir baru, dan sekaligus memunculkan unexpected answers. Pola pikir inilah
yang akan membawa kita masuk dalam wilayah-wilayah baru yang menjanjikan
harapan dan peluang untuk direngkuh dan dimanfaatkan. Pola pikir inilah yang
akan membuat kita mampu berpikir secara lateral
dan bukan sekedar berpikir linear mengikuti jalur konvensional yang acap
hanya akan membuat kita stagnan. Dan pola pikir inilah yang akan menemani kita
untuk bergerak maju, progresif, demi terciptanya sejarah hidup yang positif dan
bermakna (meaningful life).
Dalam filsafat, pola pikir kreatif
merupakan hal penting yang menuntut setiap orang untuk melihat ilmu atau pun
pandangan apa saja sebagai sesuatu yang selalu terbuka untuk disempurnakan.
Kreativitas dalam berpikir mendorong setiap orang untuk selalu mencoba,
menguji, dan mencari jawaban yang paling sempurna tentang sesuatu.
Radhakrishnan dalam bukunya, History of
Philosophy, menyebutkan tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan
semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat
adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan
menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan pikiran dan keyakinan
kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang
menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia
kemanusiaan.
Di dalam pola pikir ini, seseorang
dituntut harus memiliki kreativitas berpikir. Kreativitas tersebut digunakan
untuk membantu pemecahan masalah di luar cara yang sudah ditentukan sebagai
alternatif pemecahan masalah juga kemampuan membuat terobosan baru. Kreativitas
disini juga adalah suatu kemampuan menciptakan sesuatu yang tidak bisa
diidentifikasi komponennya. Kreativitas tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi
sehingga diharapakan para pemimpin sangat mengerti akan kunci kreativitas
berpikir tersebut sehingga dapat respek akan ide-ide kreatif, membuka ruang dan
kesempatan serta menciptakan atmosfer yang mendukung.
IV. THE RESPECTFUL
MIND – Penghargaan Perbedaan
Dengan Orang Lain
Pola pikir berikutnya adalah the
respectful
mind
(pikiran merespek) atau sebuah pola pikir untuk menerima
perbedaan pandangan dengan sikap terbuka, dan bukan dengan sikap saling curiga.
Sebuah pola pikir yang akan membuat kita terhindar dari anarki akibat pemaksaan
kepentingan. Sebuah pola pikir yang senantiasa mengajak kita untuk merayakan
keragaman pandangan dan sekaligus menghadirkan empati bagi pendapat/pikiran
orang lain – meski pendapat itu mungkin berbeda dengan yang kita hadirkan.
Filsafat yang autentik sangat respek
terhadap perbedaan pandangan, ide, gagasan, atau pemikiran. Filsafat tidak
pernah merasa “puas” atau “sempurna” dengan apa yang telah dicapai, tetapi
senantiasa melihat sisi-sisi lain dari berbagai pandangan yang ada untuk
mendapatkan suatu kebenaran universal. Di dalam filsafat, tidak ada
diskriminasi pandangan. Yang ada adalah penghargaan atas perbedaan dan
membangun sikap dialog yang kritis untuk menemukan dan menyepakati kebenaran
yang dapat diterima umum. Sebagai contoh
ketika berhadapan dengan pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum
rasionalisme versus kaum empirisme, Immanuel Kant berupaya “mendamaikan”
pertentangan itu. Pada dasarnya Kant tidak mengingkari kebenaran pengetahuan
yang dikemukakan baik oleh kaum rasionalisme maupun empirisme. Menurutnya,
kesalahan terjadi bila masing-masing pihak mengklaim secara ekstrem pendapatnya
dan menolak pendapat yang lain.
Seseorang yang memiliki the respectful
mind dapat menerima dan menghargai pendapat dan perbedaan dengan orang
lain, agar dapat bekerja sama, dan mampu menciptakan suasana keterbukaan dan
hubungan timbal-balik serta tenggang rasa dan toleransi.
Sangat penting untuk ditanamkan
pemikiran bahwa hak dan kewajiban serta kemauan seseorang itu terbatas oleh
hak, kewajiban, dan kemauan orang lain. Sehingga apabila pemikiran itu bisa
diterapkan maka setiap orang sudah memiliki the
respectful mind yang diharapkan.
Pekerjaan yang dilakukan dalam tim pun
dapat secara langsung atau tidak langsung membangun the respectful mind
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan bukan tidak mungkin kekuatan kerja
dari tim tersebut bisa berkurang atau hilang sehingga gagal jika tidak memiliki
the respectful mind yang tinggi.
V. THE
ETHICAL MIND – Berpikir untuk
orang lain demi kepentingan bersama
Pola pikir yang kelima yang juga amat
dibutuhkan adalah the ethical mind
(pikiran etis). Inilah pola pikir yang terus mendorong kita untuk berikhtiar
membangun kemuliaan dan keluhuran dalam kehidupan personal dan profesional
kita. The ethical mind adalah
kemampuan/kecerdasan seseorang untuk berpikir di luar keinginan pribadi dan di luar
kemampuan diri yang telah dimiliki.
Filsafat mengartikan pikiran etis atau
berpikir etis sebagai kegiatan berpikir dengan budi yang baik dan diterapkan
dalam kehidupan setiap hari. Menurut Plato, berpikir etis adalah kegiatan
manusia untuk mencapai budi atau pengetahuan yang baik. Dengan pengetahuan yang
baik, manusia berupaya mencapai kebahagiaan hidup sebagai nilai yang dituju
setiap manusia.
Sebenarnya the ethical mind ini sangat erat hubungannya dengan the respectful mind dan the synthesizing mind, serta the creating mind. Seperti dasar
pemikiran the respectful mind bahwa
hak, kewajiban, serta kemauan seseorang terbatas oleh hal yang sama dari orang
lain, maka the ethical mind pun
seperti itu sehingga dia sangat tahu di mana menempatkan diri dan bersikap
serta apa yang boleh dan dapat diperbuatnya.
Seseorang yang memiliki the ethical mind itu tentu sangatlah
cerdas karena dia harus dapat respek ke lingkungan sekitar sehingga dengan
kemampuannya dapat bekerjasama dan mensinergikan berbagai pengetahuan dipadu
dengan the creating mind yang
dimiliki. Dia juga sangat tahu bagaimana caranya menerapkan segala pemikirannya
pada lingkungannya di mana hal ini dimungkinkan karena dia memiliki pengetahuan
di luar kemampuan yang sudah dimiliki sendiri tersebut.
Sumber :Five
Minds For The Future, Howard Gardner, Harvard Business School Publishing,
Boston, Massachusetts, 2006