Dalam ilmu administrasi dikenal bermacam – macam teori yang
berhubungan dengan daya, motivasi, kepemimpinan, perilaku, kepribadian,
control, pengembangan organisasi, perubahan organisasi dan lain – lain.
Kebanyakan teori teori tersebut hanya diuraikan sebagai konsep – konsep
yang berdiri sendiri, sebagai konsep yang tidak ada hubungannya satu
sama lain.
Harsey and Blanchard berusaha memadukan berbagai teori itu
kedalam pendekatan kepemimpinan situasional untuk maksud lebih
menunjukkan persamaan dari pada perbedaan di antara teori – teori
tersebut. Beberapa teori yang dipadukan tersebut antara lain :
- Perpaduan antara teori motivasi jenjang kebutuhan, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Teori motivasi kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Moslow
mengikuti teori kebutuhan jamak, yaitu perilaku seseorang ditentukan
oleh adanya keinginan untuk dapat terpenuhinya kebutuhan yang berjumlah
lebih dari satu macam. Kebutuhan yang lebih dari satu macam ini
berjenjang artinya apabila kebutuhan jenjang pertama yang ada pada
tingkat awal mengutama terpenuhi maka kebutuhan jenjang jenjang kedua
akan muncul mengutama, demikian seterusnya.
Sari teori tersebut diuraikan sebagai berikut:
- Orang adalah makhluk yang berkeinginan, dia selalu ingin dan ingin lebih banyak. Proses ini tidak mengenal henti.
- Suatu kebutuhan yang telah memuaskan tidak menjadi motivator perilaku. Hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi motivator perilaku.
- Kebutuhan manusia tersusun dalam jenjang. Macam jenjang dan kebutuhan manusia ada 5 macam.
- Physiological needs ( kebutuhan fisik )
Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan dasar . sebelum seseorang
menginginkan kebutuhan lain, kebutuhan fisik ini akan muncul menutama
terlebih dahulu, dan diusahakan untuk dapat memenuhinya terlebih dahulu.
Kebutuhan fisik yaitu rasa lapar dan haus.
- Safety needs ( kebutuhan keselamatan / keamanan )
Kebutuhan keselamatan dan keamanan terdiri dari kebutuhan yang
bersifat material seperti pakaian, rumah, kebutuhan yang bersifat semi
material seperti pension , jaminan hari tua, asuransi, kebutahan yang
bersifat bukan material seperti kebutuhan akan rasa aman di tempat
kerja.
- Affection needs, love needs, social needs, belonging needs ( kebutuhan berkelompok )
Kebutuhan berkelompok termasuk dalam jenjang ketiga. Yang termasuk
dalam jenjang ini misalnya keinginan bergaul, bersekutu, membina
persahabatan menyelesaikan pekerjaan bersama – sama, dan lain – lain.
- Esteem needs, egoistic needs ( kebutuhan penghormatan )
Kebutuhan penghormatan merupakan kebutuhan jenjang keempat . yang
termasuk kebutuhan penghormatan seperti kebutuhan menghormati diri
sendiri, hormat terhadap sesame, keinginann pengakuan atas prestasi yang
diraih, perasaan penting, perasaan memiliki peranan, nama baik, dan
lain – lain.
- Self actualization needs, self fulfillment needs ( kebutuhan pemuasan diri )
Yang termasuk kebutuhan pemuasan diri antara lain kebutuhan untuk
mengembangkan secara maksimal kemampuannya, keterampilannya,
kemahirannya, kreativitasnya, mengembangkan secara penuh segala potensi
yang ada pada diri seseorang.
Perpaduan antara teori motivasi jenjang kebutahan, teori kematangan
bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai
berikut:
- Apabila kebutuhan yang mengutama dari bawahan adalah berupa kebutuhan fisik menandakan bawahan masih pada tingkat kematangan rendah (M1), maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah gaya kepemimpinaan “Telling”(G1).
- Apabila kebutuhan yang mengutama dari bawahan adalah berupa kebutuhan keselamatan dan keamanan menandakan bahwa para bawahan berada pada tingkat kematangan rendah ke madya (M2), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan yaitu gaya kepemimpinan “telling “(G1) atau “selling”(G2).
- Apabila kebutuhan yang mengutama dari bawahan berupa kebutuhan berkelompok menandakan para bawahan berada pada tingkat kematangan madya (antara M2 dan M3), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan “selling”(G2) atau “participating”(G3).
- Apabila kebutuhan yang mengutama dari bawahan adalah kebutuhan penghormatan menandakan bahwa para bawahan berada pada tingkat kematangan madya ke tinggi (M3), maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah gaya kepemimpinan “participating”(G3) atau “delegating”(G4)
- Apabila kebutuhan yang mengutama dari bawahan adalah berupa kebutuhan pemuasan diri menandakan bahwa para bawahan berada pada tingkat kematangan tinggi (M4), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk digunakan adalah gaya kepemimpinan “delegating”(G4).
Jenjang Kebutuhan | Tingkat Kematangan bawahan | Pendekatan Kepemimpinan situasional |
Fisik | M1 | G1 |
Keselamatan dan Keamanan | M2 | G1 atau G2 |
Berkelompok | Antara M2 dan M3 | G2 atau G3 |
Penghormatan | M3 | G3 atau G4 |
Pemuasan diri | M4 | G4 |
2. Perpaduan antara teori motivasi dua factor, tingkat kematangan bawahan , dengan pendekatan kepemimpinan situasional.
Konsep dasar dari teori motivasi dua faktor yang diajukan oleh Frederick Harzberg adalah
dalam setiap pelaksananaan pekerjaan akan mendapatkan dua factor
penting yang mempengaruhi pekerjaan akan dilaksanakan dengan baik atau
tidak. Adapun dua factor tesebut yaitu factor syarat kerja dan factor
pendorong.yang termasuk factor syarat kerja adalah kehidupan pribadi,
kondisi kerja, gaji, keamanan kerja, hubungan antar pribadi dengan
bawahan, hubungan antar pribadi dengan sesame status, kebijaksanaan dan
administrasi instansi. Sedang yang termasuk factor pendorong adalah
tanggung jawab, potensi tumbuh, pekerjaan itu sendiri, kemajuan,
pengakuan, prestasi.
Perpaduan antara teori motivasi dua factor, teori kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai berikut:
- Apabila kebutuhan bawahan masih berupa syarat kerja menndakan bahwa para bawahan masih berada pada tingkta kematangan rendah ( M1) sampai dengan tingkat madya (M3), maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah gaya kepemimpinan “telling” (G1), “selling” (G2) dan “participating” (G3).
- Apabila kebutuhan bawahan sudah sampai pada cukup diberikan pendorongan menandakan bahwa para bawahan berada pada tingkat kematangn madya (M3) sampai dengan tingakat kematangan tinggi (M4), maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah gaya kepemimpinan “participating” (G3) dan “ delegating” (G4).
Kebutuhan | Tingkat kematangan Bawahan | Gaya kepemimpinan |
Syarat Kerja | M1-M2-M3 | G1-G2-G3 |
Pendorongan | M3-M4 | G3-G4 |
3. Perpaduan antara teori 4 sistem manajemen, teori tingkat kematangan bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Rensis Likert membagi gaya kepemimpinan menjadi 4 sistem, yaitu :
- System 1 = Exploritative Authoritative ( otokratis pemerasan )
- System 2 = Benevolent Authoritative ( otokratis bijak)
- System 3 = Consultative Leadership ( kepemimpinan konsultasi )
- System 4 = Participative Group Leadership ( kepemimpinan peran serta kelompok )
Perpaduan antara teori 4 sistem manajemen, teori kematangan bawahan,
dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai berikut:
- System 1 merupakan gaya kepemimpinan yang sama dengan gaya Telling (G1) yang tepat untuk memipin bawaha yang berada pada tingkat kematangan rendah (M1).
- System 2 merupakan gaya kepemimpinan yang sama dengan gaya telling ( G1) dan gaya selling (G2) yang tepat untuk memimpin bawahan yang berada pada tingkat kematangan antara rendah (M1) dengan madya (M2)
- System 3 merupakan gaya kepemimpinan yang sama dengan gaya selling (G2) yang tepat untu memimpin bawahan yang berada pada tingkat kematangan rendah ke madya (M2).
- System 4 merupakan gaya kepemimpinan yang sama dengan gaya participating (G3) yang tepat untuk memimpin bawahan yang berada pada tingkat kematangan tinggi (M3).
System
|
Gaya kepemimpinan Situasional
|
Tingkat Kematangan Bawahan
|
1
|
G1
|
M1
|
2
|
G1 dan G2
|
M1 dan M2
|
3
|
G2
|
M2
|
4
|
G3
|
M3
|
4. Perpaduan antara teori X dan Y , teori tingkat kematangan bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Henry P.Knowles dan Borjoe O.Saxberg berpendapat
bahwa ada dua kelompok sifat orang, yaitu kelompok yang bersifat baik
dan kelompok yang bersifat buruk. Sehubungan dengan adanya orang yang
bersifat buruk diciptakan teori x, dan sehubungn dengan adanya orang
yang bersifat baik maka diciptakan pula teori y.
Teory X:
- Pekerjaan sudah menjadi sifat tidak disukai oleh sebagian terbesar orang.
- Sebagian terbesar orang tidak ambisius, mempunyai keinginan sedikit untuk bertanggung jawab, dan lebih senang untuk diarahkan.
- Sebagian terbesar orang mempunyai kemampuan daya cipta yang kecil dalam memecahkan masalah –masalah organisasi.
- Motivasi terjadi hanya pada tingkat fisik dan keselamatan.
- Sebagian terbesar rang harus dikontrol secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan organisasi.
Teory Y :
- Pekerjaan secara alami merupakan permainan, apabila kondisinya baik.
- Control diri sendiri sering sangat diperlukan dalam mencapai tujuan organisasi.
- Kemampuan daya cipta dalam memecahkan masalah – masalah organisasi tersebar luas dalam masyarakat
- Motivasi terjadi pada tingkat berkelompok, penghormatan, dan pemuasan diri, sama baiknya dengan tingkat fisik dan keamanan.
- Orang yang dapat dikontrol diri sendiri dan memiliki daya cipta dalam bekerja apabila dimotivasi sebagaimana mestinya.
Perpaduan antara teori x dan y, teori kematangan bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai berikut:
- Kepemimpinan gaya teori x sama dengan gaya kepemimpinan telling sehingga dapat memimpin para bawahan yang tingkat kematangannya masih rendah.
- Kepemimpinan gaya teori y sama dengan gaya kepemimpinan participating sehingga tepat untuk memimpin para bawahan yang tingkat kematanganya dari tingkat madya ke tingkat tinggi.
Teori
|
Gaya kepemimpinan situasional
|
Tingkat Kematangan Bawahan
|
X
|
G1
|
M1
|
Y
|
G3
|
M3
|
Perpaduan antara teori x dan y, teori 4 sistem menajemen, teori
kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah
sebagai berikut :
Teori x dan y
|
Teori 4 sistem manajemen
|
Teori kematangan bawahan
|
Gaya kepemimpinan situasional
|
X
|
S1
|
M1
|
G1
|
Y
|
S4
|
M3
|
G3
|
5. Perpaduan antara teori pila
perilaku A dan pola perilaku B , teori x dan teori y, teori tingkat
kematangan bawahan , dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Teori pola perilaku A dan pola perilaku B diajukan oleh Chris Argyris.
Pola perilaku A untuk menunjukkan pemimpin yang tidak mengakui
perasaan, tidak terbuka, menolak percobaan, dan tidak senang menolong
orang lain. Pemimpin yang memiliki pola perilaku A cenderung untuk
melakukan pengawasan ketat dan perhatian pada struktur tinggi. Pola
perilaku B untuk menunjukkan pemimpin yang mengakui perasaan, terbuka,
mau melakukan percobaan, dan bersedia menolong orang lain. Pemimpin yang
memiliki pola perilaku B cenderung lebih banyak melakukan pendukungan
dan lebih banyak memberikan kemudahan.
Lebih lanjut Chris Argyris mengemukakan apabila pola perilaku A dan pola perilaku B dihubungkan dengan teori X dan teori y yang akan dapat terkjadi:
- Pemimpin dengan pola perilaku A memperkirakan bawahannya dengan teori y sehingga timbul pola kepemimpinan YA
- Pemimpin dengan pola perilaku A memperkirakan bawahannya dengan teori x sehingga timbul pola kepemimpinan XA
- Pemimpin dengan pola perilaku B memperkirakan bawahannya dengan teori Y sehingga timbul pola kepemimpinan YB
- Pemimpin dengan pola perilaku B memperkirakan bawahannya dengan teori x sehingga timbul pola kepemimpinan XB
Apabila tkedua teori tersebut yaitu teori pola perilaku A dan pola
perilaku B serta teori X dan teori y dipadukan dengan teori kematangan
bawahan serta pendekatan kepemimpinan situasional maka:
6. Perpaduan antara teori 4 anggapan tentang orang, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Edgar H. Schein berpendapat adanya empat anggapan tentang
orang serta hubungannya dengan gaya kepemimpinan. Empat anggapan tentang
orang terdiri dari:
- Rational economic man
- Social man
- Self actualizing man
- Complex man
Rational economic man memiliki cirri yang menjadi motivasi
utama dalam bekerja adalah inisiatif ekonomi, berperan pasif, harus
dimotivasi, dan dikontrol oleh organisasi. Orang berciri seperti ini
berarti tingkat kematangannya masih rendah sehingga tepat apabila
dipimpin dengan gaya kepemimpinan telling.
Social man memiliki ciri dasar motivasinnya adalah kebutuhan
untuk berinteraksi dengan orang lain, mereka Nampak berarti dalam
hubungan antar orang dalam pekerjaan, mereka lebih tanggap terhadap
pekerjaan daripada terhadap insentif dan control organisasi. Orang
seperti ini berarti tingkat kematangannya sudah berada pada tingkat
rendah ke madya dan tingkat madya ke tinggi. Menghadapi orang seperti
ini pemimin harus sudah memberikan perhatian terhadap kebutuhan orang,
perasaan orang, harus bertindak sebagai mata rantai komunikasi antara
bawahan dengan atasan yang lebih tinggi, prakarsa kerja mulai berpindah
dari atasan kepada bawahan. Pemimpin yang melakukan kepemimpinannya
seperti itu sejalan dengan jalan kepemimpinan selling dan participating.
Self actualizing man memiliki cirri – cirri orang yang
Nampak berarti dan berprestasi dalam kerja, mereka cenderung memotivasi
diri sendiri, mampu menjadi matang dalam bekerja. Bersedia memadukan
tujuan pribadinnya dengan tujuan organisasi. Orang yang berciri seperti
ini berarti tingkat kematangannya berada pada tingkat tinggi. Menghadapi
orang seperti ini pemimpin harus lebih banyak memperluas pekerjaan
bawahan dan membuat bawahan lebih tertantang dan lebih bermakna.
Pemimpin mencoba menentukan apa yang menjadi tantangan khusus bagi para
bawahan. Pemimpin lebih sebagai katalisator dan fasilitator dari pada
sebagai motivator dan pengontrol. Pemimpin lebih banyak melimpahkan
wewenangnya . pemimpin lebih banyak menyerahkan kepada bawahan untuk
menyusun pekerjaannya sendiri dan memberikan dukungan emosi social
melalui pelaksanaan tugas. Pemimpin yang melakukan kepemimpinan seperti
ini sejalan dengan gaya kepemimpinan delegating.
Menurut Schein, dalam kenyataan itu orang lebih kompleks dari pada rational economic, social, atau self actualizing.
Dalam kenyataan orang sangat bersemangat, mampu belajar bermacam –
macam alas an baru , dimotivasi oleh berbagai jenis kebutuhan, dan dapat
menganggapi berbagai gaya kepemimpinan yang berbeda. Individu yang
kompleks membebani kemahiran diagnostic pimpinan, pemimpin harus merubah
gaya yang tepat dalam menghadapi macam – macam kemungkinan.
Hubungan antara empat anggapan tentang orang, tingkat kematangan
bawahan, dan kepemimpinan situasional dapat digambarkan sebagai berikut :
Empat anggapan tentang orang | Tingkat kematangan bawahan | Gaya kepemimpinan situasional |
Rational economic man | M1 | G1 |
Social man | M2 dan M3 | G2 dan G3 |
Self actualizing man | M4 | G4 |
7. Perpaduan antara teori ego state ( keadaan diri ), teori tingkat kematangan bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Teori ego state dikemukakan oleh Eric Berne. Dalam diri orang terdapat tiga pola perilaku, yaitu pola perilaku parent ( orang tua), pola perilaku adult ( dewasa) dan pola perilaku Child
( anak). Keadaan diri orang tua adalah hasil pesan yang diterima orang
tua dari orang tua mereka. Orang yang berperilaku keadaan diri orang
tua secara mental mengulang kembali pesan – pesan yang diperoleh selama
masa anak – anak. Ada dua macam orang tua yaitu “ Nurturing Parent” (
orang tua pengasuh) dan “ Critical Parent” (orang tua Kritis). Orang tua
pengasuh adalah keadaan diri orang yang mau mengerti orang lain,
sedangkan orang tua kritis adalah orang yang selalu mencela orang lain.
Keadaan diri dewasa adalah perilaku yang menunjukkan logis, masuk
akal, dan tidak emosional; menguji berbagai alternative , kemungkinan –
kemungkinan dan menilai lebih dahulu perilaku ynag menarik hati. Dengan
singkat dikatakan bahwa keadaan diri dewasa adalah keadaan diri matang.
Keadaan diri anak adalah perilaku yang dihubungkan dengan orang yang
menanggapi secara emosional. Ada dua macam keadaan diri anak yaitu “ Happy Child” (anak gembira) dan “Destructive Child”
( anak merusak). Perilaku orang dari keadaan anak gembira berupa
melakuka sesuatu karena mereka ingin atau karena mereka merasa suka dan
perilakunya tidak merusak orang lain, dirinya , maupun lingkungan.
Perilaku orang yang merupakan perwujudan dari anak gembira atau keadaan
anak perusak tergantung dari perilaku yang dilakukan oleh orang lain.
Perilaku orang dapat berubah dari keadaan diri anak gembira atau
sebaliknya. Dapat dibedakan adanya dua macam keadaan diria anak perusak “ rebelius Child” (anak penentang), dan keadaan diri anak perusak ( Compliant Child
) atau anak taat. Perilaku diri orang dari keadaan diri anak
penentang adalah tidak mau mendengarkan orang lain , tetapi hanya mau
mengemukakan apa yang dikerjakan. Sedang perilaku dari keadaan diri anak
taat adalah mau mengerjakan apa yang diinginkan orang lain.
Perpaduan antara teori keadaan diri, tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai berikut:
- Keadaan diri anak perusak nampaknya dapat dihbungkan dengan tingkat kematangan bawahan rendah ( M1), maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah Telling(G1)
- Keadaan diri anak gembira nampaknya dapat dihubungkan dengan tingkat kematangan bawahan dari tingkat rendah ke madya (M2), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan selling (G2).
- Keadaan diri orang tua pengasuh dapat dihubungkan dengan tingkat kematangan bawahan dari tingkat rendah ke madya (M2), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan selling (G2)
- Keadaan diri orang tua kritis dapat dihubungkan dengan tingkat kematangan bawahan dari tingkat madya ke tinggi (M3), maka gaya epemimpinan yang tepat adalah gaya kepemimpinan participating (G3).
- Keadaan diri dewasa nampkanya dapat dihubungkan dengan tingkat kematangan bawahan pada tingkat tinggi (M4), maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah gaya kepemimpinan delegating(G4).
Teori Keadaan Diri
|
Tingkat Kematangan Bawahan
|
Pendekatan Kepemimpinan Situasional
|
Anak perusak
|
M1
|
G1
|
Anak gembira
|
M2
|
G2
|
Orang tua pengasuh
|
M2
|
G2
|
Orang tua kritis
|
M3
|
G3
|
Dewasa
|
M4
|
G4
|
8. Perpaduan antara teori “Life Position” (sikap hidup), teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional.
Teori life position dikembangkan oleh Thomas Harris.
Sikap hidup merupakan kombinasi dari anggapan tentang diri sendiri
dengan orang lain. Sikap hidup dihayati sepanjang hidunp dengan jalan
penguatan kepada, dan tanggapa terhadap, kebutuhan yang tegas. Anggapan
diri sendiri dengan orang lain dinamakan dengan sebutan “okeyness”
Ada empat keungkinan hasil hubungan dari sikap hidup, yaitu:
- Tidak ada orang yang memiliki nilai ( I’m not OK, you’re not OK)
Orang yang mempunyai sikap hidup seperti ini cenderung menganggap
dirinya buruk , demikian pula tanggapannya terhadap orang lain. Orang
dengan sikap hidup seperti ini mudah menyerah, tidak mempercayai orangn
lain, demikian pula tidak memiliki kepercayaan erhadap diri sendiri.
2. Engkau memiliki nilai, tetapi saya tidak memiliki nilai ( You’re OK, I’m not OK)
Orang dengan sikap hidup seperti ini memandang orang lain lebih mampu
, memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap tokeh pemegang wewenang,
dirinya tidak memiliki daya kontro dan kekuasaan, tetapi orang lainlah
yang memiliki untuk memberilkan penghargaan dan menjauhkan hukuman.
3. Saya memiliki nilai, tetapi engkau tidak memiliki nilai(I’m OK, You’re not OK)
Orang yang memiliki sikap hidup seperti ini memandang dirinya
memiliki kelebihan disbanding orang lain, orang dengan sikap hidup
seperti ini memiliki rasa percaya diri sendiri, sedang orang lain
dipandang dipandang sebagai orang yang memiliki kekurangan.
4. Kedua- duanya baik saya maupun anda memiliki nilai ( I’m OK, You’re OK)
Orang dengan sikap hidup seperti ini memiliki percaya diri yang sama baiknya dengan kepercayaan terhadap orang lain.
Perpaduan antara sikap hidup , teori kematanganbawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai berikut:
- Orang dengan sikap hidup I am not OK, You are not OK cenderung dihubungkan dengan tingkat kematangan bawahan yang rendah yang memerlukan pengarahan dan pengawasan ketat, maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaye kepemimpinan telling
- Orang dengan sikap hidup I am not OK, you are OK enderung dihubungkan dengan tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat rendah ke madya. Yang memerlukan pengarahan dan dukungan emosi social sekaligus, maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan selling.
- Orang dengan sikap hidup I am OK, You are not OK cenderung dihubungkan dengan tingkat kematangan bawahan dari tingkat madya tinggi, maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan participating
- Orang dengan sikap hidup I am OK, you are OK cenderung dihubungkan dengan tingkat kematangan dengan tingkat kematangan yang tinggi maka karena mereka menginginkan tanggung jawab dan kebebasan, maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya Delegating.
Teori sikap hidup | Tingkat kematangan bawahan | Pendekatan kepemimpinan situasional |
I’m not Ok, You’re not OK | M1 | G1 |
I’m not OK, You’re OK | M2 | G2 |
I’m OK, You’re not OK | M3 | G3 |
I’m OK, You’re OK | M4 | G4 |
9. Perpaduan antara teori sistem kontrol, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Atas dasar pekerjaan bawahan, Hersey dan Blanchard membedakan adanya tiga macam sistem kontrol yang dinamakan kontrol Tipe I , Tipe II, dan Tipe III.
Tipe I merupakan sistem kontrol yang paling tersusun dan paling
sederhana. Apabila seorang pemimpin membawahkan tiga orang bawahan, maka
dalam Tipe I ini pemimpin mengontrol tiga orang bawahan masing-masing
melakukan pekerjaan yang berbeda tetapai merupakan rangkaian kerja seri
yaitu penyelesaian pekerjaan dilakukan secara berturutan dari petugas
yang satu ke petugas yang berikutnya hingga pekerjaan selesai.
Tipe II merupakan system control terhadap bawahan yang pekerjaannya
telah diperluas. Apabila seorang pemipin membawahkan tiga orang bawahan,
maka dalam Tipe II ini pemimpin mengontrol tiga orang bawahan yang
masing-masing melakukan pekerjaan yang telah diperluas tetapi sama dan
masing-masing bawahan itu mengetahui hasil pekerjaannya.
Tipe III merupakan system control terhadap bawahan yang pekerjaannya
telah diperluas tetapi sama ditambah wewenang membuat keputusan, dan
masing-masing mengetahui hasil pekerjaannya.
Perpaduan antara teori system control, tingkat kematangan bawahan,
dengan pendekatan kepemimpinan situasional dapat diterangkan sebagai
berikut :
- Dalam control Tipe I pemimpin mengontrol para bawahan yang melakukan satu jenis pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa para bawahan melakukan pekerjaan yang sederhana atau mudah sehingga apabila dikaitkan dengan tingkat kematangan bawahan boleh dikatakan berada pada tingkat rendah (M1), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “telling” (G1).
- Dalam control Tipe II pemimpin mengontrol para bawahan yang melakukan pekerjaan yang telah diperluas tetapi sama dan masing-masing mengetahui hasilnya. Hal ini menunjukkan bahwa para bawahan melakukan pekerjaan yang sukar sehingga apabila dikaitkan dengan tingkat kematangan bawahan boleh dikatakan berada pada tingkat rendah ke madya (M2) atau tingkat madya ke tinggi (M3), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “selling” (G2) atau gaya “participating” (G3).
- Dalam control Tipe III pemimpin mengontrol para bawahan yang melakukan pekerjaan yang telah diperluas tetapi sama, masing-masing bawahan mengetahui hasilnya, ditambah wewenang membuat keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan para bawahan sulit tetapi dipercaya, sehingga apabila dikaikan dengan tingkat kematangan bawahan boleh dikatakan berada pada tingkat tinggi (M4), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “delegating” (G4).
System control | Tingkat Kematangan Bawahan | Gaya Kepemimpinan Situasional |
Tipe I | M1 | G1 |
Tipe II | M2 dan M3 | G2 dan G3 |
Tipe III | M4 | G4 |
10. Perpaduan antara teori dasar daya, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Perpaduan antara ketiga teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
- Para bawahan yang tingkat kematangannya masih rendah (M1) dengan cirri tidak mampu dan tidak mau atau tidak mantap maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya ‘’ telling “ (G1), dan penerapan gaya ini akan lebih berhasil apabila disertai dengan penerapan daya memaksa.
- Para bawahan yang tingkat kematangannya mulai bergerak dari rendah ke madya (M2) dengan cirri tidak mampu tetapi mau atau yakin maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “telling” (G1) dan gaya “selling” (G2), dan penerapan kedua macam ini akan lebih berhasil apabila disertai penerapan daya hubungan.
- Para bawahan yang tingkat kematangannya pada tingkat rendah ke madya (M2) dengan cirri tidak mampu tetapi mau atau yakin dan bersedia mencoba perilaku baru maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “selling” (G2), dan penerapan gaya ini akan lebih berhasil apabila disertai dengan daya menghargai.
- Para bawahan yang berada pada kedua tingkat madya (M2 dan M3) maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “selling” (G2) dan gaya “participating” (G3), dan gaya ini akan lebih membawa hasil apabila disertai dengan penerapan daya sah.
- Para bawahan dengan tingkat kematangan pada tingkat madya ke tinggi (M3) dengan cirri mampu tetapi tidak mau atau tidak mantap, maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “participating” (G3), dan ini akan lebih berhasil apabila disertai penerapan daya kharisma.
- Para bawahan yang berada pada tingkat kematangan di antara M3 dan M4 akan dapat dipimpin dengan baik apabila gaya yang diterapkan adalah gaya “participating” dan gaya “delegating” (G4), dan gaya ini akan lebih membawa hasil apabila disertai dengan penerapan daya informasi.
- Para bawahan dengan tingkat kematangan tinggi (M4) dengan cirri mampu dan mau atau yakin maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya “delegating” (G4), dan ini akan lebih berhasil apabila disertai penerapan daya ahli.
Tingkat Kematangan Bawahan | Gaya Kepemimpinan Situasional | Daya |
M1 | G1 | Memaksa |
M1 dann M2 | G1 dan G2 | Hubungan |
M2 | G2 | Mengahargai |
M2 dan M3 | G2 dan G3 | Sah |
M3 | G3 | Kharisma |
M3 dan M4 | G3 dan G4 | Informasi |
M4 | G4 | Ahli |
11. Perpaduan antara teori “parent effectiveness training”(pet), teori tingkat kemataangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Dalam kerjasama antara pimpinan dan bawahan, Thomas Gordon
berpendapat bahwa dapat terjadi perilaku bawahan dapat diterima oleh
pemimpin dan perilaku bawahan tidak dapat diterima oleh pemimpin.
Selanjutnya Thomas Gordon berpendapat ada 4 potensi pemilik masalah, yaitu :
- Pemimpin memiliki masalah, artinya perilaku bawahan merupakan masalah bagi pemimpin tetapi tidak merupakan masalah bagi bawahan.
- Pemimpin dan bawahan sama – sama memiliki masalah, artinya perilaku bawahan merupakan masalah bagi pemimpin maupun bawahan.
- Bawahan memilki masalah, artinya perilaku bawahan merupakan masalah bagi bawahan tetapi bukan merupakan masalah bagi pemimpin.
- Pemimpin dan bawahan sama – sama tidak memiliki masalah, artinya perilaku bawahan tidak merupakan masalah bagi pemimpin maupun bawahan.
Adapun perilaku bawahan tidak dapat diterima oleh pemimpin berarti
bahwa bawahan berada pada tingkat kematangan rendah (M1) atau kematangan
rendah ke madya (M2), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk
diterapkan adalah gaya kepemimpinan telling (G1) atau gaya kepemimpinan selling (G2).
Apabila perilaku bawahan dapat diterima oleh pemimpin berarti bahwa
bawahan berada pada tingkat kematangan madya ketinggi (M3) atau tingkat
kematangan tinggi (M4), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk
diterapkan adalah gaya kepemimpinan participating(G3) atau gaya kepemimpinan delegating (G4).
Teori “pet” |
Tingkat kematangn bawahan
|
Gaya Kepemimpinan Situasional
|
|
M1
|
G1
|
|
M2
|
G2
|
|
M3
|
G3
|
|
M4
|
G4
|
12. Perpaduan antara teori pertumbuhan organisasi, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Larry E. Greiner berpendapat bahwa pertumbuhan organisasi bergerak melalui lima tahap pertumbuhan organisasi, yaitu :
- Pertumbuhan tahap pertama dinamakan “creativity” (daya cipta). Tahap pertama ini dikuasai oleh pendiri organisasi, dan perhatian ditunjukkan pada penciptan hasil dan pasar.pendiri biasanya berorientasi secara teknik atau pengusaha, dan meremehkan kegiatan menejemen, energy fisik dan mental merekasepenuhnya dihisap dalam membuat dan menjual hasil baru. Tetapi sebagai organisasi yang tumbu, masalah-masalah manajemen timbul yang tidak dapat diurusi melalui komunikasi informal dan pengabdian. Jadi pendiri mendapatkan beban mereka sendiridengan tidak menginginkan tanggung jawab menejemen, dan konflik antara pemimpin-pemimpinyang merusak tumbuh lebih kuat. Maka pada saat seperti ini timbullah krisis kepemimpinan dan masa revolusi pertama mulai. Dalam keadaan demikian maka perlu pemimpin kuat yang dapat diterima oleh pendiri dan mampu mengendalikan organisasi bersama-sama.
- Pertumbuhan tahap kedua dinamakan pertumbuhan melalui “direction” (pengarahan).
Selama tahap ini pemimpin dan anggota staff mengambil sebagian
terbesartanggung jawab pengarahan, sedang pengawas pada jenjangyang
lebih bawah diperlakukan lebih sebagai spesialis fungsional daripada
sebagai pemimpin pembuat keputusan yang otonom, hal ini akhirnya
mengarah pada masa revolusi berikutnya yaitu krisis otonomi. Keadaan ini
biasanya dipecahkan dengan pelimpahan yang lebih besar.
1. Pertumbuhan tahap ketiga dinamakan pertumbuhan melalui “delegation” (pelimpahan).
Pada tahap ketiga ini ditandai mulai dikembangkannya desentralisasi
struktur organisasi, dengan mempertinggi motivasi pada jenjang lebih
bawah. Keadaan ini menimbulkan krisis baru, yaitu pemimpin pucak merasa
lepas control atas terlalu berjenis-jenisnya bidang kegiatan, pembiaan
yang bebas menimbulkan sikap sempit. Dalam keadaan timbullah masa
krisis ketiga yaitu krisis control. Krisis ini biasanya dipecahkan
dengan kembali dilakukan sentralisasi struktur organisasi.
2. Pertumbuhan tahap keempat dinamakan pertumbuhan melalui “coordination” (koordinasi)
Tahap koordinasi ini ditandai dengan pemakaian sistem formal untuk
mencapai koordinasi yang lebih luas dengan pemimpin puncak sebagai
“penjaga”. Pada tahap ini organisasi sudah bertambah besar serta
kompleks dengan berbagai program formal serta berbagai prosedur kerja
yang kaku. Dalam keadaan seperti ini organisasi menghadapi krisis
keempat yaitu krisis pita merah yang mengandung pengertian terjadinya
hambatan.
3. Pertumbuhan tahap kelima dinamakan pertumbuhan melalui “collaboration” (kerjasama)
Jika krisis pita merah dapat diatasi, organisasi harus bergerak ke
masa evolusi berikutnya, yaitu tahap kerjasama. Apabila tahap koordinasi
pengurusan organisasi dilakukan dengan sistem dan prosedur formal, pada
masa kerjasama ini perhatian lebih besarpada spontanitas dalam kegiatan
menejemen melalui tim dan konfrontasi kemahiran antara pribadi yang
berbeda. Kontrol sosial dan disiplin diri sendiri menggantikan kontrol
formal.
Menurut Hersey dan Blanchard untuk menanggulangi dan
menghindari bermacam-macam krisis, pemimpin dapat mencoba untuk bergerak
melalui masa evolusi lebih tetap dengan urutan yang oleh teori
kepemimpinan situasional dianjurkan, yaitu pertumbuhan melalui
pengarahan, pertumbuhan melalui koordinasi, pertumbuhan melalui
kerjasama, dan pertumbuhan melalui pelimpahan. Krisis kepemimpinan harus
dicegah dengan gerakan dengan gerakan dari tahap daya cipta ke dalam
tahap pengarahan; krisis otonomi , kontrol dan hambatan harus dicegah
dengan gerakan dari pengarahan ke dalam tahap koordinasi, kemudian ke
dalam tahap kerjasama, dan akhirnya ke dalam tahap pelimpahan.
Perpanduan antara teori petumbuhan organisasi, teori kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah:
- Pada tahap pertumbuhan melalui pengarahan, tingkat kematangan bawahan masih rendah (M1), tahap pengarahan sejalan dengan gaya kepemimpinan “telling” (G1).
- Pada tahap pertumbuhan melalui koordinasi, tingkat kematangan bawahan berada dari tingkat rendah ke tingkat madya (M2), tahap koordinasi sejalan dengan gaya kepemimpinan “selling” (G2).
- Pada tahap pertumbuhan melalui kerjasama, tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat dari madya ke tinggi (M3), tahap kerjasama sejalan dengan gaya kepemimpinan “participating” (G3).
- Pada tahap pertumbuhan melalui pelimpahan, tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat tinggi (M4), tahap pelimpahan sejalan dengan gaya kepemimpinan “delegating” (G4).
Teori pertumbuhan | teori kematangan bawahan | gaya kepemimpinan organisasi |
tahap pengarahan | M1 | G1 |
tahap koordinasi | M2 | G2 |
tahap kerjasama | M3 | G3 |
tahap pelimpahan | M4 | G4 |
13. Perpaduan antara teori proses perubahan, teori tigkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Atas dasar pengamatan terhadap perubahan-perubahan dalam organisasi, Kurt Lewin berpendapat ada tiga tahap proses perubahan perilaku individu atau kelompok di dalam organisasi, yaitu “unfreezing”, “changing”, dan “refreezing”.
“Unfreezing” adalah merubah atau membongkar adat-istiadat,
kebiasaan, dan tradisi lama agar supaya mereka siap untuk menerima
alternative-alternatif baru.
“Unfreezing” mungkin timbul apabila kekuatan-kekuatan yang mendorong
ditingkatkan atau kekuatan-kekuatan yang menahan dan melawan perubahan
dikurangi.
Proses “changing” sebagian terbesar mungkin timbul oleh adanya salah satu dari dua mekanisme yaitu “identification” dan “internalization”.
“Identification” timbul apabila satu model atau lebih ditetapkan dalam
lingkungan, model-model yang individu dapat belajar pola perilaku baru
dengan mengenalinya dan menyukainya.
“Internalization” timbul apabila individu ditempatkan dalam
situasi perilaku baru itu dituntut dari mereka jika mereka berhasil
dalam melakukan dalam situasi itu.
“Refreezing” merupakan proses perilaku yang baru diperoleh telah berintegrasi sebagai pola perilaku bagi kepribadian individu.
Hubungan antara teori proses perubahan perilaku individu atau
kelompok, teori kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan
situasional dapat diuraikan sebagai berikut:
- Pada tahap “unfreezing”, tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat rendah (M1) dan tingkat rendah ke madya (M2), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan “telling” (G1) dan gaya “selling” (G2).
- Pada tahap “changing”, tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat rendah ke madya (M2) dan tingkat madya ke tinggi (M3), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan “selling” (G2) dan gaya “participating” (G3).
- Pada tahap “refreezing”, tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat madya ke tinggi (M3) dan tingkat tinggi (M4), maka gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan adalah gaya kepemimpinan “participating” (G3) dan gaya “delegating” (G4).
Teori Proses Perubahan | Teori kematangan Bawahan | Pendekatan Kepemimpinan Situasional |
“unfreezing”
|
M1 dan M2
|
G1 dan G2
|
“changing”
|
M2 dan M3
|
G2 dan G3
|
“refreezing”
|
M3 dan M4
|
G3 dan G4
|
14. Perpaduan antara teori siklus perubahan, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
R.J.House berpendapat ada empat tingkat perubahan, yaitu
perubahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan perilaku individu, dan
perubahan prestasi kelompok atau organisasi.
Perubahan pengetahuan merupakan tingkat perubahan yang paling mudah,
perubahan pengetahuan dapat terjadi karena hasil membaca pustaka atau
mendengar sesuatu yang baru dari orang lain. Perubahan sikap memerlukan
waktu yang lebih lama. Merubahan perilaku individu lebih sukar daripada
merubah sikap individu. Perubahan perilaku individu memerlukan waktu
yang lebih panjang. Diantara empat tingkat perubahan tersebut yang
tersulit dan terlama adalah perubahan prestasi kelompok atau organisasi.
Hersey dan Blanchard berpendapat bahwa tingkat-tingkat
perubahan menjadi sangat berarti apabila diamati dari dua siklus
perubahan yang masing-masing sikap perubahan yang masing-masing sikap
perubahan meliputi empat tingkat perubahan diatas. Dua macam tingkay
perubahan itu adalah siklus perubahan peran serta dan siklus perubahan
pengarahan.
Yang dimaksud dengan siklus perubahan peran serta adalah perubahan
yang dimulai dari daya pribadi untuk merubah pengetahuan dirinya,
sikapnya, perilakunya, sampai dengan perubahan perilaku kelompok.
Yang dimaksud dengan siklus perubahan pengarahan adalah perubahan
yang dimulai dari daya luar seperti kekuasaan yang tinggi, masyarakat,
peraturan perundangan, atau berbagai lingkungan lainnya.
Hubungan antara teori siklus perubahan, teori tingkat kematangan
bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai
berikut:
- Siklus perubahan pengarahan dapat dikaitkan dengan situasi tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat rendah (M1) dan tingkat rendah ke madya (M2), maka siklus perubahan pengarahan sejalan dengan gaya kepemimpinan “telling” (G1) dan gaya “selling” (G2).
- Siklus perubahan peranserta dapat dikaitkan dengan situasi tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat madya ke tinggi (M3) dan tingkat tinggi (M4), maka siklus perubahan peranserta sejalan dengan gaya kepemimpinan “participating” (G3) dan gaya “delegating” (G4).
Teori siklus Perubahan | teori kematangan bawahan | Pendekatan kepemimpinan situasional |
Pengarahan | M1 dan m2 | Gi dan G2 |
Peran serta | M3 dan M4 | G3 dan G4 |
15. Perpaduan antara teori modifikasi perilaku, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional
Lloyd Homme mengemukakan konsep perjanjian kontingensi
pemimpin dan bawahan yang digambarkan sebagai gerakan bertingkat yang
dihubungkan dengan modifikasi perilaku dari kontrol pemimpin ke kontrol
sepihak oleh bawahan. Perkembangan tingkat kontrol ini digambar pada
jaringan dengan tangga yang semula naik dari kanan sampai kepuncak
kemudian menurun ke kiri.
Apabila konsep tersebut digabungkan dengan tingkat kematangan bawahan
serta pendekatan kepemimpinan situasional adalah sebagai berikut:
- Pada tingkat pertama, yaitu kontrol pimpinan, menunjukkan bahwa bawahan masih berada pada tingkat kematangan rendah (M1), tingkat kontrol ini sejalan dengan gaya kepemimpinan “telling” (G1)
- Pada tingkat kedua, yaitu kontro sepihak oleh bawahan, menunjukkan bahwa tingkat kematangan bawahan berada pada tingkat rendah ke tingkat madya (M2), tingkat control ini sejalan dengan gaya kepemimpinan selling (G2)
- Pada tingkat ketiga, yaitu control sederajat menunjukkan bahwa bawahan berada pada tingkat mkematangan antara tingkat rendah ke madya (M2) dan tingkat madya ke tinggi (M3) tingkat control ini sejalan dengan gaya kepemimpinan Selling (G2), dan gaya kepemimpinan Participating (G3)
- Pada tingkat keempat, yaitu control sepihak oleh pimpinan menunjukkan bahwa bawahan berada pada tingkat kematangn dari tingkat madya ke tinggi (m3) tingkat control ini sejalan dengan gaya kepemimpinan participating (G3)
- Pada tingkat ke lima, yaitu control bawahan menunjukkan bahwa bawahan berada pada tingkat kematangan tinggi (M4) tingkat control ini sejalan dengan dgaya kepemimpinan delegating (G4).
Singkatnya adalah sebai berikut :
Tingkat Kontrol | Tingkat Kematangan Bawahan | Pendekatan Kepemimpinan Situasional |
Kontrol pemimpin | M1 | G1 |
Kontrol sepihak oleh bawahan | M2 | G2 |
Kontrol sederajat | M2 dan M3 | G2 dan G3 |
Kontrol sepihak oleh pemimpin | M3 | G3 |
Control bawahan | M4 | G4 |
16. Perpaduan antara teori “Force Field Analysis”, teori tingkat kematangan bawahan, dengan kepemimpinan situasional
Force Field Analysis merupakan teknik yang dikembangkan oleh Kurt Lewin
untuk mendiagnosa situasi. Dia berpendapat bahwa dalam setiap situasi
terdapat adanya dua macam kekuatan, yaitu kekuatan pendorong dan
kekuatan penahan yang mempengaruhi setiap perubahan yang mungkin
terjadi. Kekuatan pendorong misalnya tekanan pengawas, pemberian
perangsang dan persaingan. Kekuatan penahan misalnya apatis,
petentangan, pemeliharaan yang buruk. Kekuatan pendorong dilakukan
dengan tujuan untuk mengimbangi kekuatan penahan yang tidak dikehendaki,
sebaliknya kekuatan penahan dilakukan dengan tujuan untuk mengimbangi
kekuatan pendorong yang berlebihann sehingga melampaui kebutuhan.
Keseimbangan akan dicapai apabila jumlah kekuatan pendorong sama dengan
kekuatan penahan.
Gaya kepemimpinan telling (G1) dan gaya kepemimpinan selling
(G2) tepat untuk membangkitkan kekuatan pendorong. Dapat dianalogkan
bahwa kekuatan pendorong perlu dibangkitkan karena kekuatan bawahan
berada pada tingkat rendah (M1) dan tingkat rendah ke madya (M2). Gaya
kepemimpinan participating (G3) dan gaya kepemimpinan delegating
(G4) tepat untuk membentuk kekuatan penahan. Dapat dianalogkan bahwa
kekuatan penahan perlu dibentuk karena tingkat kematangan bawahan berada
pada tingkat madya ke tinglat tinggi (M3) dan tingkat tinggi (M4).
Kekuatan | Pendekatan kepemimpinan situasinal | Tingkat kematangan bawahan |
Pendorong | G1 dan G2 | M1 dan M2 |
Penahan | G3 dan G4 | M3 dan M4 |
Perpaduan antara teori siklus perubahan, teori force field analysis, teori tingkat kematangan bawahan, dengan pendekatan kepemimpinan situasional dapat disingkat sebagai berikut:
Teori siklus perubahan | Teori force field analysis | Tingkat Kematangan Bawahan | Pendekatan Kepemimpinan Situasional |
Pengarahan | Pendorong | M1 dan M2 | G1 dan G2 |
Peranserta | Penahan | M3 dan M4 | G3 dan G4 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda