Komitmen Organisasi
Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap
organisasi/perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Saking pentingnya
hal tersebut, sampai-sampai beberapa organisasi berani memasukkan unsur
komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang
ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini
sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum
memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut
sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga perusahaan
dapat berjalan secara efisien dan efektif. Dalam rangka memahami apa
sebenarnya komitmen individu terhadap organisasi/perusahaan, apa dampaknya bila
komitmen tersebut tidak diperoleh dan mengapa hal tersebut perlu dipahami,
penulis mencoba menjelaskannya dalam artikel pendek ini.
Pengertian
Porter (Mowday, dkk, 1982:27)
mendefinisikan komitment organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari
individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian
organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu :
1.
Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
2.
Kesiapan dan kesedian untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh atas nama organisasi.
3.
Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam
organisasi (menjadi bagian dari organisasi).
Sedangkan Richard M. Steers (1985 :
50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan
terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik
mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap
menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang
pegawai terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi
merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai,
dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari
sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan
kesediaan untuk mengusahakan tingkat
upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas
terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi
Secara singkat pada intinya beberapa
definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang
hampir sama yaitu proses pada individu (pegawai) dalam mengidentifikasikan
dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping
itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih
dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain
komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau
organisasi secara aktif. Karena pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi
memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam
menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Jenis Komitmen
Komitmen organisasi dapat dibedakan menjadi 2 bagian:
1.
Jenis
Komitmen menurut Allen & Meyer
Allen dan Meyer
(dalam Dunham, dkk 1994: 370 ) membedakan komitmen organisasi atas tiga
komponen, yaitu : afektif, normatif dan continuance.
- Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi.
- Komponen normatif merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi.
- Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi.
Meyer dan Allen
berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Pegawai dengan
komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan
untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu pegawai dengan komponen continuance
tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan
organisasi. Pegawai yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi
anggota organisasi karena mereka harus melakukannya.
Setiap pegawai
memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi
yang dimilikinya. Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif
memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan continuance.
Pegawai yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan
usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa
menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga
mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen
normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung
dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif
menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas
apa yang telah diterimanya dari organisasi.
2. Jenis
komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers
Komitmen
organisasi dari Mowday, Porter dan Steers lebih dikenal sebagai pendekatan
sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memiliki dua komponen yaitu
sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup:
- Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi.
- Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dna tanggungjawab pekerjaan yang diberikan padanya.
- Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi.
Sedangkan yang
termasuk kehendak untuk bertingkah laku adalah:
1.
Kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui
kesediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju.
Pegawai dengan komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib organisasi.
2. Keinginan
tetap berada dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi,
hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk
bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama.
Jadi seseorang
yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi,
terlibat sungguh-sungguh dalam pegawaian dan ada loyalitas serta afeksi positif
terhadap organisasi. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan
organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka
waktu lama.
Menumbuhkan
Komitmen
1.
Indentifikasi
Identifikasi,
yang mewujud dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat
dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa
tujuan pribadi para pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula
kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan
membuahkan suasana saling mendukung diantara para pegawai dengan organisasi.
Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan
sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan
organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka
pula (Pareek, 1994 : 113).
2.
Keterlibatan
Keterlibatan
atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk
diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkab mereka akan mau dan
senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja.
Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah
dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan
keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah
diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, dengan melakukan
hal tersebut maka pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang
utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk
melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan
dengan apa yang mereka ciptakan (Sutarto, 1989 :79). Hasil riset menunjukkan
bahwa tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya
tinggi pula (Steer, 1985). Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga
benar-benar tidak dapat masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja
pada individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pegawai yang
keterlibatannya lebih rendah.
Ahli
lain, Beynon (dalam Marchington, 1986 : 61) mengatakan bahwa partisipasi akan
meningkat apabila mereka menghadapi suatu situasi yang penting untuk mereka
diskusikan bersama, dan salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama
tersebut adalah kebutuhan serta kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh
pegawai dalam organisasi. Apabila kebutuhan tersebut dapat terpenuhi hingga
pegawai memperoleh kepuasan kerja, maka pegawaipun akan menyadari pentingnya
memiliki kesediaan untuk menyumbangkan usaha dan kontribusi bagi kepentingan
organisasi. Sebab hanya dengan pencapaian kepentingan organisasilah, kepentingan merekapun akan lebih terpuaskan.
3.
Loyalitas
Loyalitas
pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk
melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan
kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun (Wignyo-soebroto, 1987).
Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal
yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka
bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan
kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja.
Pegawai Kontrak
Mengingat bahwa seringkali di dalam
suatu organisasi terdiri dari pegawai tetap dan juga pegawai kontrak, maka
masalah komitmen seringkali menjadi pertanyaan pihak organisasi terhadap pegawai
kontrak. Secara psikologis tentu perlu dicermati, karena komitmen organisasi,
munculnya lebih psikologis dibanding kebutuhan sosial-ekonomi yang bersumber
dari gaji atau upah. Orang mencari kerja awalanya agar memperolah status
sebagai pegawai dan mendapatkan imbalan berupa gaji atau upah. Namun setelah
bekerja tuntutannya cenderung menjadi meningkat, misalnya apakah suasana
kerjanya menyenangkan atau tidak, apakah ia merasa sejahtera atau tidak, merasa
puas dengan pekerjaan dan apa yang didapat, dsb. Semua faktor tersebut akan
memberikan andil terhadap munculnya komitmen organisasi. Pada pegawai kontrak,
umumnya masa 6 (enam) bulan pertama adalah periode dimana pegawai baru
menyesuaikan diri dengan tugas, dan biasanya pada saat tersebut lah ia baru terlihat
efisien dalam menjalankan tugas-tugasnya. Namun sayangnya jika ia ternyata cuma
dikontrak 1 (satu) tahun, maka dalam bulan-bulan berikutnya ia sudah harus
berpikir bahwa akhir tahun masa kontrak habis dan harus memperpanjang, itupun
masih meragukan apakah dapat diperpanjang atau tidak; jika secara kebetulan
ternyata tidak dapat diperpanjang maka secara disadari atau tidak ketentraman
dalam menjalankan tugas terganggu. Begitu juga jika diperpanjang untuk tahun
kedua, maka pada akhir tahun pegawai umumnya sudah terlihat gelisah karena
setelah tahun kedua kemungkinan untuk diperpanjang snagat kecil (terbentur
peraturan, dll), sehingga efisiensi kerjanya menjadi kurang, karena
perhatiannya pasti lebih tercurah untuk mencari kerja di tempat lain. Dalam kondisi
tersebut maka bagi pegawai kontrak tentu
sulit diukur tingkat komitmennya
terhadap organisasi, apalagi jika kita melihat bahwa komitmen tersebut
menyangkut aspek loyalitas dan sebagainya. Dengan dasar ini maka penting
bagi pihak manajemen (pengusaha) untuk menentukan pekerjaan atau jabatan apa
saja yang cocok untuk pegawai kontrak sehingga tidak merugikan organisasi di
kemudian hari.
Dua Pihak
Dengan membaca uraian di atas, maka terlihat bahwa
komitmen individu terhadap organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi
secara sepihak. Dalam hal ini organisasi dan pegawai (individu) harus secara
bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang
dimaksud. Sebagai contoh: seorang pegawai yang semula kurang memiliki komitmen,
namun setelah bekerja ternyata selain ia mendapat imbalan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku ternyata didapati adanya hal-hal yang menarik dan
memberinya kepuasan. Hal itu tentu akan memupuk berkembangnya komitmen individu
tersebut terhadap organisasi. Apalagi jika tersedia faktor-faktor yang dapat
memberikan kesejahteraan hidup atau jaminan keamanan, misalnya ada koperasi,
ada fasilitas transportasi, ada fasilitas yang mendukung kegiatan kerja maka
dapat dipastikan ia dapat bekerja dengan penuh semangat, lebih produktif, dan
efisien dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya jika iklim organisasi kerja
dalam organisasi tersebut kurang menunjang, misalnya fasilitas kurang, hubungan
kerja kurang harmonis, jaminan sosial dan keamanan kurang, maka secara otomatis
komitment individu terhadap organisasi menjadi makin luntur atau bahkan mungkin
ia cenderung menjelek-jelekkan tempat kerjanya. Hal ini tentu saja dapat
menimbulkan berbagai gejolak seperti korupsi, mogok kerja, unjuk rasa,
pengunduran diri, terlibat tindakan kriminal dan sebagainya. (jp)
http://www.e-psikologi.com/masalah/250702.htm
cukup membantu
BalasHapus